ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 6 Maret 2022

BUKAN SEKEDAR RUTIN

Kata “rutin” bukanlah kata yang asing bagi kita. Hanya saja, ketika kata ini diperdengarkan atau disampaikan seringkali menjadi momok bagi banyak orang. Ia membawa kesan tuntutan dan seolah-olah membatasi gerak kehidupan, terbatasnya ruang untuk berekspresi dan mengeksplorasi diri. Meskipun begitu, tanpa banyak perlawanan dan dengan kesadaran, kita terlarut dalam rutinitas. Kita seakan tidak memiliki kekuatan untuk terlepas dari jeratnya. Hidup menjadi sangat monoton. Pertanyaannya, apakah memang demikian membosankannya sebuah rutinitas?

Tentu saja, kembali kepada bagaimana cara kita memandang, menempatkan dan mengelola rutinitas kita. Dengan alasan apapun, kita tidak dapat menganggap bahwa rutinitas adalah hal yang buruk. Rutinitas justru menjadi langkah awal membangun kebiasaan yang baik di dalam diri dan kehidupan kita. Kita lihat saja bagaimana kita mengajari anak-anak sedari mereka bayi untuk rutinitas kehidupan: mandi, sikat gigi, makan dan minum teratur serta tidur pada waktunya. Semua dikerjakan dengan rutin dari hari ke sehari. Kekeliruan terletak pada anggapan bahwa kita tidak dapat berbuat apa-apa dengan rutinitas. Sesuatu yang rutin tetap perlu pemaknaan yang baru setiap dikerjakan.

Itulah juga yang selalu diperingatkan oleh Firman Tuhan tetapi juga yang dipertontonkan kepada kita sebagai kegagalan dari umat pilihanNya. Ketika Tuhan memerintahkan melakukan segala sesuatu dengan teratur, bukan maksudnya menjebak umat dalam rutinitas yang tanpa makna. Sayangnya, keterbatasan pikir manusia membuat umat merasa sudah cukup menyenangkan Tuhan dan berkenan kepadaNya dengan ritual peribadahan yang rutin. Kecaman Tuhan berulang kali dilontarkan kepada umat dengan berbagai cara. Namun umat tidak peka. Tuhan menginginkan umat memiliki fokus dan arah kepadaNya dalam melakukan perintah Tuhan. Bukan semata-mata sudah mengerjakan, tetapi dengan kesadaran penuh, memberikan waktu untuk memeriksa dan menggumuli maksud dan kehendak Tuhan melalui perintahNya, pembelajaran kehidupan apa yang disediakan Tuhan ketika saat itu umat melakukannya (dengan penghayatan bahwa selalu ada pembelajaran baru setiap kali umat mengerjakan perintah Tuhan tersebut) dan juga keterkaitan langsung dalam pengerjaan perintah tersebut dengan menjadi berkat bagi sesama.

Hal ini pulalah yang juga diperhadapkan kepada kita dalam masa Pra Paskah yang sedang kita jalani. Kita kembali digugah untuk mengerjakan kehidupan spiritualitas kita bukan sekedar sebagai sesuatu yang rutin melainkan justru meluangkan waktu memikirkan ulang dan memaknai kembali. Apalagi di dalam situasi saat ini di mana banyak perubahan cara karena pandemi Covid-19. Apakah kerohanian kita menjadi lesu dan tanpa makna? Segeralah bertobat. Jangan lagi memperlakukan kehidupan rohani kita sebatas rutin belaka. Mulai dari kehidupan doa, perenungan pribadi hingga persekutuan umat Tuhan bersama dengan gereja, wilayah ataupun di tempat pekerjaan kita. Mari memberikan diri untuk menggali makna di dalamnya sehingga kitapun dikuatkan dan orang di sekitar kita merasakan berkat Tuhan melalui sikap kehidupan kita. Tuhan memampukan selalu.

Forum Pendeta


Minggu, 13 Maret 2022

MENJAWAB HUJAMAN

Kita sudah bersama Pandemi Covid-19 selama 2 tahun. Selama itu pula lah pergulatan iman menjadi semakin terasa dalam kehidupan setiap pribadi. Melihat banyak saudara / kerabat, teman-teman kita atau bahkan diri sendiri berjuang melawan virus ini tentunya sebagai orang percaya, kita menaruhkan pengharapan dan kekuatan kehidupan di dalam Allah, Sang Pemilik Kehidupan, Sumber segala berkat. Kita tekun berdoa, dan mengajak orang-orang lain turut mendukung dalam doa, mungkin juga berpuasa dan yang terutama tidak pernah kendor dalam beriman akan pertolongan dan mujizat dari Allah. Walaupun demikian, kadang kenyataan yang Allah izinkan terjadi berbeda dengan yang kita doakan dan harapkan. Beberapa dari kita harus mengalami kepergian dari anggota keluarga maupun teman dalam masa pandemi ini. Tentunya hal ini menghujam kehidupan kita. Kita ditantang untuk bersikap rela melepas kepergian mereka, menata hati dan perasaan kita yang kehilangan sosok dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Tetapi bukan hanya itu, kita juga harus berhadapan dengan berbagai pertanyaan yang mengguncang iman kita. Mempertanyakan apa yang salah atau kurang dalam kita memohon belas kasihan Tuhan, atau mencari-cari dosa yang terselip entahkah dalam diri kita atau dalam diri orang yang kita doakan sehingga Tuhan tidak memberikan seperti yang kita mohonkan kepadaNya.

Kedua hujaman kehidupan ini perlu dan patut dengan sungguh kita selesaikan. Banyak orang yang kadang membiarkan, seolah-olah waktu yang akan menyembuhkan. Tidak. Ini adalah pandangan yang keliru. Waktu tidak pernah menjadi dokter untuk persoalan kehidupan kita. Pemulihan harus dimulai dari diri kita yang bersedia untuk berpulih. Kita harus berani menghadapi kenyataan yang memang Tuhan izinkan terjadi. Pertama mengenai dukacita. Bagi saudara/teman yang kita kasihi, memang mereka telah sampai pada akhir kehidupan, tetapi kita belum. Masih ada berbagai hal yang harus kita kerjakan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab kepada Sang Pemilik Kehidupan. Kenangan dan rasa rindu kepada mereka yang telah berpulang kiranya menjadi semangat yang mendorong kita menjalani hidup dengan lebih baik. Kedua, guncangan terhadap iman kita. Hati-hati terhadap rasa kecewa kita, yang bisa saja membuat kita undur perlahan-lahan. Untuk itu, kita perlu terus mengingatkan diri kita bahwa kita begitu terbatas untuk dapat mengetahui maksud dan rencana Tuhan atas kehidupan seseorang. Peran kita bukan untuk menentukan apa yang baik bagi hidup mereka tetapi kita hadir untuk berjalan bersama dan berbagi kasih dan kekuatan dari Tuhan. Biarkan Sang Pemilik Kehidupan berkarya di dalam hidupnya dan di dalam hidup kita. Jika hal-hal yang terjadi tidak dapat kita mengerti maka bagian kita adalah terus meminta hikmat dan kekuatan melangkah bersama Tuhan. Dengan demikian, kita akan dimampukan untuk menghadapi kejutan-kejutan kehidupan.

Kita bersyukur untuk masa pra-paskah yang menjadi kesempatan bagi kita menjawab hujaman kehidupan. Tuhan membentuk dan menjadikan kita lebih baik melalui berbagai lika-liku kehidupan. Teruslah melangkah bersamaNya dan alami rancanganNya yang mendatangkan kebaikan bagi semua.

Forum Pendeta


Minggu, 20 Maret 2022

MENGHADAPI PENUNDAAN

Kebanyakan orang ketika mendapati dirinya ada dalam situasi penundaan maka yang muncul adalah kekecewaan, rasa marah dan kesal karena itu berarti ada sejumlah waktu yang terbuang untuk sampai pada moment yang seharusnya terjadi. Misalkan saja ketika kita harus bepergian dengan menggunakan pesawat namun maskapainya tiba-tiba memberikan pengumuman penundaan dengan berbagai alasan. Dengan segera kita harus mengatur ulang seluruh jadwal, menghubungi pihak-pihak yang terkait dengan kita di tempat kedatangan dan yang pasti perasaan tidak nyaman karena harus menghabiskan waktu lebih lama untuk menunggu keberangkatan. Sadarkah kita bahwa ketika kita marah karena sesuatu yang tertunda, kita sedang mengukurkan semua keadaan pada diri sendiri? Kita jarang sekali menempatkan pertimbangan pada pihak lain, apakah ada persoalan yang dihadapi oleh orang lain sehingga menyebabkan penundaan. Kita terlampau emosi dan merasa/menempatkan diri sebagai korban atas situasi yang tidak menyenangkan tersebut.

Pengukuran pada diri sendiri ini juga seringkali muncul ketika kita berhubungan dengan Tuhan, Sang Pemilik dan Perencana Kehidupan. Kita telah mengerti bahwa seluruh kehidupan kita ada dalam tangan Tuhan dan Ia merencanakan segala sesuatu yang terbaik untuk perjalanan kita. Namun, apakah yang kita perbuat ketika Tuhan justru menunda sesuatu yang kita pikir baik untuk terlaksana dalam kehidupan kita? Ataukah ketika kita merasa Tuhan tidak kunjung melakukan rancanganNya atas kehidupan kita? Apakah kita juga akan marah, kesal dan kecewa kepadaNya? Hal ini pernah dialami oleh Musa. Setelah perdebatan dengan Tuhan mengenai perutusannya sebagai pemimpin umat untuk keluar dari Mesir, dalam Keluaran 5:22-23 dinyatakan bahwa Musa justru mengalami bahwa tugasnya sulit apalagi berhadapan dengan Firaun. Dan pada saat itu, Musa merasa bahwa Tuhan justru memperlakukan umatNya dengan bengis dan tidak melepaskan umatNya, seperti rencana yang sudah disampaikan kepada Musa sebelumnya.

Jika kita merasa Tuhan belum bekerja, ini adalah perasaan yang salah. Tuhan tentu sedang bekerja, hanya saja dalam keterbatasan kita, kita belum dapat menyelami pekerjaan yang sedang Ia lakukan. Kerja Tuhan tersebut untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk juga keberadaan dan kemampuan kita agar rancanganNya dapat berlaku secara sempurna. Bukan menurut pemikiran kita melainkan menurut standar dan kehendakNya. Bagian kita adalah justru untuk tetap berpengharapan akan rencana dan karya Tuhan serta menyediakan hidup kita mengikuti kegerakan karya Allah sekalipun belum dapat mengerti ke arah mana Tuhan membawa kita. Dalam masa minggu Pra Paskah ini, mari kita memperbaharui sikap kita kepada Tuhan. Ketika hal-hal belum terjadi seperti yang kita pikirkan, mari berpikir dan mengimani bahwa di pihak lain, Tuhan sedang bekerja menyiapkan segala sesuatunya termasuk juga membentuk diri kita agar dapat mengerjakan rancanganNya dengan benar.Oleh karena itu, selalu membuka diri, pikiran dan hati agar dikuasai hikmat Tuhan menjadi penting untuk membentengi kita dari rasa marah dan kecewa. Anugerah dan kasih Tuhan akan memampukan kita selalu.

Forum Pendeta


Minggu, 27 Maret 2022

MAKAN

Matius 15:11 menuliskan demikian “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.” Ini adalah bagian dari pengajaran Yesus ketika ia ditegur oleh orang Farisi dan ahli Taurat mengenai murid-murid Yesus yang melanggar adat-istiadat nenek moyang karena tidak membasuh tangan sebelum makan. Tuhan Yesus mau menunjukkan dengan perkataanNya ini bahwa kenajisan itu terjadi bukan semata-mata karena yang dari luar tetapi yang harus diperiksa dan diperhatikan adalah motivasi dan perwujudan sikap hidup yang mengerjakan perintah Allah. Setiap perintah Allah dimaknai bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri melainkan senantiasa dikembalikan pada maksud dan pengajaranNya untuk membangun kehidupan persekutuan umat dalam kasih.

Jika orang Farisi dan ahli Taurat ada di salah satu sisi secara ekstrim dengan sikap-sikap lahiriahnya maka dengan pengajaran Tuhan Yesus, timbul ekstrim di sisi yang berseberangan. Mereka yang melakukan simplifikasi perkataan Yesus sehingga hanya melihat “apapun boleh dimakan karena bukan yang masuk di mulut yang menajiskan”. Apalagi kemudian, ketika dalam penglihatan yang diceritakan Kisah Para Rasul 10, Tuhan memerintahkan kepada Petrus untuk memakan berbagai jenis hewan yang dianggap najis. Padahal lagi-lagi, bacaan tersebut bukan hendak menyatakan apapun boleh dimakan. Lantas, apa yang harus kita lakukan? Betul bahwa kita tidak terikat hukum binatang haram atau halal tetapi kebebasan yang Tuhan berikan harus kita pakai dengan kesadaran akan prioritas pemeliharaan kesehatan sebagai yang utama. Makan bukanlah untuk memuaskan hasrat/nafsu atau bahkan menjadi pelampiasan sesuatu hal. Makan adalah proses di mana kita memberikan tubuh kita asupan gizi dan nutrisi yang terbaik sehingga memaksimalkan kerja tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas.

Oleh karena itulah, pada masa Pra-Paskah, salah satu cara kita untuk kembali menghayati kasih dan karya Allah adalah melakukan aksi penyangkalan diri. Kita diajak untuk betul-betul kembali memikirkan motivasi dalam mengerjakan segala sesuatu, memeriksa diri kita, dan melakukan penyangkalan diri yang diwujudkan dengan menghentikan perilaku atau kebiasaan tersebut. Untuk itu, yang paling mudah memulainya adalah dalam hal makanan. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, tidak banyak orang yang menempatkan prioritas pemeliharaan kesehatan sebagai motivasi makan. Padahal ketika kita melakukannya kita sedang menghayati kasih Allah yang dicurahkan dengan menganugerahkan kita tubuh yang sehat dan terpelihara juga kita sedang menyatakan kasih kita kepada Allah dengan kesediaan memelihara pemberianNya. Pada Aksi Penyangkalan Diri (APD), kita menghentikan kebiasaan/cara keliru kita memperlakukan makanan, bisa juga dengan melakukan puasa. Karena untuk mendapatkan makanan, kita mengeluarkan sejumlah uang, maka dengan Aksi Penyangkalan Diri (APD), kita dapat menyisihkan uang yang biasanya kita pakai untuk memuaskan keinginan makan kita. Uang tersebut kita bisa kumpulkan dan pada waktu Paskah nanti, kita bawa sebagai persembahan Aksi Penyangkalan Diri yang akan dipergunakan untuk mendukung pembangunan GKI Pengadilan di Bogor Barat. Dengan demikian, bukan saja kita dimurnikan kembali dari motivasi keliru tetapi juga kita dapat mendukung kegiatan pembangunan gereja melalui persembahan kita. Mari, kita melakukannya. Tuhan Yesus memampukan selalu.

Forum Pendeta