Memulihkan Hubungan yang Retak

(Kolose 3:15)

Oleh: Bapak F. Harefa

This image has an empty alt attribute; its file name is united-nations-covid-19-response-g4z85Zc-ZqI-unsplash-1-1016x1024.jpg

“Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.” (Alkitab Terjemahan Baru).

“Hendaklah keputusan-keputusanmu ditentukan oleh kedamaian yang diberikan oleh Kristus di dalam hatimu. Sebab Allah memanggil kalian untuk menjadi anggota satu tubuh, supaya kalian hidup dalam kedamaian dari Kristus itu. Hendaklah kalian berterima kasih.” (Bible International Standard).

Kemudian, terjemahan Bible Lesson International (Marshall, Texas, 1997) disebutkan bahwa kalimat dalam Alkitab Terjemahan Baru [TB]: “Hendaklah damai sejahtera Kristus” istilah aslinya berarti *mengikat kembali yang patah*.

Dengan demikian dapat kita tafsiran bahwa kata *Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu* maksudnya adalah apa pun yang bersifat keputusan pribadi, hendaklah bertujuan membangun relasi yang damai. Jika ada hubungan yang retak, maka hendaklah keputusan pribadi itu memulihkan kembali hubungan yang retak.
 
Dalam kaitan dengan relasi suami istri, bahkan bukan lagi sebagai *satu tubuh* tetapi telah menjadi *satu daging*. Artinya relasi keintiman yang jauh lebih dalam. Tetapi, sekalipun demikian, dalam perjalanan hidup sebagai suami isteri, tidak ada yang mulus seperti digadang-gadang ketika masa pacaran yang terasa serba indah dan berselimutkan mimpi-mimpi indah “terbang di antara awan” oleh sayap cinta.

Sebaliknya, yang terjadi adalah ketika terjadi keretakan relasi tergolong berat, tidak sedikit pasangan suami istri sampai pada titik dimana mereka mempertanyakan, apakah benar mereka menikah dengan pilihan Tuhan untuk mereka? Pada titik ini, tak jarang pula datang pembisik dan berkata: “rumput tetangga itu lebih hijau.” Akibatnya, tidak sedikit pasangan yang terjebak dan gagal fokus untuk berusaha ekstra keras, terus menerus menyirami dan memelihara relasi dengan pasangannya, mengakibatkan hubungan mereka yang semakin retak. Mereka membiarkan waktu terus berputar oleh perasaan yang terbuai imajinasi pernikahan yang berbeda.

Kondisi pasangan suami istri yang retak tentulah menjadi idaman si iblis yang terus memanas-manasi hati yang memang sudah panas untuk terus mendidih. Sebab, kehendak setan adalah perpisahan /perceraian bukan MENJADI SATU DAGING, HINGGA MAUT MEMISAHKAN. Inilah tipuan iblis sepanjang jaman yang tidak disadari oleh orang-orang Kristen. Akibatnya tidak sedikit orang Kristen yang bercerai dan kemudian mereka berusaha membangun “Teori Perceraian” untuk membenarkan perceraian mereka.

*Bagaimana Mengatasi Kondisi Yang Retak?*Memulihkan kondisi yang retak tidaklah semudah membalik tangan. Steven S.K. Chan dan Gregory W. Slayton dalam buku mereka berjudul MAXIMUM MARRIAGE, mereka menulis: “MAXIMUM MARRIAGE ADALAH SEBUAH PERJALANAN YANG DILAKUKAN BERSAMA OLEH SUAMI ISTRI SEPANJANG HIDUP MELALUI BANYAK TANTANGAN, HALANGAN, COBAAN DAN GODAAN YANG MEWAJIBKAN KEDUANYA MENGAMBIL KOMITMEN UNTUK TETAP BERADA PADA KEKASIH YANG INTIM DAN SEJATI SECARA SPIRITUAL, EMOSIONAL, SEKSUAL, REKREASIONAL DAN FINANSIAL. Kata kuncinya: *Usaha Kerja Keras Terus Menerus*. Tidak ada yang mudah.

Pertanyaannya, apakah masih mungkin pulih dari kepahitan yang begitu dalam? Jawabnya: Kitab Efesus Pasal 5 memberikan kepada kita solusi sekaligus syarat. Karena kita mengimani bahwa pernikahan adalah tindakan inisiatif dari Tuhan, maka hanya Tuhan sendirilah yang mampu memulihkan relasi yang retak. Tetapi berdasarkan Efesus 5 ini, untuk Tuhan bertindak: ada 2 (dua) syarat yang suami istri harus pahami. Pertama, memberikan keleluasaan penuh kepada Roh Kudus (Efesus 5:18) untuk bertindak memulihkan, sekalipun sakit. Tak ubahnya penyakit jasmani diobati. Tidak mungkin tidak sakit, bukan?

Dan yang kedua adalah ketekunan belajar hikmat Firman Allah (Efesus 5:10,17) dan komit menjalankannya. Tidak ada alasan bagi suami maupun istri berkata: kurang paham isi Alkitab. Wonk, udah nikah kok!

Salam damai.

Memberitakan Injil Dimulai Dari Anggota Keluarga Sendiri

(1 Tesalonika 1:6,7)

Oleh: Bapak F. Harefa

Militanisme jemaat Tesalonika patut diteladani oleh kita semua, mereka memberitakan Injil, bukan saja di Tesalonika tetapi juga hingga ke Makedonia dan Akhaya. Tentu saja pemberitaan ini disertai oleh perubahan perilaku mereka yang ditunjukkan oleh karakter (buah) Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari mereka. Artinya, keteladanan bukan saja dalam hal pemberitaan Injil, tetapi juga keteladanan dalam hal perilaku/karakter.

Tentu saja pemberitaan Berita Injil, pertama-tama adalah kepada anggota keluarga sendiri. Yakni keselamatan adalah di dalam Kristus Yesus yang oleh kematian-Nya di atas kayu salib, mati dan dikuburkan; dan kemudian bangkit pada hari ketiga; naik ke sorga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa. 

Pengalaman ironis Imam Eli, yang melayani umat Israel sebagai Imam Besar, justru gagal mendidik anaknya sendiri menjadi anak-anak yang taat kepada Allah Elohim YHWH. Kedua anaknya menjadi koruptor di dalam Bait Allah. Kesalahan yang sama, juga dilakukan oleh Imam/Nabi Samuel, dimana perilaku kedua anaknya jauh dari sikap sang ayah yang hidup taat dalam kebenaran kepada Tuhan ALLAH.

Sayangnya, pengalaman buruk dari Imam Eli dan Nabi Samuel yang tidak patut ditiru justru banyak dialami oleh para pendeta/gembala sidang/penginjil dari jaman ke jaman. Kita tidak kaget lagi, jika ada anak pendeta atau anak tokoh Kristen yang justru menjadi mualaf. Kita juga tidak kaget jika anak pendeta “ternama” di negeri ini justru menjadi penggiat narkoba. 

Bahkan kegagalan mewarisi Iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dapat berdampak kepada generasi berikutnya yang beralih iman kepada penyembahan berhala (=setan). Ketika bangsa Israel masuk Tanah Kanaan, Firman Allah memberitahukan kepada kita bahwa baru pada generasi pertama bangsa tersebut, mereka menyembah berhala. Artinya, mereka meninggalkan penyembahan kepada Allah Elohim YHWH (Hakim-hakim 2:10-13).

Apakah ada kisah kegagalan pewarisan iman percaya kepada Tuhan Yesus di dalam PB? Jawabnya: Ada. Mari kita simak tegoran keras kepada jemaat di Laodikia (Wahyu 3:17-19) yang demikian bunyinya: (17) Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang, (18) maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat. (19) Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!

Sulit untuk menyangkali bahwa tegoran ini amat sangat keras. Mengapa? Karena ada kemunduran yang signifikan dalam kehidupan iman jemaat. Digambarkan sebagai melarat, malang, miskin buta dan telanjang. Kitab Wahyu Yohanes ini diperkirakan ditulis pada sekitar 95 Masehi.

Laodikia terdapat di lembah Sungai Lykus, sekitar 100 mil dari Efesus. Dahulunya Laodikia bersama Kolose dan Hierapolis merupakan bagian wilayah dari wilayah Frigia. Oleh karena itu, kita dapat meyakini bahwa karakter masyarakat di ke-3 kota tersebut, termasuk karakter jemaatnya kurang lebih sama. Itu sebabnya, kedua nama kota Laodikia dan Hierapolis, bukan kebetulan jika disebutkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose (Kolose 4:13). Bahkan ada pesan agar surat di Kolose dibacakan juga di Laodikia dan sebaliknya (Kolose 4:16).

Nah, di pihak lain jika kita membaca Kitab Kolose. Salah satu kutipan pada bagian awal surat Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose, demikian: Injil itu berbuah dan berkembang di seluruh dunia, demikian juga di antara kamu sejak waktu kamu mendengarnya dan mengenal kasih karunia Allah dengan sebenarnya.” (Kolose 1:6). Luar biasa, bukan?!

Kitab Kolose ini ditulis kurang lebih pada 65 Masehi. Artinya, hanya dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun saja, iman jemaat ini berubah menjadi ”melarat, malang, miskin, buta dan telanjang.” Dengan kata lain, terjadi pada generasi pertama dengan umur jemaat masih terbilang muda. Ini merupakan indikasi yang kuat terjadinya kegagalan dari orang tua mereka mewarisi iman yang benar kepada anak-anak mereka.

Kemunduran ke-Kristenan di negara-negara Barat dan negara-nagara yang dikenal sebagai negara Kristen/Katolik, yang diindikasikan oleh minimnya bahkan tidak ada jemaat yang bergereja di gedung Gereja dapat kita kategorikan juga sebagai kegagalan pihak orang tua dalam mewarisi iman mereka kepada anak-anak mereka.

Bagaimana dengan para orang tua di Indonesia? Apakah orang tua Kristen selama ini menjadikan pewarisan iman kepada anak-anak mereka dengan mengajarkan kepada anak-anak sendiri tentang kebenaran (isi) Alkitab sebagai suatu kegiatan PRIORITAS dari kegiatan-kegiatan lainnya, bahkan termasuk lebih penting dari kegiatan mencari nafkah? Atau, orang tua sendiri kurang paham isi Alkitab, sehingga pendidikan iman anak-anak sepenuhnya diserahkan kepada guru-guru Sekolah Minggu? Bagaimana pula perilaku orang tua sebagai bagian penting dan terpadu dalam membangun iman anak-anak, apakah sudah layak menjadi TELADAN yang mencitrakan kasih Allah?

Semoga isi Kitab 1 Tesalonika 1 ini tentang keteladanan dalam pemberitaan Injil Kristus menyadarkan kita tentang tugas utama kita, yakni visi mengapa keluarga dibentuk oleh Tuhan Allah. Visinya adalah membangun keturunan ANAK-ANAK ALLAH, yakni bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri (Kejadian 1:28; 1 Petrus 2:9).

Selamat menjadi orang tua yang layak menjadi teladan bagi anak-anak dalam iman kepada Tuhan kita, Yesus Kristus dan orang tua yang tekun mengajarkan Firman Allah kepada anak-anaknya [Ulangan 6].

Apakah Memang Benar, Melayani Tuhan Selalu Ada Sukacita?

(1 Raja-raja 19)

Oleh: Bapak F. Harefa

Jika kita belajar untuk mendalami kebenaran Firman Allah dalam Kitab 1 Raja-raja 19 ini, maka kita dipaksa untuk memikirkan ulang apa yang kita pikir sebagai suatu kebenaran. Seperti antara lain tertuang dalam lagu pujian yang cukup terkenal berjudul “Sungai Sukacitaku”. Lirik bait pertama berbunyi demikian: Sungai SukacitaMu / mengalir dalamku / Anggur sukacitaMu / melimpah dalamku. Bait kedua, demikian: Ku menari dan bersuka / PujiMu di setiap waktu / Sebab sungai sukacitaMu / Ada dalamku. Dan lalu refrainnya berbunyi demikian: Mengalir bersamaMu / Bersuka di dalamMu / mengikutiMu Tuhan / Dalam kegerakkanMu / MelayaniMu Tuhan / Di dalam SukacitaMu / S’bab hanya Tuhan / Yang membuat sukacitaku penuh. Ehem.. melayani Tuhan di dalam sukacita-Nya?

Faktanya dalam melayani tidak selalu happy, lho. Sebaliknya tidak jarang begitu terasa berat, tantangan luar biasa besar. Jika hanya mengandalkan kekuatan sendiri maka pastilah tak mampu mengatasi tekanan atau problema yang terjadi. Paling tidak, inilah yang dialami oleh seorang nabi besar di Perjanjian Lama bernama Nabi Elia.

Dikisahkan dalam Kitab 1 Raja-raja 19, setelah nabi Elia melenyapkan 450 orang nabi-nabi baal Asyera (1 Raja-raja 18:19, 40), dan kemudian peristiwa tersebut didengar oleh Izebel dari suaminya, Raja Ahab, yang telah menyaksikan langsung peristiwa penyembelihan itu, bahwa para nabi baal telah dibunuh di sungai Kison dan Elia menyembelih mereka di sana. Maka murkalah Izebel, dan berkata kepada seorang suruhan untuk menyampaikan pesannya  kepada Elia: “Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu.” (1 Raja-raja 19:2).

Lalu, Elia merespon murka Izebel itu dengan pergi menyelamatkan nyawanya ke Bersyeba, yang termasuk wilayah Yehuda, lalu meneruskan perjalanan ke padang gurun hingga tiba di gunung Horeb. Gunung dimana dahulu Musa menerima ke-10 Hukum Taurat.

Apakah Elia melarikan diri karena takut? Untuk mengetahui hal ini, marilah kita melihat 1 Raja-raja 19:3, dimana bunyinya demikian: “Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi …”. Sekumpulan kata ini dari Bahasa Ibrani “quwm”. Dalam KJV/ASV/NKJV, kata “takut” ini diterjemahkan sebagai “saw”: “when he saw”. Footnote NIV: “Elijah saw”. Keil & Delitzcsch juga memilih kata “melihat”.

Jika kita meneliti 20 penggunaan kata Ibrani yang sama dengan yang digunakan dalam 1 Raja2 19:3, kata “quwm” yakni dalam Ul 33:11, Hak 5:7, 2 Sam 2:14; 22;40, Amos 5:2, Hak 2:16, Ayb 4:4; 11:17; 20:27; 27:7; 29:8, Mzm 17:7; 35:2; 107:29; 113:7; 119:28; 119:106; 132:8, Ams 31:28, maka dapat kita temukan bahwa dalam “quwm” tidak ada kesan takut yang dapat dimaknai dalam kata ini.Tetapi apabila nabi Elia bangkit dan lalu pergi menyingkir /menjauh dari Izebel adalah merupakan suatu tindakan yang bijak. Dimana hal yang sama, Elia pernah melakukakannya ketika ia usai menubuatkan bahwa “tidak akan ada embun atau hujan pada tahun-tahun ini” (1 Raja-raja 17:1) kepada Raja Ahab, atas perintah Tuhan sendiri (1 Raja-raja 17:2): “Pergilah dari sini, berjalanlah ke timur dan bersembunyilah di tepi sungai Kerit di sebelah timur sungai Yordan.”

Mungkin saja ada rasa takut kepada Elia karena ada ancaman pembunuhan dirinya oleh Izebel. Tetapi, pastilah bukan ketakutan yang berlebihan, atau juga bukan ketakutan karena takut mati oleh pedang Izebel. Bukankah Yesus pun pernah menyingkir untuk mengasingkan diri usai Ia mendengar Yohanes Pembaptis telah dipenggal kepalanya di dalam penjara oleh Herodes? (Mat 14:1-13). Jemaat mula-mula, juga mengambil sikap bijak untuk tidak mati konyol di tangan orang-orang Yahudi yang murka oleh kehadiran pengikut Kristus?

Paling tidak kita menemukan alasan utama mengapa Elia menyingkir, setelah ia menyadari/melihat hasil pelayanannya. Yakni, ia kecewa berat dengan hasil pelayanannya. Ternyata penyembelihan 450 nabi-nabi baal di hadapan raja Ahab sendiri dan perobohan mezbah-mezbah baal TIDAK MEMBUAT AHAB DAN RAKYAT ISRAEL bertobat, untuk kembali kepada Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi. Hal ini terungkap dari jawabnya kepada Tuhan, dimana dua kali ia mengulangi alasan yang sama: “ … HANYA AKU SENDIRILAH YANG MASIH HIDUP …” (1 Raja-raja 19:10b, 14b). Padahal Elia telah yakin melakukan sesuatu sesuai dengan perintah Tuhan kepadanya, dimana dengan yakin ia menjawab-Nya: “AKU BEKERJA SEGIAT-GIATNYA BAGI TUHAN…” (1 Raja-raja 1:10,14).

Kekecewaan yang berat ini juga ditunjukkan oleh sikapnya, sebagaimana tertulis dalam 1 Raja-raja 19:4b, demikian bunyinya: “Kemudian ia ingin mati”, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya Tuhan, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku”.

Ada dua pernyataan yang merupakan ciri khas orang yang sedang kecewa berat alias stress. Pertama, berpikir untuk mati saja. Jelas hal ini hanya sekedar “kata curhat” sebagai seorang yang sedang kecewa berat. Mengapa kita dapat mengambil kesimpulan demikian? Karena jika memang ia mati saja, lalu mengapa ia lari dari pedang Izebel? Semestinya ia tidak menyingkir, bukan?

Khas perkataan orang kecewa berat yang kedua adalah ia membandingkan diri dengan pendahulunya. Jika kita kaitkan dengan ayat 8, dimana ada kata kunci di sana, yakni gunung Horeb. Maka, jelaslah siapa yang ia maksud, yakni Musa. Dengan kata lain, ia mau “berdebat” dengan Tuhan, yang kalau kita bahasakan kurang lebih demikian bunyinya : “Hamba-Mu Musa juga dahulu tidak berhasil membuat orang-orang Israel bertobat! Akhirnya satu per satu, mereka mati dalam perjalanan di padang gurun. Lalu, siapakah aku ini yang tidak lebih baik dari pada nenek moyangku? Faktanya saya juga gagal membuat orang Israel bertobat. Malahan saya mau dibunuh pula.”

Dengan kata lain nabi Elia curhat kepada Tuhan Allah, karena apa yang ia telah lakukan dengan segiat-giatnya terasa sia-sia: gagal total.

Padahal atas peristiwa ini sesungguhnya Elia, juga Anda dan saya, diajar oleh Tuhan bahwa kita tidak berhak menilai hasil pelayanan yang Tuhan telah perintahkan untuk kita lakukan, sesuai kehendak-Nya. sebab tugas kita adalah semata-mata hanya melaksanakan perintah Tuhan saja.

Meninggalkan Pelayanan?
Tentu kita sudah dapat menebak, apa yang dilakukan oleh orang yang merasa gagal dalam pelayanan, bukan? Jawabnya: Elia meninggalkan pelayanan. Ia meninggalkan umat Tuhan, dari pergi jauh, amat jauh (ayat 7). Tetapi benarkah demikian? Mungkin terbersit niat seperti itu di dalam hati Elia, ada keenganan untuk kembali melayani, karena kecewa berat.

Tetapi jika kita simak dengan seksama ayat 7-8, dimana Tuhan berfirman: “Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu” (ayat 8), dan kemudian dalam ayat 8 dikatakan bahwa Elia ke gunung Allah, yakni gunung Horeb; maka dapat disimpulkan bahwa Elia keluar dari tanah Yehuda menuju gunung Horeb ini adalah atas perintah Tuhan sendiri.

Atau, apa pun yang Elia niatkan dalam hati tetapi tetap saja Tuhan menuntun dia melakukan perintah-Nya. Inilah ajaibnya kasih Tuhan Allah kita, kasih yang tak pernah pudar kepada anak-anakNya meski kadang kala kita “marah & kecewa” kepada-Nya. Dengan cara-Nya sendiri, Ia terus menuntun kita dalam jalan-Nya. Bukankah fenomena ini pulalah yang kerap dialami oleh hamba-hamba Tuhan, termasuk Anda dan saya?

Setelah “menghadap Tuhan di Gunung Horeb”, akhirnya Tuhan memerintahkan Elia untuk kembali pulang: “Pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun ke Damsyik, ….” (ayat 15), dengan 3 tugas, yakni mengurapi Hazael menjadi raja atas Aram, mengurapi Yehu menjadi raja Israel; dan mengurapi Elisa bin Safat menggantikan dia sebagai nabi. Untuk meyakinkan Elia, Tuhan memberitahukan bahwa sesungguhnya ia tidak sendirian sebagaimana ia katakan dua kali, karena ada 7000 orang di Israel yang tidak sujud menyembah Baal dan yang mulutnya tidak mencium dia (ayat 18).

Begitulah cara Tuhan Allah kita meyakinkan hamba-hambaNya untuk memercayakan tugas, yakni perintah-Nya untuk dilaksanakan.

Hidup Bersandar Di Bawah Kedaulatan Tuhan Allah Adalah Kunci Sukacita dan Bahagia yang Sesungguhnya

Oleh: Bapak F. Harefa

Sesungguhnya kunci sukacita dan bahagia adalah mengakui dan hanya hidup bersandar di bawah kedaulatan Tuhan Allah kita. Daud ternyata sudah paham betul kunci rahasia ini. Itulah yang mendorong Daud, mengapa ia tetap mengasihi Raja Saul dan tidak mencederainya, apalagi membunuhnya. Karena ia tahu bahwa raja Saul diurapi oleh Allah YHWH. Membunuh orang yang diurapi Tuhan sama saja dengan menolak otoritas Tuhan Allah YHWH. Bagi kita yang orangnya mudah emosi dan mudah tersulut amarah ketika kita diancam atau hak-hak kita diabaikan, melihat hal ini sebagai suatu yang luar biasa. Daud meratapi Raja Saul, orang yang terus-menerus mengancam nyawanya, ketika ia mendengar Raja Saul gugur dalam pertempuran. Orang-orang mengira, Daud senang mendengar berita itu karena dengan demikian orang-orang berpikir Daud tidak memiliki hambatan lagi untuk segera mengambil alih kekuasaan sebagai raja.

Hidup bersandar di bawah kedaulatan (otoritas) Tuhan Allah YHWH juga ditunjukkan oleh Daud, ketika ia ditegor oleh nabi Natan dan memberitahu kepadanya konsekuensi dari perbuatannya. Raja Daud sama sekali tidak menentang, sebaliknya ia justru merendahkan diri.

Perilaku tidak menentang keputusan Tuhan atas dirinya juga ditunjukkan oleh Raja Daud, usai melakukan sensus penduduk (2 Samuel 24:1-17). Justru ia berani mengakui dosa yang ia perbuat, karena melakukan sensus tersebut dengan konsekuensi dikenakan tulah (2 Samuel 24:17). Sangat berbeda dengan kita, yang mana kita acap kali tidak mau mengakui dosa/kesalahan kita karena takut pada resiko jika mengakui kesalahan atau dosa tersebut.

Mengakui otoritas Tuhan seharusnya suatu sikap yang seharusnya patut kita teladani meskipun ada resiko. Resiko itu sebaiknya kita terima, dari pada kita berlindung dalam kedustaan kepada diri sendiri, sesama dan Tuhan. Karena jika ada seseorang memberitahukan kepada kita, apa kejahatan yang sudah kita lakukan dan kemudian meresponnya dengan positif, yakni menerima masukan tersebut. Dan mengakuinya jika memang benar demikian, maka itulah kunci pemulihan diri untuk memiliki karakter Kristus di dalam hidup kita.

Dengan mengakui kesalahan, memohon pengampunan dari Tuhan dan komitmen untuk memiliki hidup (karakter) yang makin segambar dengan gambaran Anak-Nya, maka Roh Kudus akan bekerja dengan efektif dalam hidup kita. Inilah kunci kita makin memuliakan Tuhan dalam hidup kita. Hidup yang memuliakan Tuhan adalah hidup dengan sukacita dan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Kekayaan Pengetahuan

Oleh: Bapak F. Harefa

Sumber foto: istimewa

Segala kekayaan pengetahuan (termasuk teologi) dan kekayaan keterampilan atau profesi yang kita miliki, seharusnya dan semata-mata hanya bertujuan untuk menyempurnakan kita untuk semakin mampu menunaikan panggilan hidup: mengasihi sesama.

Jangan berikan kepadaku … kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu (Amsal 30:8-9).

Kaya dalam pengetahuan, kaya dalam keterampilan (ahli dalam profesi tertentu) dan kaya dalam materi, semua itu dibutuhkan oleh setiap orang, tak terkecuali oleh anak-anak Allah. Kekayaan demikian, menjadikan kita diakui keberadaannya, banjir pujian dan banyak sahabat. Hidup serasa sedang terbang di langit prestasi dan serasa mengarungi lautan senyum para sahabat.

Tetapi Amsal 30:8-9 mengingatkan kita akan bahaya laten tentang kepemilikan kekayaan pengetahuan (termasuk teologi), keterampilan/profesi dan kekayaan materi, membuat kita meninggikan diri; entah mengakui atau tidak mengakuinya. Mungkin kita tidak mengakuinya, tetapi para sahabat dapat membacanya dari gerak tubuh dan bahasa tubuh kita, betapa kita merasa tersanjung ketika ada pujian; dan betapa muka kita berkerut ketika mendapat koreksi atas sikap dan perkataan kita oleh sahabat sejati kita. Perspektif psikologis tak terbantahkan tentang manifestasi peninggian diri: mengharapkan pujian, mudah melontarkan kritik, cenderung merendahkan orang lain (meski hanya kata hati kecil paling dalam sekalipun), cenderung berdebat mencari pembenaran diri, cenderung tidak senang jika diberikan nasehat dan cenderung berbahasa kasar dan berbahasa menekankan kekurangan orang lain.

Oleh karena itu sungguh tepat, Kitab Amsal 30:8-9 mengatakan bahwa lebih baik aku tidak kenyang daripada akibatnya aku menyangkal-Mu. Menyangkal Tuhan adalah bentuk keangkuhan hidup, yang meninggikan diri menjadi sama seperti Allah.

Untuk apa kita kenyang kekayaan pengetahuan (termasuk pengetahuan teologi), kenyang plakat penghargaan, atau kenyang kekayaan materi dunia, jika semua itu membawa kita kepada karakter yang makin jauh dari karakter seperti Kristus: kerendahan hati dan lemah lembut.

Segala kekayaan ilmu pengetahuan dan kekayaan kemampuan/keterampilan teknologi serta kekayaan ilmu agama (teologi) yang kita miliki seharusnya dan semata-mata hanya bertujuan untuk membuat kita makin disempurnakan, agar kita makin dimampukan untuk menunaikan panggilan hidup: mengasihi sesama. Bukan untuk maksud hati menunjukkan kepada orang lain: “Lihat, inilah Aku!”

Bagaimana dengan Anda dan saya?

Tuhan Yesus memberkati kita senantiasa. Haleluya, Amin.

Segala Sesuatu Ada Masanya, Kelimpahan Berganti Menjadi Kesulitan, Namun Kita Harus Tetap Saling Menguatkan

Oleh: LS

Sumber foto: Unsplash/Aljoscha Laschgari

Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama pandemi Covid-19 mendorong saya merenungkan ayat-ayat berikut ini. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1). Ayat tersebut selalu mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa disuatu waktu ada masa-masa bahagia dan kemudahan, tiba-tiba masa-masa sulit datang menghapus semua kesenangan dan kedamaian di dalam kehidupan kita. Pada tahun 2019, saat sebagian besar orang sibuk dan menikmati kehidupan mungkin tidak pernah menyangka akan terjadi pandemi Covid-19 yang mengubah kehidupan banyak orang di dunia saat ini. 

Alkitab mengatakan: “Ketahuilah tuanku, akan datang tujuh tahun kelimpahan di seluruh tanah Mesir. Kemudian akan timbul tujuh tahun kelaparan; maka akan dilupakan segala kelimpahan itu di tanah Mesir, karena kelaparan itu menguruskeringkan negeri ini. Sesudah itu akan tidak kelihatan lagi bekas-bekas kelimpahan di negeri ini karena kelaparan itu, sebab sangat hebatnya kelaparan itu.” (Kejadian 41:29-31). “Baiklah juga tuanku Firaun berbuat begini, yakni menempatkan penilik-penilik atas negeri ini dan dalam ketujuh tahun kelimpahan itu memungut seperlima dari hasil tanah Mesir. Mereka harus mengumpulkan segala bahan makanan dalam tahun-tahun baik yang akan datang ini dan, di bawah kuasa tuanku Firaun, menimbun gandum di kota-kota sebagai bahan makanan, serta menyimpannya. Demikianlah segala bahan makanan itu menjadi persediaan untuk negeri ini dalam ketujuh tahun kelaparan yang akan terjadi di tanah Mesir, supaya negeri ini jangan binasa karena kelaparan itu.” (Kejadian 41:34-36). Keterkaitan tantangan multidimensi di masa pandemi Covid-19 dengan kisah interpretasi mimpi oleh Yusuf adalah mengingatkan setiap jemaat untuk menyimpan kelimpahan di tahun-tahun kemakmuran untuk persediaan di tahun-tahun kelaparan (krisis). Tahun-tahun kelimpahan dapat diterjemahkan pada saat kita mempunyai pekerjaan dan memiliki penghasilan, atau bisnis kita masih menguntungkan. Kelimpahan itu sebaiknya ditabung, tabungan dalam jumlah berapapun akan membantu ekonomi kita dan keluarga di masa sulit. Di masa lalu, sebagian dari kita mungkin cenderung menghabiskan uang untuk sejumlah kebutuhan sekunder yang bukan prioritas. Kini menabung menjadi aktivitas problematis yang tidak mudah dilakukan bagi orang-orang yang kehilangan pekerjaan atau bisnisnya mengalami kemerosotan. Tahun-tahun kemudahan tersebut sudah lewat dan entah akan dapat terulang kembali atau tidak, nyatanya Alkitab telah lama menasihati kita semua, betapa pentingnya mengingat selalu peringatan dan ajaran yang Tuhan telah nyatakan kepada kita. 

“Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.” (Roma 15:1). Kita sebagai orang Indonesia harus berbangga karena World Giving Index (WGI) memasukkan Indonesia ke dalam himpunan sepuluh besar bangsa yang murah hati di dunia sejak tahun 2016. Ada tiga perilaku yang digunakan untuk mengukur kemurahan hati suatu negara yaitu menyumbangkan uang, membantu orang asing, dan menjadi sukarelawan. Presiden Jokowi juga telah mengajak kita semua membeli produk-produk Indonesia untuk menyelamatkan saudara dan tetangga. Ketika Covid-19 mulai merebak di Indonesia, saya mendengar kisah orang-orang yang membeli makanan dan minuman melalui layanan daring, kemudian mengirimkan pesan kepada driver online bahwa makanan tersebut dapat dibawa pulang untuk disantap bersama keluarganya. Beragam organisasi hingga saat ini giat membagi-bagikan makanan dan barang-barang untuk masyarakat kurang mampu. Mungkin ada toko dan bisnis saudara-saudara kita yang sedang lesu, sebaiknya kita mendatangi toko atau menelepon mereka untuk membeli sesuatu. Produk-produk yang dapat kita beli misalnya bahan makanan, makanan siap saji, produk energi seperti gas LPG dan token listrik, peralatan elektronik, hingga pakaian. Hal-hal sederhana apabila dilakukan banyak orang secara bersamaan akan mampu menolong dan menopang ekonomi banyak keluarga.

Pandemi Covid-19 mendatangkan bermacam-macam tantangan dan gangguan bagi kita semua, akan tetapi jangan sampai mematahkan semangat kita dan keluarga. Tuhan telah berfirman untuk menguatkan kita melalui masa ketidakpastian: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Filipi 4:6). Apabila saudara-saudara sedang khawatir tentang banyak hal: “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1 Petrus 5:7). Tuhan beserta kita selalu, Amin.

Kepentingan Kristus Yesus

Oleh: Bapak F. Harefa

Di dalam Kitab Filipi ada empat kali Rasul Paulus menyebutkan kata kepentingan diri sebagai sikap yang tidak benar. Ada apa dengan sikap kepentingan diri ini hingga Rasul Paulus kontraskan dengan kepentingan Kristus Yesus?

Filipi 2:21, demikian firman-Nya: “Sebab semuanya mencari kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus.” Inilah ayat yang patut membuat kita terperanjat. Mengapa? Karena bukanlah selama ini kita berpikir bahwa sikap mementingkan diri atau istilah yang umum dikenal dengan “egois” merupakan sikap yang lumrah, manusiawi, atau sikap yang kita terima sebagai natura manusia yang normal jiwanya? Tidak menganggapnya sebagai hal yang bertentangan dengan kepentingan Kristus Yesus?

Yesus Diajak Berpusat Kepada Memenuhi Kebutuhan Diri Sendiri

Jika kita membuat kajian tentang cobaan Iblis kepada Yesus usai Ia berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun, maka kita akan menyadari bahwa cobaan ke-1 merupakan pemenuhan kebutuhan dasar menurut terminologi piramida Kebutuhan Manusia oleh Maslow, yakni soal makanan (Mat 4:3-4): Kebutuhan pokok. Iblis paham bahwa Yesus sedang sangat lapar (Mat 4:2). Dengan kata lain, Iblis membujuk Yesus agar Ia memikirkan kondisi dirinya sendiri dahulu, mengatasi rasa lapar yang luar biasa dari pada berpikir untuk menggenapi misi Tuhan ALLAH.

Tidak mempan dengan bujukan ke-1, Iblis mencoba masuk kepada bujukan ke-2, yang menurut terminologi piramida kebutuhan oleh Maslow merupakan kebutuhan tingkat puncak (level 5): Aktualisasi Diri. Iblis membujuk: “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.” (Mat 4:5). Lagi-lagi suatu bujukan yang polanya sama, yakni mengajak Yesus untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri-Nya saja dahulu.

Terminologi Piramida Kebutuhan oleh Maslow merupakan teori kebutuhan manusia. Dan, ini fakta. Siapapun manusia membutuhkan ke-5 kebutuhan sebagaimana Maslow ungkapkan dalam teorinya. Yang menjadi persoalan adalah apakah kebutuhan kita sebagai manusia itukah yang kita utamakan penuhi dari pada kepentingan Tuhan Allah?

Di kemudian hari, Iblis kembali membujuk Yesus. Tetapi pada kesempatan bujukan kali ini sebagaimana dalam Matius 16:22 yang dilakukan melalui Petrus. Sayang seribu sayang, Petrus tidak menyadari bahwa dirinya (baca: pikirannya) sedang dalam “kontrol” si iblis. Usai Yesus memberitahukan misinya di Yerusalem, Petrus menarik Yesus ke samping dan menegur Dia.

Teguran Yesus, sebagai respon atas reaksi Petrus tersebut, sangat keras, hingga Yesus mengucapkan: “Enyahlah Iblis…”. Mengapa? Karena Yesus melihat bahwa sumber kata-kata yang dikeluarkan oleh Petrus adalah dari iblis, karena perkataan Petrus tersebut menggambarkan dengan tepat nasehat iblis: “Selamatkanlah dirimu berapa pun harganya. Korbankan tugas-Mu untuk kepentingan diri-Mu sendiri sehingga Engkau merasakan kenyamanan pribadi.” (Neil T. Anderson dalam buku Bebas Kuasa Gelap (Terjemahan), hal. 35).

Iblis selalu mengarahkan setiap orang untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri sebagai tujuan utama (tujuan akhir) manusia. Ia akan terus meyakinkan orang percaya bahwa suatu yang sungguh tidak masuk akal bahwa kepentingan Kristus adalah yang utama dari apa pun yang kita lakukan. Pernahkah “kata hati Anda berbisik” usai Anda melakukan sesuatu yang membuat orang lain kagum kepada Anda: “Anda hebat lho, mantaplah. Anda melebihi Pak Anu/Bu Anu, mah. Lewatlah mereka itu dibandingkan dirimu” Trik Iblis menjatuhkan anak-anak Allah selalu memulai dari “meninggikan diri sendiri”. Trik yang sudah kuno sebenarnya. Anehnya, berjuta-juta anak-anak Allah tertipu dengan berpikir: “perasaan yang manusiawi.” Tertipu seperti Petrus pun tertipu, padahal belum lama sebelumnya, Petrus mengungkap deklarasi imannya bahwa “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang Hidup (Mat 16:13-16).

Padahal ketika Iblis berhasil mengalihkan pikiran kita kepada diri kita sendiri, maka ukuran harga diri pun beralih ke arah ukuran natural, ukuran yang manusiawi banget. Fenomenanya: timbul perasaan bersaing, relatif sensitif terhadap hinaan atau keberhasilan orang lain, cenderung membandingkan diri sendiri, mengharapkan pujian dan sebaliknya tidak senang jika orang lain yang mendapat penghargaan (alias dengki).

Marilah kita berani untuk mengintropeksi diri demi hidup kita yang hanya sekali ini, benar-benar menjadi persembahan yang terbaik untuk Tuhan Allah kita. Haleluya.

Protes Kepada Tuhan Itu, Bolehkah?

Oleh: Bapak F. Harefa

Kitab ini menarik karena dimulai dengan firman Allah: Ucapan Ilahi dalam penglihatan nabi Habakuk (ayat 1). Lalu dilanjutkan dengan keluhan Habakuk yang dimulai dari ayat 2, katanya: Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan” tetapi tidak Kau tolong?

Rupanya Tuhan Allah memperlihatkan kepada Habakuk atas apa yang akan menimpa Kerajaan Yehuda. Dalam bagian akhir doanya, ia berkata: “Namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami”. Kita mengetahui bahwa di kemudian hari, Yehuda diserang oleh Kerajaan Babel.

Apa yang kita pelajari dalam pasal 1 ayat 2-4 di Kitab ini, Habakuk merespon penglihatan dari Allah dengan sikap “protes” (Catatan: meminjam istilah yang digunakan oleh Ibu Pdt. Esakatri/GKI Pengadilan Bogor).

Habakuk “memprotes” Tuhan tentunya sangat logis. Karena ia yakin bahwa Kerajaan yang akan menyerang dan menghancurkan Kerajaan Yehuda *tidak lebih benar* dari umat Tuhan.

Terlepas dari jawaban Tuhan atas protes Habakuk ini, kemudian Habakuk masih melanjutkan protesnya sebagaimana disebutkan dalam Habakuk 2:12-17.

Intinya, Habakuk tidak puas terhadap jawaban Tuhan sebagaimana dimuat dalam Habakuk 1:5-11. Ia protes karena Habakuk melihat ada ketidakadilan, ada ketimpangan kekuatan yang Tuhan biarkan terjadi, sehingga yang lemah menjadi korban.

Yang menarik, pihak yang menjadi korban digambarkan sebagai ikan di laut, seperti binatang-binatang melata yang tidak ada pemerintahnya (Habakuk 1:14). Habakuk menekankan, masakah manusia yang tidak berdaya diperlakukan sedemikian rupa dan pihak yang mengeksploitasi menjadi hidup mewah dengan rezeki berlimpah-limpah? (Habakuk 1:15-16). “Ini tidak adil”, protes Habakuk kepada Tuhan.

Dalam ayat 17, Habakuk melanjutkan protesnya, jika dibahasakan secara bebas kurang lebih demikian: “Masakan Tuhan membiarkan suatu bangsa membunuh bangsa-bangsa lain tanpa belas kasihan, sedangkan Engkau adalah Allah yang Maha Berbelas kasihan?

Protes kepada Tuhan itu Bolehkah?

Jika kita mempelajari kitab Habakuk ini maka kita diberi informasi bahwa kita boleh memprotes Tuhan atas rencana-Nya yang akan Ia lakukan. Bukankah dalam kitab ini, Habakuk memprotes rencana Tuhan?

Terlepas dari: Apakah Tuhan ALLAH menerima protes Habakuk atau tidak, tetapi yang mau ditekankan dalam kajian singkat ini adalah bahwa sikap protes Habakuk harus diletakkan dalam koridor relasi pribadi yang intim antara Tuhan Allah dan hamba-Nya, Habakuk. Saya membayangkan komunikasi antara keduanya bagaikan komunikasi antara ayah (yang baik dan bijak) versus anak kandung yang dikasihi-Nya. Artinya, apa pun jawaban Tuhan atas protes sang anak, bahkan jika “Allah Bapa” tidak menjawab sekalipun, hal itu tidak membuat iman sang anak luntur, kecewa dan cuek beribadah kepada Tuhan. Tidak!

Apa pun jawaban Tuhan, bahkan jika tidak dijawab sekalipun, Habakuk tetap percaya bahwa Allah Elohim YHWH (baca: Adonai) adalah Allah yang berdaulat atas hidupnya untuk selamanya. Oleh iman inilah, Habakuk mengakhiri doanya dengan berseru: “… namun aku akan tetap bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku (Habakuk 3:18). Bahkan dengan ucapan penutup doa, dia berseru: Allah Tuhanku itu kekuatanku … (Habakuk 3:19).

Sungguh iman yang luar biasa. Apakah kita juga memiliki iman yang demikian? Terlebih secara khusus dalam menghadapi dampak pandemi COVID-19 yang menggerogoti kondisi finansial keluarga kita?