ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 5 Desember 2021

MENGHIDUPKAN ADVEN

Tidak terasa kita telah memasuki Bulan Desember. Natal sudah dalam hitungan hari. Ya, 20 hari lagi kita akan merayakan Natal. Dari tahun ke tahun, kita disibukkan dengan persiapan Natal. Daftar belanjaan, daftar persiapan pernak-pernik rumah, daftar hadiah Natal dan masih banyak lagi. Karena itu, tidak heran, masa Adven akan terasa cepat berlalu. Padahal masa adven bukan sekedar bagaimana kita menyiapkan kebutuhan Natal. Masa Adven justru dihadirkan bagi kita supaya kita memawas diri.

Kristus telah lahir bagi kita, sudahkah kita mengalami kehadiranNya secara nyata dalam kehidupan kita? Atau hidup berlangsung karena begitu adanya, sama seperti orang-orang lain? Adven bukan saja membawa kita mengenang peristiwa yang lampau, ketika Kristus menjadi manusia. Adven juga memberikan kepada kita kesempatan untuk memandang jauh ke depan, di dalam kedatangan Kristus Kembali. Kristus sudah berjanji bahwa Ia akan datang Kembali. JanjiNya ya dan amin. Persoalannya adalah dalam keterbatasan kita, kita tidak dapat mengetahui kapan Ia datang. Umat Tuhan sejak abad pertama telah menantikan kedatanganNya. Respon mereka bisa kita jumpai dalam pemberitaan Alkitab. Tetapi seiring dengan berbagai kesibukan, rasanya ada banyak orang yang kemudian memilih bersikap tidak peduli. Toh tidak tahu juga kapan waktunya, kenapa mesti repot-repot memikirkannya. Kalau Tuhan mau datang, ya datanglah. Kalau Tuhan belum mau datang, terserah Tuhan. Sikap ini juga tidak tepat, apalagi jika dikerjakan oleh orang beriman.

Harus seperti apakah kita memakai kesempatan pada Adven ini? Karena tujuan kita adalah kesiapan menyambut kedatanganNya kembali, tentu saja kita harus melatih diri kita agar berkenan di hadapanNya. Apa yang berkenan bagiNya? Ketika Ia telah memberikan anugerah keselamatan dan hidup baru kepada manusia yang berdosa, maka Ia menginginkan setiap orang yang percaya kepadaNya hidup dalam kekudusan. Kata “kudus” dalam Bahasa Ibraninya adalah qadesh yang berarti dipisahkan, sehingga hidup dalam kekudusan dibangun dalam kesadaran bahwa dirinya telah dipisahkan dari dunia, dikhususkan untuk hidup bagi Tuhan. Tuhan telah menyatakan dengan sangat jelas dalam Kitab Imamat 19:2, demikian “.. Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Tuhan menunjuk kepada masing-masing pribadi untuk mengkuduskan dirinya. Umat Tuhan pada waktu itu telah gagal mengerjakan bagian ini, karena yang mereka pikirkan adalah hal-hal lahiriah berkaitan dengan pelaksanaan lahiriah hukum Taurat.

Padahal yang Tuhan maksudkan adalah keseluruhan hidup, baik itu jasmani maupun rohani, atau jika kita menggunakan pemahaman tubuh, jiwa dan roh. Apa yang dikerjakan tubuh (lahiriah) sejalan dengan yang dipikirkan dan dirasakan/ dijadikan dasar motivasi. Dalam kaitannya kita masih bergumul untuk menjadi setia dan taat, tentu saja mengupayakan kekudusan ini menjadi pemikiran tingkat tinggi. Oleh karena itu, kita harus membaca dan menghayati kalimat Tuhan tersebut secara utuh. Tuhan tidak bermaksud menyampaikan ayat tersebut untuk kita kerjakan dengan kemampuan kita. Bagian terakhir dari ungkapan tersebut mau menunjukkan bahwa kita memiliki kekuatan dan kemampuan ketika kita menghayati bahwa kita mengerjakan kehidupan kita di dalam dan bersama-sama dengan TUHAN yang Kudus. KekudusanNya dihadirkan dalam kita. Dan itulah yang perlu kita upayakan terus untuk menjadi nyata di tengah berbagai pergulatan hidup. Kalau yang Maha Kudus itu selalu hadir maka tidak ada alasan bagi kita untuk merasa lemah dan tidak mampu mewujudkan kehendak TUHAN tersebut. Mari kita pakai masa adven ini untuk mempersembahkan hidup yang berkenan kepadaNya, menunjukkan kesiapan kita menyambut kapanpun Dia datang kembali dengan penuh sukacita.

Pada hari ini secara khusus kita juga mengingat penantian panjang untuk mendirikan gereja di Bogor Barat. Kita bersyukur hari ini pembangunan gereja akan dimulai dengan Peletakan Batu Pertama sebagai tandanya. Masa penantian waktu Tuhan yang telah dialami pada waktu lalu, kiranya dapat terus kita lakukan di masa2 mendatang bersama Tuhan yang hadir hingga gereja ini terwujud. Ia-lah yang terus memampukan kita.

Forum Pendeta


Minggu, 12 Desember 2021

TERSENYUM BAGI DUNIA

Saat ini, sulit untuk melihat ekspresi seseorang karena masker yang harus terus dikenakan. Walaupun begitu, sudah menjadi kebiasaan, ketika berfoto, orang selalu meminta yang di foto untuk tersenyum. Alasannya, meski tidak terlihat ulas senyum di bibir, toh dari gurat mata dan wajah dapat disimpulkan bahwa sang pemilik wajah sedang tersenyum. Jika kita berbicara tentang senyum, mungkin kita akan berpikir bahwa senyum bisa jadi tidak menunjukkan sesuatu yang menyenangkan, karena ada istilah-istilah seperti senyum getir, senyum kecut ataupun senyum kuda. Namun, marilah kita kembali kepada definisi kata “senyum” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan (online) adalah gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka, dan sebagainya dengan mengembangkan bibir sedikit. Ekspresif namun tidak bersuara, hal ini menarik, mungkin bisa kita katakan bahwa melalui ekspresi yang sederhana sebuah cerita kehidupan sedang disampaikan.

Sebuah senyuman yang tulus menyiratkan hal yang elegan lebih bersifat ke dalam diri (kondisi hatinya), lebih halus, lebih lembut, lebih tenang daripada tertawa. Dari sanalah terpancar sukacita yang mengisi kehidupan seseorang. Lagi-lagi bukan di dalam tawa yang membahana tetapi dalam ketulusan sebuah senyuman yang dipersembahkan sang pemilik kepada dunia sekitarnya, sukacita dihadirkan. Kita mengenal sukacita sebagai salah satu unsur dari buah roh. Seseorang yang hidup dalam Roh Allah tentu hidupnya dipenuhi dengan sukacita. Bukan karena semua baik-baik saja atau karena berhasil memenangkan sesuatu melainkan atas kemurahan (anugerah) Allah untuk menghadirkan pengharapan yang selalu baru dalam kehidupan kita.

Sukacita dalam diri membuahkan senyuman yang menularkan pengharapan bagi orang di sekitar. Terkadang kita memang tidak memerlukan kata nasihat yang panjang dan dirangkai begitu puitis, kita mungkin jengah dengan sentuhan fisik ketika orang berusaha menghibur dan menguatkan. Sebuah senyuman yang tulus sudah lebih dari cukup untuk memantikkan sukacita dalam diri seseorang. Dan bahkan menjadi dasar untuk membangun kehidupan yang bersandar kepada kuasa Allah. Perasaan sukacita yang lahir dari pengalaman iman tidak akan pernah pudar atau rapuh, walaupun keadaan terus-menerus mengalami perubahan. Kita tetap dapat bersukacita walaupun berada di tengah-tengah penderitaan atau kesusahan. Hal ini dialami sendiri oleh rasul Paulus, dan ia berkata, “Aku sangat bersukacita dalam Tuhan.” (Filipi 4 : 10). Untuk itulah, ia dapat menanggung semua perkara dalam hidupnya, sekalipun banyak pencobaan dan pergumulan berat yang harus ia lewati sebagai pengikut Tuhan (Filipi 4 : 13). Sekalipun ia dipenjarakan, namun ia tetap mampu melakukan doa dan bernyanyi puji-pujian.

Hari minggu ini, kita memasuki Adven ke-3 yang dikenal pula dengan sebutan gaudate atau bersukacitalah. Di tengah masa penantian ini, umat diingatkan untuk tetap menjalani kehidupan dengan sukacita. Bukan mencari kesenangan sendiri tetapi memancarkan anugerah ilahi dari kehidupannya. Hal ini tidak sulit untuk kita lakukan. Mulailah dengan tersenyum. Tersenyumlah bagi dunia, sehingga sukacita Kristus dapat dirasakan bagi banyak orang.

Forum Pendeta


Minggu, 19 Desember 2021

MALAM NATAL = NATAL PERTAMA?

Dalam minggu ini, kita akan merayakan Natal. Ada hal yang seringkali membingungkan bagi kita yaitu ketika kita menyelenggarakan ibadah pada tanggal 24 Desember (yang biasanya dilakukan pada sore/malam hari). Ucapan apa yang kita berikan ketika bertemu dengan saudara-saudara seiman pada ibadah tersebut? Selamat Malam Natal / Selamat menyambut Natal/Selamat Natal? Belum lagi kebingungan dari sisi ornamen liturgi mengenai apakah lilin ungu masih menyala atau sudah tidak menyala pada ibadah tersebut, sementara telah digunakan wana putih sebagai wana liturgi. Kebingungan ini terjadi karena dalam kaidah penulisan Bahasa Indonesia, istilah “Malam Natal” menunjukkan pada kondisi malam sebelum Natal, sehingga dapat diartikan bahwa kita belum memasuki Natal. Hal yang menguatkan pemahaman ini adalah pada minggu berikutnya, kita menyelenggarakan ibadah tutup tahun atau ibadah malam tahun baru. Dengan pemahaman bahwa ketika kita menyelenggarakan ibadah tersebut, tahun belum berganti.

Untuk dapat mengatasi kebingungan kita dan mungkin kebiasaan kita selama ini, maka kuncinya adalah kita kembali melihat teks leksionari yang menjadi pendasaran firman Tuhan pada ibadah tersebut. Seperti sudah kita ketahui bahwa bahan bacaan leksionari yang digunakan GKI diambil dari The Revised Common Lectionary yang diterbitkan oleh The Consultation on Common Texts, Fortress Press, Minneapolis, tahun 2005. Siklus pembacaan leksionari ini senantiasa berputar selama 3 tahun, yang terdiri dari tahun A (Injil Matius), tahun B (Injil Markus) dan tahun C (Injil Lukas). Injil Yohanes umumnya hanya digunakan pada hari raya gerejawi tertentu. Teks Alkitab yang dibacakan pada Malam Natal dari ketiga tahun gerejawi adalah: Yesaya 9:2-7; Mazmur 96; Titus 2:11-15; Lukas 2:1-14 atau Lukas 2:1-20. Ketika kita merujuk dan melandasi pada bacaan Injil, kita menemukan bahwa bacaan yang digunakan adalah dari 1 sumber yaitu Injil Lukas 2:1-14 (atau bisa sampai ayat 20). Kita tahu bersama bahwa Injil Lukas 2:1-20 berbicara mengenai “Kelahiran Yesus” atau peristiwa malam ketika Yesus dilahirkan. Dengan demikian, maka pada tanggal 24 Desember malam, kita sudah merayakan Natal. Atau bisa juga dikatakan bahwa Malam Natal adalah Natal Pertama. Apalagi, kemudian pada ibadah Malam Natal kita juga terbiasa untuk melakukan penyalaan lilin Natal yang dirasa sangat afdol dengan iringan lagu Malam Kudus (walaupun untuk ini mungkin kita bisa menggunakan lagu yang lain, namun ada pandangan merayakan Natal kurang komplit kalau tidak menyanyikan lagu “Malam Kudus”). Penyalaan lilin ini semakin menunjukkan bahwa dalam ibadah tersebut kita merayakan Natal, lahirnya Yesus Kristus, Sang Terang Dunia.

Umat yang terkasih, kiranya penjelasan di atas membuat kita tidak kebingungan lagi. Pada saat ibadah 24 Desember yang dilakukan sore/malam hari, maka kita merayakan Natal yaitu kelahiran Tuhan. Kiranya kita dapat semakin bersukacita dalam menyambut kehadiran Sang Juruselamat di antara manusia.

Forum Pendeta


Minggu, 26 Desember 2021

SUKACITA DI TENGAH KESURAMAN DUNIA

Rangkaian Natal yang dimulai dengan Malam Natal selalu menjadi momen perayaan penuh sukacita bagi setiap orang Kristen. Bagaimanapun keadaan kehidupan sehari-hari, pada masa ini, semua berlomba untuk menunjukkan kesukacitaan karena kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Sayangnya, sukacita tersebut seringkali tidak bertahan lama. Ketika masa Natal telah usai, hiasan-hiasan Natal berupa pohon Natal dan lampu-lampu telah dibereskan, semua kembali seperti semula. Beragam perasaan bermunculan kembali: sedih, kecewa, cemas bahkan putus asa. Hal ini seolah menyiratkan bahwa kehadiran Tuhan yang membahagiakan hanya terjadi pada momen-momen tertentu saja. Selepas itu, maka kehidupan terasa suram dan menekan berat.

Tentu bukan itu, yang Tuhan inginkan ketika Ia menyatakan kehadiranNya di antara manusia. Ia bukan hadir untuk sesuatu yang semu dan sementara. Tuhan hadir untuk memberikan kekekalan dalam kehidupan manusia, mengatasi semua yang sementara termasuk kesuraman. Dalam bacaan kita, kesuraman ditunjukkan dalam dua bagian. Bagian pertama dalam Lukas 2:1-7 menceritakan tentang perintah sensus yang diberikan oleh Kaisar Agustus kepada seluruh warga. Tidak ada yang bisa mengecualikan diri dari perintah ini, bahkan Maria yang dalam kondisi hamil harus kembali ke Bethlehem, kota asal dari Yusuf. Berat dan sulit pastinya karena perjalanan sekitar 129 km yang harus ditempuh. Namun, segala keletihan terbayarkan ketika bayi Yesus dilahirkan. Sebagaimana pujian yang telah dinaikkan Maria, yang dapat kita baca dalam Lukas 1. Tentunya kehadiran bayi Yesus dalam segala kesulitan karena tekanan kondisi membawa sukacita yang tidak tergantikan bagi Maria dan Yusuf.

Bagian kedua dalam Lukas 2:8-20 menghadirkan kisah hidup para gembala. Sebagai kaum yang tersisihkan secara sosial, dan tidak diperhitungkan, mereka tidak pernah dapat berharap banyak. Namun, justru bagi merekalah berita sukacita pertama kali diperdengarkan. Tuhan ingin menyatakan bahwa apapun kondisi seseorang, tidak ada satupun yang dapat menghalangi hadirnya sukacita ilahi. Tentu saja, hal ini direspon dengan keterkejutan tetapi juga dengan iman, sehingga mereka mau untuk pergi ke Bethelem dan membuktikan berita sukacita tersebut secara langsung. Setelah bertemu Yesus, mereka tetap hidup sebagai gembala yang memiliki semangat baru karena sukacita ilahi hadir memenuhi kehidupan mereka.

Jika saat ini, kita masih mengalami kesuraman karena situasi di luar kendali atau karena keberadaan diri kita yang serba terbatas maka biarlah berita Natal menjadi sukacita kekal dalam hidup kita. Sang Juruselamat bersedia hadir melampaui segala hal dalam kehidupan kita. Bukalah hidup kita untuk senantiasa dipenuhi sukacita sehingga setiap langkah kita jalani dengan semangat dan damai sejahtera.

Forum Pendeta