Minggu, 2 Mei 2021
PENDIDIKAN YANG BERSUMBER PADA TUHAN
“Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,
tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan” (Amsal 1:7)
Siapa yang tidak tahu Amsal 1:7? Ayat ini sering digunakan untuk mengingatkan dan mendidik orang-orang muda yang sedang bertumbuh. Tidak jarang, ayat ini juga dipakai sebagai dasar orang percaya dalam menjalani kehidupan. Kata takut yang dipakai pengamsal tidak dapat dipahami dengan konotasi negatif tetapi dapat dipandang dari sisi positif yaitu segan atau hormat kepada Tuhan. Mengapa setiap orang percaya perlu menaruh rasa hormat kepada Tuhan? Apakah jika ingin memiliki pengetahuan kita perlu tunduk pada Tuhan? Pertanyaan ini yang akan kita bahas dan coba dalami bersama agar memahami apa yang ingin Tuhan sampaikan melalui penulis kitab Amsal.
Mari kita telaah kembali kata takut yang menggambarkan rasa hormat dan segan kepada Tuhan. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, diingatkan bahwa segala sesuatu yang dimiliki ialah milik dan anugerah Tuhan semata. Tidak ada yang bisa benar-benar dibanggakan oleh manusia, kita diajak untuk memandang kepada Tuhan yang adalah sumber kehidupan. Pengakuan tersebut membuat manusia mampu memberi ruang bagi Tuhan untuk menyatakan karyaNya dalam kehidupan. Kita yang terbatas ini dimampukan untuk memiliki berbagai macam pengetahuan karena Ia yang memberikannya. Pengetahuan yang kita miliki bukan sekadar yang ilmiah saja melainkan juga tentang kebenaran yang Tuhan kerjakan. Ketika menaruh rasa hormat, maka kita memberi kesempatan bagi Tuhan untuk terus mendidik kita sehingga mampu menemukan setiap kebenarannNya dalam kehidupan ini.
Didikan yang bersumber pada Tuhan akan menolong kita untuk melihat dan memahami kebenaran yang Tuhan kerjakan dalam hidup. Kita perlu membuka diri agar tetap terus dididik oleh Tuhan dalam kebenaran. Kebenaran ini akan membuat kita menjadi orang percaya yang arif dan bijak dalam menghadapi kehidupan. Kita mampu menjadi pembawa damai sejahtera di tempat yang Tuhan percayakan di kehidupan ini. Maka dari itu, tetaplah membuka diri dan melekat dalam Tuhan agar kita terus dididik sehingga menjadi pribadi yang diubahkan.
Galvin T. Bartianus
Minggu, 9 Mei 2021
PUTAR BALIK
“Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa
mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi.” (Amsal 28:13)
Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh dunia memang meresahkan banyak orang. Banyak kegiatan yang tertunda bahkan kebiasaan “mudik” orang Indonesia pun terganggu akibat pandemi ini. Tanggal 6 Mei 2021 menjadi awal peraturan pemerintah untuk melarang orang-orang untuk “mudik”. Pemerintah menyiasatinya dengan menyekat beberapa titik dan meminta kendaraan yang nekat untuk “mudik” putar balik kembali ke tempat mereka berasal. Fenomena putar balik ini bisa kita temui di media masa yang memberikan kita berita tentang banyak kendaraan yang
terpaksa putar balik. Beragam reaksi mereka yang diminta putar balik, ada yang menerima tetapi ada juga orang kesal dengan peraturan putar balik ini. Jika kita melihat dari semangat putar balik ini, pemerintah sedang ingin menekan penyebaran Covid-19 agar Indonesia dapat terlepas dari pandemi yang terjadi. Namun, tidak semua orang memahami semangat ini mereka kebanyakan kesal dan menyalahkan kebijakan yang ada. Reaksi yang diberikan oleh beberapa orang ini wajar dan sering kali terjadi dalam kehidupan beriman kita sebagai orang Kristen.
Kehidupan kita sebagai orang Kristen acap kali menemui jalan buntu karena salah dalam menentukan jalan. Sering kali kita berjalan menggunakan pengertian sendiri sehingga Tuhan perlu memberikan peringatan melalui kebijakan-kebijakan yang diberitakan para nabi (Perjanjian Lama). Tidak hanya itu, Tuhan juga memperingatkan akan kesalahan kita secara langsung melalui Yesus Kristus (Perjanjian Baru). Namun, kita kadang menolak dan kesal dengan segala kebijakan yang Tuhan berikan dalam hidup ini. Tuhan yang selalu mengingatkan manusia untuk dapat berlaku adil, hidup seturut Firman, dan menjadi pembawa damai terus mengajak kita untuk dapat berbalik dari kesalahan. Ketika manusia putar balik dari jalan yang sudah melenceng, maka hidup yang damai akan dapat kita rasakan.
Pengamsal dalam Amsal 28:13 memberikan sebuah nasihat yang dapat menegur setiap hati kita. Ia menuliskan “Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi”. Pernyataan ini mau mengajak setiap orang percaya untuk melihat kembali apa yang sudah diperbuat dan mengakui bahwa jalan yang dipilih sudah melenceng. Pengakuan yang diberikan mampu membuat kita putar balik ke jalan yang sudah Tuhan berikan bagi setiap kita. Putar balik dari kesalahan yang selama ini dilakukan akan membuat kita mampu merasakan kasih setia Tuhan yang selama ini selalu memberi kebijakan agar umatNya tidak salah melangkah.
Kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh Tuhan tidak bisa dipahami sebagai pelarangan yang menyengsarakan. Kebijakan itu dibuat untuk menekan ego dan membuat kita belajar bahwa ada rancangan Tuhan yang perlu dijalani. Pandanglah kebijakan tersebut sebagai cara Tuhan untuk membuat kita putar balik dari kesalahan yang telah dilakukan. Tidak perlu bereaksi yang berlebihan, cukup dengarkan dan lakukan agar kita tetap berada dalam tuntunan Tuhan.
Galvin T. Bartianus
Minggu, 16 Mei 2021
HIDUP MENG-INDONESIA
“Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari
orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Lukas 10:36)
Menjadi bagian di bangsa Indonesia merupakan sebuah anugerah nikmat yang Tuhan berikan bagi kita. Berbagai macam suku, agama, dan latar belakang menjadi wajah Indonesia yang kita cintai dan hidupi. Namun, keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia kadang menjadi senjata untuk merusak persatuan yang kita miliki. Gesekan sering terjadi karena perbedaan yang ada, bahkan sampai membuat beberapa orang menjadi ketakutan. Peristiwa ini terjadi akibat ulah oknum yang tidak senang melihat kehidupan yang damai antara orang-orang Indonesia. Sebagai orang percaya, kita juga diajarkan untuk dapat melihat orang yang berbeda sebagai sesama manusia. Ada pertanyaan menarik yang pernah Tuhan Yesus Kristus utarakan kepada orang yang bertanya tentang siapa sesama manusia “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Lukas 10:36).
Pertanyaan Tuhan Yesus Kristus tersebut ialah penutup dari kisah tentang orang Samaria yang baik hati. Tuhan Yesus Kristus sedang menjawab pertanyaan tentang siapa sesama manusia yang perlu dikasihi. Orang Yahudi pada saat itu hanya menganggap orang yang sebangsa dengan mereka yang adalah sesama manusia. Namun, Tuhan Yesus Kristus memberikan sebuah pencerahan bagi mereka yang memiliki pemahaman yang sempit tentang sesama manusia. Orang-orang yang berada di luar Yahudi ialah sesama manusia yang perlu juga dikasihi dan mengenal kasih Tuhan. Bagaimana mungkin, kasih Tuhan dapat dikenal oleh orang banyak jika memiliki pemikiran tertutup. Kasih Tuhan itu melampaui sekat atau batasbatas yang dibuat manusia. Wajar Tuhan Yesus Kristus dengan tegas menegur orang-orang Yahudi yang memiliki pemikiran tertutup.
Tuhan Yesus Kristus membuka pikiran orang-orang saat itu bertujuan untuk menekan gesekan yang terjadi di antara orang Yahudi dengan Samaria. Ia mengajak setiap orang untuk mampu memanusiakan sesamanya untuk dapat mengenalkan janji keselamatan bagi banyak orang yang belum mendengarnya. Kisah tersebut juga mengingatkan kita sebagai orang percaya yang hidup di Indonesia. Hidup meng-Indonesia bukan sekadar sebuah slogan yang indah dan nyaman dibaca saja, namun sikap itu perlu mewujud nyata dalam kehidupan kita. Kita telah diajarkan untuk mampu mengasihi sesama manusia tanpa melihat batas-batas yang ada. Sikap tersebut perlu juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita mampu menjaga persatuan yang sudah Tuhan percayakan. Mengasihi sesama tanpa batas juga menolong kita untuk dapat mengenalkan kasih Tuhan agar mereka tahu bahwa Ia mengasihi semua ciptaanNya.
Galvin T. Bartianus
Minggu, 23 Mei 2021
PENTAKOSTA
“Roh Kudus yang Memberi Kesadaran”
“Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” – Matius 7:3-5.
Libur panjang telah kita lewati beberapa hari ke belakang, banyak berita juga yang menunjukkan masih banyak orang yang memaksa untuk “mudik” di tengah pandemi. Mungkin, banyak dari kita mengeluhkan kelakuan orang-orang yang memaksakan diri untuk “mudik” pada libur lebaran kemarin. Banyak juga opini yang menyayangkan tindakan beberapa orang yang bersikeras ingin berjumpa dengan keluarga di kampung halamannya. Namun, apakah hal tersebut bisa disalahkan? Banyak faktor yang membuat saudara-saudara kita memaksakan diri kembali ke kampungnya di tengah pandemi yang terjadi. Kadang kala, kita sibuk membicarakan tentang orang-orang seperti itu tetapi lupa dengan diri sendiri yang belum tentu juga dapat menjaga prokes dengan baik. Mari kita melihat apa yang Tuhan Yesus Kristus ingatkan tentang melihat kesalahan yang dibuat orang lain.
Injil Matius 7:3-5 memaparkan tentang pengajaran Tuhan Yesus Kristus tentang melihat kesalahan orang lain. Banyak orang yang sibuk membicarakan kesalahan orang lain sampai lupa dengan apa yang ia lakukan. Pada saat itu orang yang dianggap berpengetahuan tentang Taurat sibuk menjadi hakim atas diri orang lain sehingga mengabaikan kesalahan yang dibuatnya. Tuhan Yesus Kristus mengajak orang-orang pada saat itu memiliki kesadaran dalam dirinya untuk mampu mengawasi apa yang mereka lakukan. Jangan-jangan mereka pandai menemukan kesalahan orang tetapi menutup mata dengan kesalahan yang mereka buat. Sikap ini sungguh ironi karena adanya kegagalan dalam memiliki kesadaran diri. Tuhan sedang menegur banyak orang untuk mengoreksi diri sebelum membuat opini atau menjadi hakim atas sikap orang lain.
Peringatan yang Tuhan berikan mengajak kita untuk memiliki kesadaran dalam diri dan mengoreksi sikap selama ini. Kesalahan orang lain bukan untuk dihakimi tetapi menjadi sarana untuk mengoreksi sikap kita. Sebagai orang-orang percaya kita perlu terus mengawasi apa yang telah dilakukan. Apakah kita sudah menjalani prokes dengan baik? Apakah kita memiliki kesadaran perlunya menahan diri untuk berjumpa? Semua pertanyaan itu perlu dijawab melalui sikap kehidupan yang kita terapkan. Apakah Sulit? Pasti sulit jika kita tidak memiliki kesadaran penuh akan diri sendiri.
Di hari Pentakosta ini kita diingatkan tentang momen pencurahan Roh Kudus yang memberi kekuatan. Kekuatan apa yang kita butuhkan saat ini? Kekuatan untuk mampu memiliki kesadaran akan menjalani prokes dengan baik agar memutus rantai penyebaran Covid-19. Roh Kudus yang dicurahkan mampu menolong kita untuk menyadari dan mengoreksi diri kita dari perbuatan selama ini. Mari, kita menjadikan momen pencurahan Roh Kudus ini sebagai cara menumbuhkan kesadaran akan diri sendiri sehingga kita mampu bersama-sama memutus rantai penyebaran Covid yang ada di negara yang kita cintai ini.
Galvin T. Bartianus
Minggu, 30 Mei 2021
BERIMAN IALAH PROSES
“Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.” (Kejadian 12:1)
Dewasa ini, setiap orang sudah memiliki smartphone yang mampu mengakses banyak informasi dalam kehidupan. Banyak yang menjadikan internet sebagai referensi dalam mencari sesuatu atau menjawab pertanyaan iman. Tidak sedikit, orang Kristen pun mencari jawab atas pergumulan hidupnya melalui internet. Apakah sikap ini keliru? Mungkin bisa dikatakan keliru karena kita tidak lagi memandang Tuhan sebagai sumber jawaban yang absolut dalam kehidupan ini. Orang percaya terjebak dalam hidup yang instan karena tidak mau masuk dalam proses beriman yang melelahkan. Bagaimana kita menyikapi fenomena yang ada dalam kehidupan beriman kita?
Alkitab mencatat sebuah kisah yang menunjukkan bahwa beriman bukan hanya sebuah kata yang diungkapkan dari mulut manusia. Kisah tentang Abram yang dipanggil Tuhan, memberikan sebuah pertanyaan yaitu “mengapa Abram mau?” Abram dipanggil untuk pergi ke sebuah tempat yang ia sendiri tidak mengetahuinya (Kejadian 12:1). Abram mengikuti apa yang diminta oleh Tuhan dalam hidupnya. Meskipun tidak tahu apa yang akan dihadapi kemudian, ia tetap setia untuk menjalankan apa yang Tuhan minta kepadanya. Perjalanan yang dilakukan Abram menghantarkannya pada penyertaan Tuhan yang nyata meskipun banyak rintangan yang ia lalui. Bahkan, sampai sekarang kita mengenal Abraham sebagai bapak orang beriman.
Perjalanan kehidupan Abraham mengajak kita untuk mampu melihat iman sebagai sebuah proses. Tidak perlu tahu pasti akan dibawa kemana, tetapi yakin bahwa Tuhan terus menyertai. Menantikan jawaban Tuhan dengan setia menjadi salah satu cara beriman yang dapat diterapkan dalam kehidupan kita. Kesetiaan tersebut akan membuat setiap kita untuk tidak mudah tergoda untuk mencari jawaban dari tempat lain. Oleh sebab itu, marilah kita masuk dalam proses beriman agar tidak mudah diombang-ambingkan kemudahan yang ditawarkan dunia.
Galvin T. Bartianus