ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 7 November 2021

BENCI TAPI RINDU

Membangun sebuah relasi baik merupakan sikap yang selalu dilakukan oleh setiap orang. Melalui relasi baik, kita akan menjumpai banyak orang yang akan mengasihi kita dan membangun iklim positif dalam hidup. Banyak orang juga ingin membangun relasi dengan orang-orang yang mereka anggap baik dan cenderung menjauhi orang yang tidak baik. Situasi tersebut membuat kebanyakan orang akan memilih untuk berteman dengan orang-orang yang baik dengannya saja. Sedangkan orang yang menjengkelkan tidak akan masuk dalam lingkaran pertemanannya. Akhirnya, dalam sebuah relasi ada sebuah tembok pemisah antara orang baik dan tidak baik. Kadang kala, kita juga terjebak dalam situasi yang mendorong untuk membangun tembok pemisah. Lalu, apa yang perlu dilakukan oleh kita yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus Kristus?

Injil Lukas 6:27 mencatat sebuah perkataan Tuhan Yesus Kristus “Tetapi kepada kamu yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu”. Perkataan Tuhan Yesus Kristus tersebut merupakan sebuah pengajaran yang dilakukan untuk menegur banyak orang. Ia mengajak banyak orang untuk berfikir bahwa dalam kehidupan banyak orang sibuk membangun tembok dengan rasa benci. Padahal, setiap orang memerlukan kasih Tuhan yang nyata tanpa tembok pemisah (rasa benci). Ia yang terus disakiti oleh sikap ciptaan-Nya yang terus melakukan dosa tetap rindu untuk menjalin relasi baik. Tuhan Yesus Kristus mengajak setiap orang untuk mampu merobohkan setiap tembok rasa benci agar relasi baik dapat dilakukan untuk semua orang tanpa terkecuali.

Pengajaran yang Tuhan Yesus Kristus berikan mengajak setiap orang yang percaya kepada-Nya untuk memeriksa diri. Apakah kita masih suka membangun tembok pemisah dalam menjalin relasi? Atau apakah kita sedang berusaha untuk merobohkan tembok kebencian yang selama ini menghalangi relasi kita dengan yang lain? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantarkan kita pada realita bahwa sulit memang untuk dapat mengasihi orang yang tidak kita senangi. Akan tetapi, Tuhan Yesus Kristus telah menunjukkan sikap yang berbeda dengan realita yaitu menerima dan melakukan yang baik kepada orang-orang yang membenciNya. Kita juga diajak untuk mampu melakukannya, meskipun kita benci tetapi rasa rindu untuk membangun relasi baik seperti yang sudah Tuhan Yesus Kristus wujudkan.

Forum Pendeta


Minggu, 14 November 2021

GEREJA: KOMUNITAS ATAU RUTINITAS?

Sepakbola merupakan olahraga yang digemari oleh banyak kalangan, dari anak‐ anak, remaja, orang tua, pria maupun perempuan. Banyak orang yang menyukai sepakbola dan memiliki tim yang diidolakan. Jika diamati sebagai penikmat olahraga ini, setiap tim memiliki pendukung fanatik yang selalu siap datang menyaksikan tim kesayangannya bertanding. Fenomena ini menarik, pasalnya para pendukung tim sepakbola tidak pernah dibayar untuk menonton timnya. Sebaliknya mereka yang harus mengeluarkan dana untuk membeli tiket masuk. Tetapi, stadion sepakbola hampir tidak pernah sepi dari orang‐orang yang ingin melihat tim kesayangannya bermain.

Realita pendukung tim sepakbola membawa pada perenungan tentang komunitas yang ada di gereja. Gereja masa kini mulai tidak diminati oleh beberapa orang Kristen, mereka cenderung datang ke gereja hanya sebagai rutinitas semata. Orang Kristen seperti kehilangan makna bergereja sehingga gereja perlu memutar otak untuk membuat banyak orang kembali bergairah datang untuk bersekutu bersama. Ini membawa kita pada pertanyaan: “Apakah kita (gereja) sebuah tempat komunitas atau rutinitas?”

Injil Yohanes 6:22‐24 mencatat kisah tentang orang banyak yang berduyun‐duyun mencari Yesus Kristus. Mereka tanpa lelah terus mengejar kemana Yesus pergi dan siap sedia untuk mendengar apa yang Ia ajarkan. Apa yang mereka cari dari sosok Yesus? Apakah mereka hanya ingin mendapatkan sebuah mujizat yang Ia berikan? Ketika membaca kembali kisah yang ditulis oleh Injil Yohanes, orang banyak datang dan mencari Yesus bukan hanya untuk melihat mukjizat tetapi ada alasan yang mendasar. Jika kita membaca kisah sebelumnya tentang bagaimana Yesus mengajar dan memberi makan bagi semua orang, dapat kita lihat bahwa orang banyak datang adalah untuk mendengar kebenaran dari pengajaran-Nya. Kebutuhan spiritual dari orang banyak yang mampu menggerakkan mereka untuk terus mencari Yesus.

Yesus Kristus tidak pernah memaksa mereka untuk mengikuti‐Nya dan tidak mengiming‐imingi orang banyak agar mau datang kepada‐Nya. Orang banyak tersebut datang karena mereka tahu bahwa pengajaran Tuhan dapat menjadi pegangan bagi kehidupan mereka. Peristiwa ini menunjukkan bahwa yang menggerakkan orang banyak adalah pengajaran yang menyentuh kehidupan mereka sehingga membuat mereka dapat berkumpul dan mencari‐Nya.

Gereja masa kini semakin kehilangan maknanya, tidak sedikit orang Kristen menjadikan gereja sebagai rutinitas sehingga membuatnya tidak tergerak untuk mengikuti kegiatan yang ada. Kehidupan gereja yang dipandang hanya sebagai rutinitas akan menghilangkan makna setiap kegiatan ritual yang dilakukan. Setiap orang yang datang ke gereja hanya didasari oleh kebiasaan bukan berasal dari kerinduan akan persekutuan yang Tuhan berikan. Tetapi, perenungan kita dalam Injil Yohanes menunjukkan bahwa gereja bukanlah tempat orang melakukan sebuah rutinitas. Keberadaan gereja ialah sebagai sebuah komunitas yang menumbuhkan iman setiap orang yang ada di dalamnya.

Gereja merupakan sebuah komunitas yang di dalamnya orang rindu untuk mendengar pengajaran Tuhan untuk menjadi bekal bagi kehidupannya bahkan dapat membagikannya kepada banyak orang. Kesadaran ini yang perlu terus dilatih dalam diri orang Kristen masa kini sehingga gereja tidak perlu “memaksa” orang datang tetapi mereka datang karena kerinduannya untuk mendengar pengajaran yang diberikan. Sebagai komunitas yang membangun gereja juga terus membenahi dirinya agar pengajaran Tuhan Yesus Kristus dapat dipahami secara utuh.

Galvin T. Bartianus


Minggu, 21 November 2021

TIDAK JATUH KE LUBANG YANG SAMA

Ada pepatah yang mengatakan “keledai tidak akan jatuh dua kali ke lubang yang sama”, hal tersebut biasanya diungkapkan kepada orang yang selalu jatuh pada kesalahan yang sama. Sering kali kita merasa geram melihat orang yang terjebak dan selalu jatuh pada kesalahan yang sama. Biasanya orang tersebut dengan mudah mengatakan “maaf” ketika melakukan kesalahan tetapi kata tersebut seperti tiada arti ketika ia terus melakukan kesalahan secara berulang. Pepatah tentang keledai di atas merupakan sindiran yang diberikan kepada orang yang bebal karena keledai dipandang sebagai salah satu hewan yang lamban dalam berfikir tetapi ia tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah dibuat. Lantas, apakah kita yang sering mengulangi kesalahan lebih lamban dari pada seekor keledai? Padahal kita dikaruniakan akal budi untuk berfikir. Apa sebenarnya yang menghambat dan membuat kita terus jatuh ke dalam kesalahan yang sama?

Kisah dalam 2 Samuel 12:1-25 akan membantu kita untuk melihat dan menjawab apa yang perlu kita lakukan untuk terlepas dari kelambanan yang kita miliki. Penulis kitab Samuel menceritakan tentang kemarahan Tuhan kepada raja Daud yang mengambil istri Uria dengan cara yang licik. Akibat perbuatannya, Tuhan mengutus Nabi Natan untuk mengingatkan dan menegur Daud yang sedang bahagia karena kesalahannya. Ada sedikit penolakan oleh Nabi Natan karena ia tahu konsekuensi jikalau raja Daud marah karena ditegur olehnya. Tuhan meyakinkan Nabi Natan untuk datang dan menegur raja Daud yang telah melakukan kesalahan. Nabi Natan datang kepada raja Daud dan menegurnya dengan sebuah perumpamaan sehingga Daud pun berfikir. Perumpamaan yang diberikan adalah sebuah sindiran yang ditujukan kepada raja Daud yang mengambil istri Uria. Setelah Nabi Natan menjelaskan bahwa perumpamaan itu merupakan teguran dari Tuhan yang marah akibat sikap Daud yang licik. Maka menyesallah Daud dari kesalahan yang telah ia lakukan. Daud menyadari bahwa ia sudah melakukan kesalahan dan ia memohon ampun akan perbuatannya itu.

Dalam menjalani kehidupan ini, seringkali kita lamban dan enggan untuk menerima teguran yang ditujukan kepada kita. Sikap tersebut yang membuat kita tidak menyadari kesalahan apa yang telah dilakukan sehingga kita akan jatuh ke lubang yang sama. Tetapi, kisah Nabi Natan yang menegur Daud memberikan kita sebuah perspektif dalam memandang sebuah masalah. Kita dapat melihat bahwa kehadiran Nabi Natan yang menegur adalah seperti orang-orang yang selalu mengingatkan kesalahan yang telah kita lakukan. Sedangkan respon raja Daud yang menyadari dan menyesali lalu meminta maaf merupakan sikap yang patut kita lakukan dalam menerima teguran yang ada. Hal ini dikarenakan, teguran yang diberikan adalah wujud kasih Tuhan kepada kita agar tidak jatuh ke dalam kesalahan yang sama. Selamat belajar untuk menerima teguran, menyadarinya, meminta maaf dan tidak melakukannya. Tuhan selalu memampukan kita.

Galvin T. Bartianus


Minggu, 28 November 2021

YANG TERLUKA YANG MENYEMBUHKAN

Hidup manusia itu seperti sebuah roda yang berputar, kadang ada di atas dan kadang ada di bawah. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kita tidak akan selamanya berada dalam puncak kejayaan dan tidak akan juga selalu terpuruk di bawah. Akan tetapi, peristiwa kehidupan ini jarang disadari oleh kebanyakan orang. Ketika berada di atas tidak jarang kita melupakan orang-orang yang sedang terpuruk, sedangkan ketika kita terpuruk kita cenderung menyalahkan keadaan serta tidak jarang mempertanyakan keberadaan Tuhan. Kejadian seperti itu juga tidak jarang terjadi di dalam kehidupan bergereja. Gereja yang adalah tempat untuk bertumbuh bersama dalam iman seakan tidak menjadi tempat yang nyaman. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang sibuk dengan dirinya sehingga tidak terlalu memikirkan kehidupan yang dijalani orang lain. Tidak jarang juga orang yang terpuruk menjadi dilupakan dengan alasan “saya pun sedang berjuang dengan hidup saya, masa harus memikirkan orang lain”. Realita ini membawa kita pada pertanyaan “Bagaimana mungkin dapat mendengarkan orang yang sedang terluka jika kita pun sedang terluka?”.

Mari kita melihat pesan Paulus yang dituliskan dalam Roma 12:9-21. Dalam suratnya, Paulus membantu kita untuk menghadapi realita yang sedang dihadapi saat ini. Paulus menujukkan surat ini kepada jemaat yang ada di Roma, mereka sedang bergumul dalam iman dan persekutuan mereka sebagai orang-orang percaya. Ia mengawali perikop ini dengan mengingatkan untuk mengedepankan kasih yang datangnya dari Tuhan Yesus Kristus. Melalui kasih tersebut, jemaat di Roma diminta untuk menahan diri dan saling menghormati. Setelah itu, Paulus menekankan untuk hidup berempati dengan yang lain. Ia menyatakan hal ini dalam ayat 15 “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis”. Pernyataan tersebut ingin mengingatkan bahwa empati merupakan sebuah dasar untuk memperkokoh sebuah jemaat. Paulus juga mengingatkan untuk dapat hidup damai dan terus membagikan kasih Kristus dalam kehidupan. Nasihat Paulus menunjukkan bahwa dalam setiap peristiwa yang dihadapi (baik atau buruk) jangan pernah meninggalkan kasih yang Kristus berikan karena hanya dengan itu kita dapat menyembuhkan dunia ini.

Pesan dari surat Paulus mengingatkan kita untuk mengambil bagian dalam menyebarkan kasih Kristus di kehidupan kita. Empati merupakan sikap yang perlu kita latih dalam hidup menggereja. Kita tahu bahwa hidup kita tidak selamanya di atas dan di bawah tetapi kita diingatkan untuk menjadi seorang sahabat yang mampu hadir dalam keterpurukkan dan kebahagiaan seseorang. Sikap empati akan mendorong kita untuk benar-benar terlibat dalam sebuah masalah yang ada. Ketika kita larut dalam sebuah masalah seseorang, mungkin kita akan menemukan kekuatan untuk masalah yang sedang kita hadapi atau kita mampu menguatkan karena sedang ada dalam masalah yang sama sehingga mampu mendengarkan dengan baik. Jika mampu untuk berempati dalam kehidupan ini, kita juga adalah orang-orang yang menyalurkan kasih Kristus yang menguatkan, membalut yang terluka, dan memberikan harapan bagi orang lain. Jadi, siapkan diri kita untuk berempati karena kehidupan ini terus berputar.

Galvin T. Bartianus