ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 3 April 2022

JEMBATAN

Jembatan merupakan salah satu jalan untuk menghubungkan dua daerah yang dipisahkan oleh sungai. Biasanya orang-orang menggunakan jembatan untuk menyebrangi sungai dan berpindah ke daerah seberangnya. Tidak jarang, jembatan mampu mempertemukan orang- orang yang melintas di atasnya sehingga ada sebuah interaksi dalam sebuah perjalanan. Pengertian tentang jembatan ini dapat kita refleksikan dengan kehadiran Tuhan Yesus Kristus yang hadir di tengah kehidupan manusia. Manusia kadang kala terpisah akibat pengelompokkan yang terjadi dalam kehidupan ini. Ada kelompok yang menganggap diri “baik”, mereka akan bertentangan dengan orang yang dianggap “buruk”. Jurang pemisah yang terjadi cukup lebar karena tidak sedikit orang yang berfikir untuk saling menjauhi karena perbedaan yang ada. Namun kehadiran Tuhan Yesus Kristus memberi pembeda yang mampu memperjumpakan kedua kelompok ini.

Lukas 15:11-32 mencatat sebuah pengajaran yang Tuhan Yesus Kristus berikan pada orang-orang biasa (pendosa) dan ahli taurat (suci). Tuhan Yesus Kristus memberikan sebuah perumpamaan yang ditujukan kepada kedua kelompok yang bertentangan sehingga menyebabkan keengganan untuk hidup bersama. Tuhan menganalogikan para pendosa sebagai anak bungsu yang meminta harta orang tuanya lalu pergi untuk menghabiskannya. Si bungsu yang kehabisan harta terpaksa bekerja dan akhirnya menyadari bahwa ia perlu kembali kepada bapanya. Sekembalinya ia didapati oleh ayahnya yang menunggu dan kembali mengangkat keberadaannya dengan berpesta bersama. Keadaan ini membuat si sulung yang dapat dimaknai sebagai orang-orang “suci” tidak suka. Ia bertanya kenapa ayahnya begitu bersukacita akibat si pendosa kembali lagi. Jawaban si ayah sungguh sangat menyentuh “Anakku, engkau selalu bersama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan di dapat kembali” (Lukas 15:31-32). Pernyataan Tuhan Yesus Kristus dalam perumpamaan ini ingin menegaskan bahwa kedua kelompok yang bertentangan sedang Ia cari dan dipertemukan dalam balutan kasih.

Kelompok yang dilebeli pendosa oleh orang-orang yang menganggap diri suci memiliki jurang pemisah yang cukup jauh. Mereka tidak mau bergaul satu dengan yang lain, akibatnya mereka memiliki sikap eksklusif yang menyebabkan sebuah stigma yang selalu disematkan. Peristiwa ini merupakan sebuah ironi karena manusia tidak dapat hidup berdampingan satu dengan yang lainnya. Kehadiran Tuhan Yesus Kristus memberi ruang bagi mereka untuk dapat dipertemukan dan hidup berdampingan. Melalui perumpamaan anak yang hilang, Ia sedang mengajar bahwa kedua kelompok ini sedang Tuhan cari agar dapat hidup berdampingan dalam kasih. Tuhan Yesus Kristus mengambil peran sebagai jembatan yang menghubungkan keberadaan dua kelompok yang terpisah ini. Perjumpaan yang terjadi akan menghasilkan sebuah gaya hidup yang memancarkan kasih.

Dalam memaknai Minggu Prapaskah V yang sedang kita jalani, gereja diingatkan untuk menjadi sebuah jembatan yang mampu memperjumpakan Tuhan dengan dua kelompok yang berbeda ini. Gereja dapat mengambil peran sebagai sebuah komunitas yang ramah untuk semua orang yang datang ke dalamnya. Kita menyadari bahwa tidak semua orang yang datang ke gereja ialah orang baik namun sangat beragam. Kesadaran ini akan membawa pada perwujudan kasih Tuhan yang menerima setiap kalangan untuk dapat bertumbuh di dalamNya. Menjadi sebuah jembatan memang tidak mudah tetapi gereja dapat terus melayangkan pandangan kepada kasih Tuhan yang bergerak aktif untuk menghubungkan kedua kelompok ini ke dalam anugerah Tuhan. Itulah sebabnya menjadi jembatan ialah sebuah tantangan bagi gereja yang perlu dihayati dalam memaknai kasih Tuhan melalui Minggu Prapaskah V hari ini.

GTB


Minggu, 10 April 2022

BUKAN SEKEDAR RUTIN

Minggu Palmarum yang sedang kita rayakan bersama memberikan sebuah semarak akan kedatangan Tuhan yang menaiki seekor keledai. Banyak orang yang menyambutnya, Injil Lukas 19:28-40 mencatat peristiwa tersebut sebagai sebuah penghormatan atas apa yang telah Tuhan Yesus Kristus kerjakan. Orang banyak yang merasakan kedamaian akibat pelayanan yang Ia nyatakan sungguh sangat bersukaria menyambut kehadiranNya di Yerusalem. Akan tetapi, sorakan yang diberikan orang banyak tersebut dibungkam oleh penangkapan dan penyaliban yang diterima Tuhan Yesus Kristus. Ironi ini membawa kita pada perenungan, “apakah orang-orang yang bersorak dengan sukacita tersebut ialah yang berteriak “salibkan Dia” dihadapan Pilatus?” sehingga menuntun kita pada pertanyaan “apakah Yesus hadir dalam hati setiap manusia?’. Mari kita renungkan bersama pertanyaan yang mungkin menyelimuti pemikiran kita.

Lukas merupakan salah satu Injil yang menyoroti pelayanan Tuhan Yesus Kristus kepada orang-orang yang terpinggirkan. Tuhan Yesus Kristus digambarkan hadir di tengah-tengah kehidupan orang berdosa, najis, dan dianggap kafir. Pelayanan yang Ia nyatakan serta segala mukjizatNya terwujud dalam kehidupan orang-orang yang terpinggirkan. Tidak heran, kabar tentang karya pelayanan Tuhan tersebar begitu cepat sehingga orang banyak mengikutiNya. Hal ini tergambar dari begitu semaraknya orang banyak yang menyambutNya masuk ke Yerusalem. Akan tetapi, ada juga orang yang tidak menerima segala pelayanan yang Tuhan berikan karena mengganggu kedudukan mereka. Orang-orang ini ialah ahli taurat, orang Farisi dan Imam Kepala. Mereka tidak menyambut kehadiran Yesus Kristus tetapi menyusun siasat untuk membinasakanNya. Realita inilah yang menegaskan bahwa orang yang menyambut Tuhan di Yerusalem berbeda dengan yang berteriak “salibkan Dia”. Hal ini dikarenakan orang yang menyambut Tuhan ialah mereka yang terpinggirkan sedangkan yang berteriak “salibkan Dia” adalah orang-orang yang terpandang.

Pelayanan yang telah Tuhan kerjakan ternyata tidak sepenuhnya diterima dengan baik oleh manusia. Mereka yang menolak apa yang telah Ia kerjakan dan mengeraskan hati sehingga membiarkan si jahat memengaruhi pikiran mereka. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tidak mudah menyadarkan orang-orang yang telah mengeraskan hati sehingga tidak mampu melihat anugerah Tuhan. Itulah sebabnya, melembutkan hati yang keras menjadi panggilan bagi setiap orang percaya. Kita diajak untuk mampu memperkenalkan kasih Kristus dalam kehidupan ini dengan meneruskan pelayanan yang sudah Tuhan mulai. Ketuklah hati setiap orang yang kita temui dengan kasih Kristus agar mereka dapat membuka hati dan membiarkan Ia masuk ke dalam. Teruslah pancarkan kasih Kristus sampai setiap hati mau menerima kehadiran-Nya dalam kehidupan mereka.

GTB


Minggu, 17 April 2022

YESUS KRISTUS BANGKIT, LALU APA?

Kebangkitan Yesus Kristus menjadi sebuah penghayatan gereja‐gereja di dunia akan karya keselamatan yang tiada taranya. Gereja‐gereja setiap tahun merayakan kebangkitan Yesus Kristus seraya mengingat akan pengurbanan‐Nya demi menebus dosa manusia. Dalam kondisi yang sebegitu umum, menarik untuk mempertanyakan, apakah kita yang hidup di dalam gereja melihat sebuah pesan yang mendalam dari kebangkitan Yesus Kristus atau justru kita terjebak dalam rutinitas sebuah perayaan yang dilakukan secara berulang?

Dalam Injil, kisah kebangkitan Yesus Kristus ditulis dengan berbagai sudut pandang dan pesan tersendiri. Injil Yohanes lebih memperlihatkan sebuah sudut pandang yang menarik. Dalam Yohanes 20:11‐18, Yohanes memilih menerangkan sosok Maria yang tidak mau pergi begitu saja setelah melihat kubur Yesus yang kosong. Ia memilih untuk berdiri di depan kubur sambil meratapinya, berbeda dengan murid lain yang memilih untuk pergi meninggalkan kubur tersebut (Yoh 20:1‐10).

Keteguhan hati Maria membuatnya berjumpa dengan Yesus Kristus yang menampakkan diri kepadanya. Kesedihan yang mendalam memang membuat Maria tidak sadar bahwa yang menampakkan diri padanya adalah Yesus. Akan tetapi, Yesus meyakinkan Maria dengan memintanya untuk berpaling dan melihat‐Nya. Ketika Maria mampu membalikkan wajahnya, ia melihat Yesus Kristus yang telah bangkit dan mengalahkan kuasa maut.

Kebangkitan Yesus Kristus menjadi kesukaan bagi Maria. Ia sangat bahagia karena kosongnya kubur Yesus Kristus bukan karena jasad‐Nya dicuri melainkan karena bangkit. Dalam kesempatan ini, Yesus Kristus memakai Maria untuk menyebarkan kabar bahagia ini kepada murid yang lain. Dengan keyakinan penuh pada Yesus Kristus yang bangkit, Maria melakukan apa yang dikehendaki‐Nya. Ia pun pergi bergegas dengan hati gembira dan menyatakan kepada para murid bahwa ia telah melihat Tuhan yang bangkit.

Peristiwa kebangkitan Yesus Kristus yang Maria rasakan merupakan sebuah kabar gembira sekaligus mengherankan. Menjadi mengherankan karena para murid yang datang tidak melihat apa pun dan berfikir bahwa jasad Yesus Kristus dicuri. Justru Maria yang menjadi saksi atas kebangkitan tersebut tidak diam dan hanyut dalam kesukaan tersebut melainkan bergerak untuk menyatakan kebangkitan di tengah para murid yang sedang keheranan.

Melalui kebangkitan Yesus Kristus, kita sebagai orang percaya akan kebangkitan‐Nya diajak untuk tidak terjebak dalam rutinitas perayaan gerejawi saja. Kita diajak seperti Maria untuk dapat bersikap aktif dalam memaknai kebangkitan Yesus Kristus di tengah dunia.

Dari narasi Injil kita melihat kebangkitan‐Nya membawa kesukaan, kedamaian, pemulihan, kehangatan dan kehidupan. Keempat hal tersebut dapat kita maknai juga dalam kehidupan sehari‐hari. Kita dapat menerapkan kebangkitan Yesus Kristus melalui tutur kata dan perbuatan kepada sesama yang mendatangkan kesukaan, kedamaian, pemulihan, kehangatan, dan kehidupan. Ketika kita mampu melakukannya, maka kebangkitan Yesus Kristus bukan hanya sekedar perayaan setiap tahun tetapi perayaan setiap hari dalam kehidupan kita di tengah gereja, masyarakat, dan dunia.

GTB


Minggu, 24 April 2022

MENJALIN HUBUNGAN BERALASKAN KASIH DAN PERCAYA

Kehidupan manusia dari dahulu sampai sekarang tidak lepas dari romansa percintaan dua sejoli. Dalam masa muda banyak orang yang berusaha menemukan pendamping hidupnya. Baik laki-laki atau pun perempuan, mereka akan mencari pasangan yang kelak akan hidup bersama di dalam bahtera rumah tangga. Fenomena ini tidak dapat dianggap sebagai siklus hidup yang biasa saja, melainkan perlu ditanggapi secara serius. Masa mencari pasangan ini sangat rentan dan bila tidak ditanggapi secara serius maka dapat menimbulkan banyak masalah ke depannya. Kali ini kita ingin belajar dari iman Kristen yang mengajarkan banyak hal tentang menjalin sebuah hubungan, salah satunya akan kita maknai secara bersama-sama.

Menjalin hubungan di masa kini sudah mengalami banyak perubahan, tidak dapat dipungkiri bahwa laju globalisasi membawa kita pada budaya yang berbeda-beda. Jaman dahulu (tahun 80’an atau kurang) kebanyakan orang menjalin hubungan tidak sedalam sekarang, hal ini dikarenakan adanya budaya perjodohan yang dilakukan orang tua. Masa pacaran tidak sering terjadi sebelum menikah melainkan setelah menikah. Semakin berkembangnya jaman (90’an), budaya ini pun tergerus karena banyak pertentangan yang diberikan. Orang banyak ingin menentukan jodohnya sendiri sehingga budaya perjodohan pun ditinggalkan. Ketika mereka menjalin hubungan kadang mendapat kendala yaitu jarak yang cukup jauh. Media komunikasi pun sulit tetapi mereka tetap dapat menjalani hunungan dengan baik. Masa kini (2000’an) komunikasi semakin baik dengan adanya handphone yang dapat menghubungkan. Budayanya pun berubah, kita dapat melihat muda-mudi ketika menjalin hubungan tidak tahan dengan jarak. Mereka lebih suka dengan pasangan yang berada di dekat mereka sehingga orang-orang tahu ia memiliki pasangan. Apa yang dapat kita lakukan sebagai pemuda Kristen menghadapi fenomena ini?

Kita akan belajar dari iman Kristen untuk menanggapi persoalan ini. Kita akan belajar dari salah satu murid Tuhan Yesus Kristus yang dalam hubungannya dengan Tuhan dekat tetapi tidak sepenuhnya percaya. Tomas merupakan salah satu murid Tuhan Yesus Kristus yang awalnya tidak percaya akan kebangkitan-Nya. Padahal kita tahu bahwa murid-murid Tuhan Yesus Kristus selalu bersama-sama dan mendengarkan pengajaranNya tetapi mengapa Tomas tidak percaya. Kisah tersebut dicatat dalam Injil Yohanes 20:24-29, digambarkan bahwa Tomas yang mendengar kebangkitan Tuhan Yesus Kristus tidak langsung percaya tetapi meragu. Akibat keraguannya akan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, Ia pun menampakkan Diri di tengah para murid dan Tomas yang semula tidak sepenuhnya percaya menjadi percaya karena Tuhan hadir di hadapannya dengan penuh kasih. Hidup bersama dengan Tuhan Yesus Kristus cukup lama tidak menjamin kepercayaan itu tumbuh tetapi kasih-Nya meyakinkan Tomas untuk percaya sepenuhnya kepada-Nya. Lalu, apa yang kita mau pelajari dari seorang Tomas?

Ketika kita kembali kepada fenomena dalam menjalin hubungan, dapat dilihat adanya nilai mendasar yang kita peroleh dari kisah Tomas. Dalam menjalin hubungan masa kini kita selalu ingin dekat dan menempel seperti perangko, kemana-mana maunya bersama, dunia seakan milik berdua dan yang lain “ngontrak”, dan jarak membuat kita enggan untuk bertahan dalam hubungan. Padahal kedekatan yang dilakukan belum tentu memiliki kualitas yang baik. Tomas yang menjadi murid setiap hari bersama juga belum memiliki kualitas yang baik dalam hubungannya dengan Tuhan. Akan tetapi, keraguan yang dimilikinya menumbuhkan rasa percaya karena kasih Tuhan yang tidak pernah berkesudahan. Hubungan yang baik pun tidak dapat diukur dari seberapa sering kita bersama, seberapa sering kita membalas chat pasangan kita, dan seberapa sering mengucapkan I love you tetapi seberapa percaya kita terhadap pasangan. Dalam menumbuhkan perasaan percaya kita perlu meragu terlebih dahulu, ketika pasangan kita dapat meyakinkan kita melalui kasihnya maka rasa percaya itu akan tumbuh.

Kasih dan percaya menjadi dasar yang baik untuk menjalin sebuah hubungan bagi orang Kristen masa kini. Dengan memiliki rasa itu, kita akan dapat memaknai hubungan yang ada tidak dari kedekatan fisik tetapi lebih dalam yaitu secara spiritual. Hal ini membantu kita juga untuk dapat bersama-sama berjuang mencapai impian masa depan dengan saling membangun dan mensupport pasangan yang sedang menempuh studi atau meniti karir. Itulah sebabnya, menjalin hubungan beralaskan dengan kasih dan percaya perlu menjadi model dalam kehidupan orang Kristen karena rasa yang sama juga kita alami dalam perjalanan iman kita kepada Tuhan.

GTB