ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 7 Februari 2021

CINTA TUHAN MELIMPAH
(Matius 6:25-34)

Ada sebuah kutipan kalimat yang pernah dikatakan Bunda Theresa yaitu “penyakit yang paling berbahaya di dunia ini bukanlah kanker melainkan tidak dicintai”. Pernyataan yang diberikan Bunda Theresa menggugah nurani setiap kita. Hal ini dikarenakan setiap orang ternyata membutuhkan cinta dalam hidupnya. Apa benar manusia membutuhkan cinta dalam hidupnya? Contoh kecil bahwa manusia membutuhkan cinta ialah ketika seorang tumbuh menjadi seorang pemarah hal itu dikarenakan pada masa kecil ia tidak merasakan cinta yang cukup dari keluarganya. Mungkin banyak lagi contoh yang dapat kita kemukakan untuk menunjukkan bahwa manusia membutuhkan cinta dalam hidupnya. Perasaan tidak dicintai akan membawa seseorang dalam situasi kesepian, putus asa, dan tidak ingin hidup lagi. Lalu, bagaimana menghadapi kehidupan yang membuat kita merasa tidak dicintai?

Dalam kisah pelayanan Tuhan Yesus Kristus, Ia pernah mengajar tentang “Hal Kekuatiran” yang dicatat dalam Injil Matius 6:25-34. Pengajaran tersebut ditujukan kepada orang banyak yang sedang merasa ketakutan, putus asa, dan sendiri dalam menjalani kehidupan. Tuhan Yesus Kristus menggunakan sebuah metafora yang ada di sekitar-Nya yaitu burung dan tumbuhan yang selalu Tuhan rawat dan pelihara. Dari metafora yang diberikan-Nya, Tuhan Yesus Kristus ingin menegaskan bahwa setiap ciptaan-Nya tidak ditinggalkan sendiri melainkan tetap diberikan cinta kasih untuk tetap hidup. Terlebih lagi manusia yang diberikan akal budi untuk mengerjakan hal yang baik dalam kehidupan. Itulah sebabnya, dalam ayat 33 dikatakan “tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”. Manusia yang merasa ketakutan, putus asa, dan sendiri diajak untuk mencari dan mengingat Tuhan yang selalu ada memberikan cinta-Nya.

Pengajaran yang Tuhan Yesus Kristus berikan dapat menumbuhkan sebuah pengharapan dan semangat bagi setiap orang yang merasa tidak dicintai. Tuhan Yesus Kristus memiliki cinta yang begitu melimpah kepada setiap orang sehingga kita tidak perlu merasa kuatir. Cinta-Nya yang melimpah membuat kita mampu menjalani kehidupan yang berat karena tidak dicintai orang di sekitar kita. Kita perlu mengingat dan mencari Tuhan yang penuh dengan cinta kasih dan tidak akan meninggalkan anak-anak-Nya.

Cinta Tuhan yang melimpah telah Ia curahkan bagi setiap kita yang mau mencari dan mengingat pekerjaan-Nya dalam hidup ini perlu diteruskan. Sebagai orang yang telah merasakan cinta Tuhan, setiap kita memiliki tugas dan tanggungjawab untuk membagikan cinta Tuhan. Kita dapat memulainya dalam keluarga, lingkungan sekitar, dan dunia pekerjaan. Dalam keluarga kita dapat menjadi anak yang memberikan perhatian kepada orang tua dan menjadi orang tua yang mampu memberikan kata-kata positif bagi anak. Di lingkungan sekitar kita dapat hidup penuh toleransi dengan orang-orang yang berbeda. Di dunia pekerjaan kita dapat menjadi rekan yang memotivasi bagi yang lain agar mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Semua hal itu kita lakukan untuk membuat orang-orang yang merasa tidak dicintai siapa pun mampu merasakan cinta Tuhan yang melimpah.

Merasakan Cinta Tuhan yang melimpah akan membuat kita mampu menghadirkan cinta-Nya dalam kehidupan banyak orang yang membutuhkan cinta.

Galvin T.B.


Minggu, 14 Februari 2021

CINTA YANG MENERIMA
(Lukas 15:11-32)

Dalam perjalanan kehidupan, apa yang paling sulit kita lakukan sebagai seorang manusia? Mungkin jawaban kita beragam dalam menjawab pertanyaan tersebut karena setiap orang memiliki kesukarannya masing-masing. Akan tetapi, ada hal mendasar yang membuatnya terasa sulit kita lakukan dalam kehidupan yaitu sebuah penerimaan. Menerima tidaklah mudah, butuh waktu yang cukup panjang untuk melakukannya dan akhirnya mampu melewati masa-masa sukar. Setiap orang memiliki pergumulan dan mencoba untuk keluar dari sana namun hal tersebut sukar terjadi karena kadang kita tidak mampu menerima. Ternyata menerima tidak sesederhana kedengarannya, butuh hati yang besar dan cinta yang melimpah untuk dapat melakukannya. Itulah sebabnya, menerima sangat sulit kita lakukan dan akhirnya menimbulkan kesukaran dalam melewati setiap pergumulan.

Menerima memang sulit dilakukan tetapi bukan sesuatu yang mustahil dilakukan setiap orang yang menggantungkan hidup kepada Tuhan. Mari kita belajar menerima melalui sebuah kisah yang pernah Tuhan Yesus Kristus berikan dalam Lukas 15:11-32. Kisah tersebut menggambarkan sebuah dinamika kehidupan yang cukup rumit karena seorang anak bungsu meminta bagian dari warisan ayahnya yang masih hidup lalu pergi. Kepergian tersebut tentu membuat hati ayahnya sedih namun ia tetap mau menerima keputusan anaknya. Dalam perjalanan hidup anak bungsunya tersebut ia terombang-ambing karena menghabiskan bagian yang dimilikinya. Pada suatu perenungan ia menerima keadaannya dan teringat ayahnya sehingga memutuskan kembali. Kepulangan anak bungsu yang sudah pergi ternyata menjadi kesenangan bagi sang ayah karena ia selalu menunggu dan langsung menyambut kedatangan si bungsu. Penerimaan yang dilakukan sang ayah ternyata tidak hanya menyambut saja tetapi lebih dari itu yaitu menganggkat si bungsu dari keterpurukkan hidup.

Kisah penerimaan yang dilakukan sang ayah terhadap anak bungsunya menimbulkan sebuah pertanyaan dalam benak kita. Mengapa sang ayah mau tetap menerima bahkan mengangkat kembali anaknya padahal ia sudah melakukan kesalahan? Sang ayah dapat melakukan tersebut karena cinta yang dimilikinya besar sehingga mampu menerima ketika si bungsu meminta bagiannya. Ia menerima sebuah kenyataan bahwa anaknya tidaklah sesuai dengan apa yang ia inginkan. Akibat ia menerima keadaan tersebut, sang ayah bahkan mampu menyambut anaknya yang sudah pergi dan menghabiskan warisan yang ia berikan.

Apa yang dapat kita petik dari kisah tersebut? Memang sulit menerima sebuah keadaan yang tidak baik bagi diri kita. Namun ketika kita memiliki hati yang penuh cinta dari Tuhan, hal tersebut dapat menumbuhkan sebuah kesadaraan akan sebuah penerimaan. Kita mampu menerima keadaan yang buruk (keadaan finansial, PHK, dan sakit), kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan kita (tidak memiliki anak, tidak memiliki pekerjaan yang mapan) dan keberadaan kita di dunia karena Cinta Tuhan yang sudah Ia berikan. Kesadaran bahwa kita telah terlebih dahulu dicintai oleh Tuhan akan menolong setiap orang dapat menerima pergumulan hidup yang dihadapi. Itulah sebabnya, cinta yang menerima bukan sebuah kemustahilan melainkan keniscayaan jika kita mau melakukannya.

Cinta Tuhan yang selalu menerima anak-anaknya mendorong setiap orang percaya untuk tangguh dalam menghadapi setiap pergumulan.

Galvin T.B.


Minggu, 21 Februari 2021

MENJADI SETITIK CINTA DALAM KEHIDUPAN
(Lukas 10:25-37)

Siapa aktris atau aktor yang menjadi favorit kita di dunia perfilman? Pasti jawaban kita beragam untuk menyebutkan salah satu aktris atau aktor favorit yang disenangi. Untuk menunjukkan kepopuleran aktris atau aktor tersebut, banyak ajang penghargaan sebagai tanda bahwa peran yang dimainkan baik, bahkan banyak juga yang menjadikan mereka idol. Tetapi, pernahkah kita mengingat seorang cameo (pemain pembantu) yang ada disebuah film? Jika pertanyaan yang sama saya ajukan yaitu “siapa cameo favorit kita?”, saya meyakini kita akan mengalami kebingungan untuk menjawab pertanyaan ini. Wajar memang hal tersebut terjadi karena seorang cameo hanya “numpang lewat” saja dalam sebuah film sehingga tidak akan menjadi perhatian banyak orang. Namun, peran cameo yang tidak terlalu diperhitungkan ternyata memiliki peran yang cukup krusial dalam sebuah film. Bayangkan saja, jika aktris atau aktor berperan tanpa hadirnya cameo mungkin saja mereka akan kebingungan dalam menjalankan perannya. Keberadaan cameo dalam dunia film, dapat juga terjadi di dunia nyata ketika kita bertemu dengan orang yang menolong tanpa tahu siapa namanya.

Keberadaan cameo dalam kehidupan ini juga pernah Tuhan Yesus Kristus sampaikan dalam pengajarannya untuk menjawab pertanyaan orang Farisi. Kisah dalam Lukas 10:25-37, mungkin banyak yang melihat tentang orang Samaria yang baik hati karena mau menolong orang yang terluka. Akan tetapi, kali ini saya ingin mengajak kita berfokus pada ayat 35 yang mengisahkan seorang pemilik penginapan. Seorang pemilik penginapan yang tidak diketahui namanya tetapi melakukan peran yang cukup krusial yaitu merawat orang yang terluka. Ia hanya diberik uang dua dinar untuk merawat. Ia juga tidak mempertanyakan kapan orang Samaria kembali. Memang kisahnya selalu luput dari pandangan kita namun setitik cinta yang ia berikan mampu menjadi perenungan kita bersama.

Kisah pemilik penginapan yang menerima dan merawat orang yang terluka dapat membuahkan sebuah perenungan bagi kita. Apakah kita pernah merasakan setitik cinta dari orang yang tidak kita kenal? Atau pernahkah kita menjadi orang yang memberikan setitik cinta bagi orang yang tidak dikenal? Pertanyaan ini mengajak kita kembali menyelami pengenalan akan cinta Tuhan di tengah kehidupan ini. Banyak orang yang kita temui dalam kehidupan ini ternyata beberapa dari mereka adalah seorang cameo yang menolong untuk menemukan cinta Tuhan dalam kehidupan. Atau bahkan, kita juga dapat menjadi cameo dalam kehidupan orang lain yang menolong banyak orang menemukan cinta Tuhan dalam kehidupannya.

Menjadi setitik cinta dalam kehidupan orang lain dengan menolong, merawat, dan menjadi teman merupakan sebuah wujud nyata dari kehadiran Tuhan dalam dunia. Walaupun kita hanya menjadi seorang cameo dalam hidup seseorang yang hanya datang lalu pergi tanpa diingat tetapi sikap tersebut sungguh sangat krusial dalam hidup mereka. Pertanyaannya kini, apakah kita mau menjadi setitik cinta bagi kehidupan orang lain? Apakah kita mau untuk tidak dikenal namun perbuatan kita dikenang? Biarlah ini menjadi perenungan kita bersama dan jawabannya ada dalam kehidupan sehari-hari.

Menjadi setitik cinta dalam kehidupan walaupun hanya menjadi cameo tetapi dapat menolong banyak orang menemukan cinta Tuhan.

Galvin T.B.


Minggu, 28 Februari 2021

DASAR PELAYANAN IALAH CINTA AKAN TUHAN
(Lukas 10:38-42)

Apa yang menjadi standar seorang dikatakan beriman kepada Tuhan? Menjadi pelayan di gereja, pengurus komisi, aktif dalam setiap persekutuan, dan sibuk menjadi panitia setiap hari raya gerejawi. Apakah segala kegiatan tersebut menjadi ukuran seorang dikatakan beriman kepada Tuhan? Tentu saja hal-hal tersebut tidak semata-mata menjadi sebuah ukuran seorang memiliki iman yang baik kepada Tuhan. Kita seringkali mendapati orang-orang yang sangat aktif melakukan kegiatan di gereja malah mengalami kekosongan rohani. Mereka memiliki nampaknya ada banyak motivasi dalam melakukan kegiatan gereja, salah satunya ialah aktualisasi diri demi terlihat rohani. Realita ini sungguh ironi karena dibalik pekerjaan yang identik dengan pelayanan untuk Tuhan, ternyata ditunggangi kepentingan pribadi. Akibatnya, dalam kegiatan gerejawi tersebut banyak diselimuti rasa kecewa, tersinggung, dan ingin menang sendiri. Kita lupa dengan dasar yang harus dimiliki untuk melakukan segala kegiatan gerejawi, yaitu rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan.

Tuhan Yesus Kristus dalam perjalanannya pernah bertemu dengan Marta dan Maria di rumah mereka. Kisah ini dicatat dalam Lukas 10:38-42 yang menerangkan bahwa Tuhan Yesus Kristus singgah ke rumah mereka. Ketika berada di dalam rumah, Marta sibuk menjadi nyonya rumah yang baik dengan menyiapkan segala sesuatu. Sikapnya tersebut merupakan keramahan yang biasa dilakukan oleh orang Yahudi ketika menyambut tamu. Akan tetapi, Maria melakukan tindakan yang berseberangan dengan Marta. Maria lebih memilih duduk dekat Tuhan dan mendengarkan perkataanNya. Sikap Maria membuat Marta kesal dan meminta Tuhan menegurnya, tetapi sebaliknya malah Tuhan yang menegur Marta untuk membiarkan apa yang Maria lakukan yaitu mendengarkan pengajaran-Nya.

Sikap Marta tidaklah salah karena memang tugas seorang nyonya rumah ialah melayani tamu yang berkunjung. Sikap Maria juga tidak salah karena ia memilih mendengarkan pengajaran yang Tuhan berikan. Kedua sikap ini memiliki pesan yang mendalam bagi kehidupan beriman kita. Marta berusaha tampil baik dengan sibuk melayani tetapi lupa bahwa ia harus mendengarkan perkataan Tuhan. Sedangkan Maria terlihat buruk karena tidak menjadi “nyonya yang baik” dan memilih untuk duduk mendengarkan pengajaran Tuhan.

Kisah Marta dan Maria dapat menjadi perenungan untuk kita yang sedang menjalani kehidupan bergereja saat ini. Apakah kita sibuk melakukan segala kegiatan gereja hanya untuk kepuasan diri? Atau apakah kita melakukan kegiatan gereja karena didasari rasa cinta kepada Tuhan? Perenungan ini perlu kita selami lebih lagi ke dalam diri masing-masing. Pelayanan yang didasari oleh rasa cinta kepada Tuhan akan memiliki dampak yang berbeda. Kita akan melayani penuh sukacita, saling menopang dalam pelayanan, dan tidak mudah undur dari pelayanan. Hal ini dikarenakan kita tahu bahwa Tuhan sebagai fokus pelayanan dan orang-orang sekitar sebagai sarana yang Tuhan hadirkan. Jadi, mulailah pelayanan dengan cinta akan pengajaran yang Tuhan berikan agar setiap karya yang dilakukan hanya memuliakan nama Tuhan.

Cinta akan Tuhan menolong setiap kita untuk dapat fokus melayani-Nya di mana pun kita ditempatkan.

Galvin T.B.