Juni 2021

ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 6 Juni 2021

PERCAYA-NYA SEORANG MURID

Menjadi seorang murid berarti kita memberikan diri untuk mendengarkan setiap pelajaran yang disampaikan. Namun tidak berhenti sampai di situ. Setiap pembelajaran haruslah juga dapat diaplikasikan. Istilah yang mungkin lebih akrab bagi kita adalah: tidak hanya teori, tapi juga praktek. Oleh karena itu, seorang murid harus bersedia berproses untuk berlatih setiap saat dengan segala yang diajarkan sehingga memiliki kemampuan untuk mencermati persoalan dan mengatasinya. Untuk itu, kita memerlukan aspek penting yang mendasari dan juga mendukung pembelajaran seorang murid yaitu rasa percaya yang tumbuh dari diri murid kepada gurunya.

Dalam beragam peristiwa baik itu di sekolah maupun sekolah minggu, kita sering mendapati orang tua yang berkeluh kesah bahkan menitipkan pesan pada guru atau kakak sekolah minggu. Intinya kurang lebih begini: “Tolong beritahu anak saya, karena kalau ibu/bapak/kakak yang katakan, pasti anak saya lebih nurut. Anak saya suka mengulang-ngulang apa yang disampaikan di sekolah/sekolah minggu. Padahal yang saya sampaikan adalah hal yang sama tapi dia kelihatannya lebih percaya sama gurunya.” Rasa percaya dari seorang murid membuatnya dapat menerima bahkan meresapi setiap pembelajaran yang diberikan. Bahkan dengan tulus hati dan bersemangat akan menjalankan dalam kesempatan kehidupan mereka. Mengapa rasa percaya ini bisa kuat dalam diri seorang murid? Tidak lain karena dalam setiap perjumpaan, murid merasakan kasih yang tulus dan nyata dari gurunya. Kasih yang terwujud dengan kerelaan menerima segala keterbatasan dan ketidakmampuan sang murid, ketekunan untuk membimbing walaupun harus jatuh bangun dalam kesalahan, dan dalam segala sukacita atas setiap pencapaian meskipun hanya langkah kecil.

Bagaimana dengan kita sebagai murid Kristus? Tentunya kita mengalami kasih Tuhan yang tiada berbatas dalam kehidupan kita setiap saat. Juga dengan sungguh, kita akan mengatakan bahwa, rasa percaya atau “iman” telah menjadi bagian dasar kehidupan kita. Tetapi pernahkah kita mengujinya dalam keseharian? Apakah kita selalu dapat menemukan dalam pergerakan kita selaku murid Kristus, iman kita tampak nyata? Menurut Ibrani 11:1 “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Inilah yang penting untuk senantiasa dihidupi oleh seorang murid. Sebagai murid Kristus, kesungguhan dalam iman membuat kita dapat membuka diri secara maksimal untuk menerima pengajaran Kristus melalui kebenaran firmanNya sekalipun berbeda dengan keadaan lahiriah atau fakta. Di sini jugalah terdapat ujian kesungguhan sebagai murid. Bahwa setiap pembelajaran yang diterima bukan saja untuk menambah pengetahuan atau intelektualitas melainkan membawa perubahan pada prilaku, cara bersikap hingga cara pandang dan cara memaknai kehidupan.

Hidup sebagai murid Kristus berarti mempergunakan iman kita untuk menerima dan mengaplikasikan setiap pengajaranNya setiap saat. Hal ini mendorong kita tidak hanya mengandalkan pada apa yang kita lihat atau alami melainkan kita sungguh bergantung pada rencana dan kehendak Tuhan atas kehidupan kita.

Forum Pendeta


Minggu, 13 Juni 2021

SALIB

Salah satu bagian pengajaran Tuhan Yesus kepada murid-muridNya mengenai sikap orang-orang yang mau mengikutNya dicatat dalam Injil Matius 16:24 demikian “Lalu Yesus berkata kepada murid-muridNya: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Tentu kita tidak asing dengan bunyi ayat ini, malah mungkin kita telah menghafalnya menjadi 3 syarat dalam mengikut Yesus. Tetapi, perkataan Yesus ini bukan sekedar untuk kita hafalkan, melainkan untuk kita resapi dengan sungguh, apakah kita bersedia menjalaninya dengan tekun?

Pada Sapaan Gembala minggu ini, kita akan melihat pada salah satu syarat mengikut Dia yaitu memikul salib. Mungkin di antara ketiganya, persoalan memikul salib jarang kita dalami. Kita memahaminya sebatas bahwa mengikut Yesus pasti ada harga yang harus dibayar, kesediaan menjalani kesulitan dan pergumulan karena memilih untuk memegang identitas sebagai muridNya. Memikul salib sebenarnya memiliki makna yang jauh lebih dalam. Masyarakat umum akan segera mengenali identitas sebagai orang Kristen jika simbol salib ini dipergunakan oleh seseorang. Salib, yang merujuk pada pengorbanan Kristus bukan hanya menjadi simbol penting dalam Kekristenan. Di dalam lambang salib-lah kita senantiasa diingatkan tentang realita kasih, kuasa dan karunia Allah sehingga kita dapat menjalani setiap langkah kehidupan kita sebagai orang yang berkemenangan.

Tentunya kita bertanya bagaimana kita dapat berkemenangan di tengah berbagai kesulitan hidup? Itulah mengapa Yesus mengatakan “pikul salib”, bukan untuk membebani atau menekan kehidupan kita, tetapi justru untuk menunjukkan pada kita ada kemenangan pada salib, ada kasih, kuasa dan karunia Allah yang tercurah bagi kita. Hal ini mengingatkan kita bahwa Tuhan Yesus telah mengalahkan iblis pada salib. Memang iblis masih mencari-cari kesempatan untuk menjatuhkan dan menjerat anak-anak Tuhan tetapi ia tidak lagi punya kuasa sehingga kita dapat melawannya seperti Yesus melawannya di atas salib dan menang. Perlawanan yang Yesus berikan terhadap si jahat bukan dengan kekerasan tetapi justru dengan kasih yang besar, kasih yang rela berkorban untuk menyelamatkan manusia yang Ia kasihi. Dalam berbagai bentuk serangan iblis dalam hidup kita, kita melawannya dengan kasih yang besar kepada Tuhan, kepada sesama, kepada diri sendiri dan kepada semua ciptaan.

Kemenangan yang Yesus nyatakan melalui salib juga menghadirkan suatu kehidupan baru bagi kita. Bukan hanya melayakkan kita dipersekutukan kembali dengan Allah melainkan juga menjadikan hidup kita sebagai tempat Allah hadir dan bertahta. Dengan demikian, maka ketika kita memikul salib, kita juga terus memgingat bahwa Allah hadir bersama-sama kita, Dia yang Mahakuasa, menyertai kita. Seperti lagu Sekolah Minggu “Jika Allah di pihak kita, siapakah lawan kita? Tidak ada”. Setialah memikul salib yang Kristus percayakan. Charles Spurgeon mengatakan “There are no crown-wearer in heaven who were not cross-bearer here below.” Tuhan memampukan selalu.

Forum Pendeta


Minggu, 20 Juni 2021

GKI PENGADILAN: RUMAH KITA BERSAMA

Apakah sebagian dari kita masih mengingat ungkapan di atas? Ya, “GKI Pengadilan: Rumah Kita Bersama” merupakan tema syukur ulang tahun GKI Pengadilan yang ke-49 pada tahun 2017 yang lalu. Kita semua menghayati bahwa, GKI Pengadilan adalah rumah kita, tempat kita tinggal, bertumbuh, berinteraksi dan saling membangun satu sama lain. Bukan sebuah kebetulan ketika Tuhan menempatkan kita di Bogor dan menghantarkan langkah kaki kita untuk bersekutu bersama, memiliki keluarga baru di dalam Tuhan melalui GKI Pengadilan. Tentunya, karena kita dihimpunkan dari berbagai latar belakang yang berbeda, mungkin gereja yang berbeda, dan banyak lagi perbedaan lainnya, maka diperlukan sikap merendahkan diri untuk bisa melangkah bersama. Sebagai rumah, GKI Pengadilan memiliki keunikan juga ada keterbatasan tetapi yang lebih penting adalah kesatuan hati kita sebagai bagian di dalamnya.

Untuk itu marilah kita merenungkan firman Tuhan dari 1 Petrus 3:8-12. Ayat 10a menggelitik kita dengan pertanyaan retoris (pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban karena kita sudah tahu jawabannya) mengenai siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik. Tentu semua orang ingin mengalaminya. Mencintai hidup. Apa yang ada dari sikap mencintai? Ingin memberikan yang terbaik, punya semangat, kasih yang terpancar dari setiap hal yang ia kerjakan. Dan kalau mencintai ini dikenakan pada hidup maka hal ini akan menunjukkan hidup yang selalu memberikan yang terbaik dengan semangat dan kasih yang senantiasa terpancar. Apalagi pernyataan ayat 10a ini dilanjutkan dengan “melihat hari-hari baik”. Di dalam Tuhan kita percaya, semua hari adalah baik, namun sebagai manusia, ketika kita berhadapan dengan persoalan, pergumulan dan ketidakcocokan, maka akan sangat sulit dalam kemanusiaan kita melihat/menghayati hari yang baik yang Tuhan sediakan buat perjalanan kehidupan kita. Tetapi sesulit apapun itu, hidup kita adalah berjalan dalam kekuatan Tuhan yang akan memampukan selalu. Inilah yang membedakan kita sebagai orang percaya/anak-anak Tuhan dengan dunia.

Di manapun Tuhan menempatkan kita, jika saat ini dalam rumah bersama di GKI Pengadilan, maka Ia juga merancangkan kehidupan kita sejak semula dengan tujuan (ayat 9) yaitu “diberkati/terima/memperoleh berkat Tuhan untuk menjadi berkat/memberkati bagi sesama”. Untuk itu, sebagai anggota jemaat dan simpatisan perlu ada sikap-sikap yang kita kembangkan:

  1. Sikap dalam kehidupan kebersamaan (ay. 8-9)
    Penulis Surat 1 Petrus mengawali ayat kita dengan perkataan “Dan akhirnya, hendaklah..”. ini menunjukkan keterkaitan dengan pembahasan di perikop/bagian sebelumnya. Hal yang sangat praktis tetapi memiliki dampak yang mendalam dalam hidup bersama: seia sekata,seperasaan, mengasihi,penyayang, rendah hati, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.” Ada satu kata dalam bahasa Inggris yang bisa merangkumkan hal-hal yang disebutkan tadi, yaitu compassion. Dalam bahasa Indonesia, menggunakan kata belas kasih. Hal ini bukan sekedar perasaan di dalam diri. Belas kasih berarti kesediaan memberi diri secara penuh untuk hadir, dan membangun kehidupan bersama. Teladan bagi kita untuk melakukan belas kasih adalah dalam perjalanan pelayanan Yesus. Dan jika kita mengatakan bahwa kita adalah muridNya maka bagian kitalah untuk mempraktekkan belas kasih tersebut.

  2. Sikap di dalam diri (ay. 10b-11)
    Oleh karena itu, Tuhan meminta kita untuk mengatur dan menempatkan diri. Kata-kata kerja seperti “menjaga, menjauhi, melakukan, mencari, mendapatkan” menjadi penekanan untuk kita sungguh-sungguh mengupayakan kehidupan kita berkenan di hadapan Tuhan. Hal ini tentu tidak menyangkut hanya diri pribadi kita karena sikap di dalam diri akan berpengaruh ketika kita menempatkan diri di tengah-tengah orang lain. Hal esensial yang disajikan di sini adalah perdamaian. Damai terjadi bukan karena sikap orang lain/pengaruh dari luar sehingga membuat kita merasa damai. Damai justru datang dari dalam diri kita, terbentuk dari penghayatan kita akan Tuhan. Damai inilah yang kita bawa kepada dunia sekitar kita sehingga apapun situasi dan kondisi dari luar, tidak mempengaruhi/merenggut damai dalam kehidupan kita.

  3. Penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan (ay. 12)
    Tuhan senantiasa hadir, melihat setiap sisi kehidupan yang kita jalani baik secara pribadi maupun bersama dan bahkan mendengarkan suara kehidupan kita. Tetapi Tuhan juga punya standar nilai yang Ia taruhkan dalam kehidupan umatNya sehingga pernyataan di ayat 12 ini juga mengingatkan kita untuk menjalani hidup yang selalu berpadanan dengan kehendakNya dan menjalani kebenaranNya.

Dalam pergumulan yang kita hadapi, mari kita bergandengan tangan, menyatukan hati dan melangkah bersama untuk mewujudkan GKI Pengadilan sebagai rumah kita bersama. Kita membangun “rumah kita ini” dengan kasih dan menyebarkan kasih serta kedamaian melalui kehadiran kita bagi Kota Bogor.

Forum Pendeta


Minggu, 27 Juni 2021

KETIKA MURID KRISTUS MENDERITA

Menjadi murid Kristus tidak membuat kita imun dari penderitaan. Pernyataan tersebut pasti sudah pernah kita dengar. Dan tentu saja ketika saat ini, dengan setia kita masih menjadi muridNya, kita tentu mengerti dan menghayati pernyataan tersebut. Namun, bukankah dalam segala kegalauan, ketika penderitaan bertubi-tubi dan situasi tidak menentu, kita pun bertanya-tanya kepada Tuhan, Sang Pemilik Kehidupan. Ada begitu banyak yang menjadi pertanyaan kita, dari mulai apakah yang menjadi rencanaNya, berapa lama kita harus menjalani, sampai mempertanyakan apakah Tuhan tetap mengasihi dan berada di pihak kita.

Saat ini, kita akan belajar dari Ayub, tokoh yang setia dalam iman. Kesediaannya untuk melakukan perintah Tuhan, memperhatikan dan mempelajari kehidupannya sehingga tetap berkenan di hadapan Tuhan tidak membuat dirinya imun terhadap penderitaan. Bahkan, di pasal 1 dari kitab Ayub, Allah mengizinkan Ayub untuk berada dalam derita. Rangkaian peristiwa yang ia alami, tuduhan dari orang-orang yang selama ini dianggap dekat dengannya, membuat polemik yang sukar dalam derita Ayub. Mari kita perhatikan Ayub pasal 19. Tentu kita tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan penderitaan Ayub. Kisah dalam pasal 19 ini ada di tengah-tengah beratnya pergumulan hidup dengan segala kesusahannya yang membuahkan kesusahan lainnya (ay 7-12). Bukan hanya apa yang ia alami dalam dirinya tetapi dari sekitarnya. Ayub 19:1-6, 13-20 menunjukkan teman-teman dan orang sekitarnya yang malah menambah kesusahan hidup Ayub. Bahkan sampai sahabat-sahabat Ayub yang bertindak seolah-olah mereka mewakili Allah menuntut pertobatan Ayub (Ayub 19:21-22).

Ayub membawa kita menapaki setiap anak tangga penderitaannya hingga ia tiba pada pertanyaan yang terpenting, yaitu: apakah Tuhan di pihak saya? Di tengah masalah hidup yang mendera bertubi-tubi, dimana Tuhan? Apakah Tuhan masih peduli kepada Ayub? Setelah melalui semua anak tangga penderitaan ini, Ayub tiba pada pernyataan imannya: apapun yang terjadi, Tuhan ada di pihak Ayub (Ayub 19:23-27). Kenyataannya, memang kehidupan tidak seindah yang diinginkan dan dibayangkan. Walaupun kehidupan Ayub hancur berkeping-keping, Ayub memilih beriman kepada Tuhan yaitu, suatu saat nanti pada akhirnya, matanya sendiri akan menyaksikan Tuhan yang membenarkan dia. Ayat 25-27 dengan sangat berani menyodorkan kepada kita pernyataan iman Ayub di puncak penderitaannya “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikanNya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.”

Posisi penderitaan Ayub, pertanyaan dan pemberontakan dalam dirinya mungkin menjadi bagian yang bergejolak dalam diri kita pada saat ini. Di tengah situasi pandemi Covid-19, virus yang dapat bermutasi begitu cepat, kita mengalami sebagai manusia yang betul-betul terbatas. Kita tidak mampu mengerti maksud Tuhan mengizinkan kita mengalami keadaan ini. Di jurang penderitaannya yang terdalam, Ayub memilih tidak berhenti dan menyerah. Pernyataan imannya yang membuat dia mau terus berjalan dan berproses sampai dia mengalami pemulihan dan pembaruan hidup dari Tuhan. Saudara sekalian, tetaplah teguh dalam penderitaan yang harus kita jalani ini, tetaplah setia menjaga kesehatan dan mematuhi protokol kesehatan. Sebagai murid Kristus yang setia dan berjuang dalam segala penderitaan yang Ia izinkan terjadi, maka kita belajar dari sikap iman Ayub, kitapun akan menyaksikan Tuhan, mengalami Tuhan nyata dalam perjalanan kehidupan kita. Kasih dan kuasaNya memampukan kita selalu.

Forum Pendeta