ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 3 Oktober 2021

KELUARGA: KOMUNITAS CINTA KASIH

Bulan Oktober, bagi kebanyakan jemaat GKI identik dengan Bulan Keluarga. Tema ibadah, lagu pujian dan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan keluarga dikemas dan dirancang sedemikian rupa. Ini semua mengingatkan semua orang betapa pentingnya keluarga dalam kehidupan mereka. Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan manusia tidak terbentuk begitu saja. Allah membentuk keluarga sebagai komunitas yang didasarkan pada kesetaraan, cinta kasih, rasa saling percaya, serta sikap saling memberi, menerima dan menghargai. Keluarga menjadi tempat pertama dan terutama dimana setiap individu dapat merasakan penerimaan, dicintai dan mencintai. Keluarga membentuk kepercayaan diri dan penerimaan diri dalam setiap anggotanya. Juga menjadi tempat belajar akan banyak hal yang akan mempengaruhi relasi dengan sesama.

Pada saat yang sama keluarga sebagai komunitas cinta kasih juga memiliki banyak  kerapuhan. Kerapuhan yang akan melahirkan berbagai tindakan dan sikap serta perbuatan yang bertolak belakang dengan statusnya sebagai komunitas cinta kasih. Berbagai tindak kekerasan, pengabaian, ketidakadilan, perundungan, pelecehan seringkali terjadi di dalamnya. Bila ini terjadi maka keluarga tidak menjadi tempat dimana setiap anggota dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal. Sebaliknya, justru akan menghadirkan individu-individu yang mengalami kesulitan bertumbuh dan menjadi dewasa.

Oleh karena itu, setiap anggota keluarga, terutama, suami istri dan orang tua harus bisa menjadi contoh dan teladan dalam menghidupi komunitas cinta kasih di tengah keluarga. Relasi yang mewarnai hubungan suami istri akan mempengaruhi relasi orang tua anak. Ini juga yang akan mempengaruhi relasi anak dengan saudaranya dan dengan sesamanya. Harus disadari bahwa relasi suami istri dan orang tua anak seringkali diwarnai oleh ketidaksetaraan. Hal ini berawal dari kuasa yang seringkali menjadi sumber permasalahan. Siapa yang berkuasa di rumah ini? Suami? Istri? Orang tua? Tanpa adanya pengertian dan pemahaman serta kesediaan untuk saling menerima, maka perebutan kekuasaan akan sering terjadi dalam berbagai bentuk. Pada saat itulah relasi diwarnai dengan kekerasan, diskriminasi, ketidakadilan dan pengabaian. Maka tidak mengherankan bila berita di bawah ini bisa terjadi.

Tiap Jam Terjadi 50 Kasus Perceraian di Indonesia

VIVA – Angka perceraian di Tanah Air cenderung mengalami peningkatan sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan, berdasarkan catatan Perkumpulan Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia, angka itu saat ini sebanyak 1.170 kasus per hari, atau sekitar 49 hingga 50 kasus per jamnya.

“Angka perceraian memang setiap tahun meningkat. Saya ingat tiga tahun lalu 800 per hari, terus meningkat sampai periode Februari 2020, sekitar 1.170 kasus per hari, atau kalau dibagi 24 jam maka 49-50 kasus per jam yang diputus cerai,” kata Ketua GiGa Indonesia, Prof. Euis Sunarti, pada awak media di Depok, Jawa Barat, Selasa, 15 Desember 2020.

Dari angka tersebut, sebanyak 70 hingga 80 persen jumlah kasus diajukan oleh kaum hawa atau perempuan. (viva.co.id).

Pertanyaannya, apakah keluarga-keluarga Kristen yang menghayati keluarga sebagai komunitas cinta kasih juga menyumbang angka di atas? Bagaimana kita menyikapinya? Lagu tema Bulan Keluarga GKI Pengadilan tahun 2021 adalah “Ku Mulai Dari Diri Sendiri” KK 601.

Akan kumulai dari diriku melakukan sikap yang benar
Biarpun kecil dan sederhana, kuasa Tuhan membuat jadi besar
Kumulai dari keluargaku menjadi pelaku firman-Mu
S’lalu mendengar tuntunan Tuhan, berserah pada rencana kasih-Mu
Kadang-kadang lain jawaban Tuhan atas doaku
Kupegang teguh, Tuhanku memberikan yang terbaik
Kumulai dari keluargaku, hidup memancarkan kasih-Mu
Walau ku lemah dan tidak layak, kuasa Tuhan menguatkan diriku

Hal ini penting untuk disadari dan dihidupi oleh setiap anggota keluarga. Tidak boleh menyalahkan dan menuntut orang lain. Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Perubahan hanya akan terjadi bila setiap individu memiliki kesadaran akan hal ini. Kita adalah individu-individu yang rapuh dan memiliki berbagai keterbatasan, tetapi bila rahmat Tuhan kita yakini dapat memampukan kita yang rapuh dan lemah, bukan hal yang mustahil keluarga kita akan menjadi komunitas cinta kasih. Tuhan Yesus memberkati. Amin.


Minggu, 10 Oktober 2021

PEMULIHAN DALAM KEHIDUPAN

Pada saat ini seluruh bangsa di dunia sedang memasuki masa pemulihan dari krisis pandemi Covid-19. Berbagai bidang kehidupan mulai menggeliat dan dibuka kembali. Pemulihan dalam bidang ekonomi yang menjadi penanda pulihnya kehidupan mulai bergulir. Hal ini ditunjukkan mulai dibukanya kembali tempat-tempat untuk umum. Misalnya mall, bioskop, sekolah, tempat wisata, hotel, restoran. Semua itu dibarengi dengan protokol kesehatan dan pembatasan kehadiran. Pulihnya berbagai sektor kehidupan ini tentu berdampak juga bagi kehidupan keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil dari kehidupan bernegara telah menjadi tempat dimana setiap anggotanya menjalani proses yang panjang selama pandemi.

Pada saat yang sama pandemi telah menjadi batu uji bagi setiap anggota keluarga untuk menjalani kehidupan sebagai bagian dari sebuah persekutuan yang saling mendukung, menopang dan menghargai. Pandemi tidak hanya mengancam atau menebarkan teror yang menakutkan serta memporak-porandakan kehidupan. Ia juga, pada saat yang sama membuat setiap anggota keluarga menyadari pentingnya relasi yang indah dan kuat satu dengan yang lain. Lagu yang diciptakan Pdt. Juswantori Ichwan pada tahun 2019 mengingatkan bahwa cinta kasih Tuhan Yesus yang dihidupi bersama akan memulihkan setiap anggota keluarga. Luka dan duka bukanlah alasan untuk menyerah dan berhenti berjuang. Luka dan duka menjadi kesempatan bagi kita untuk saling memulihkan. Seperti syair lagu berikut ini:

Tuhan t’lah tempatkan kita dalam keluarga
yang bersahaja dan tidak sempurna.
Di tengah zaman yang rawan dan penuh tantangan,
Tuhan panggil kita nyatakan cintaNya.
Dengan saling memahami dan saling menghargai
kita berbagi hidup di keluarga.
Mari saling menerima dan saling mengampuni
agar cinta Yesus nyata dalam kita.

Kadang awan g’lap redupkan hidup keluarga,
saat yang kita kasihi berubah.
Kita beriman di tengah luka dan duka,
percaya kasihNya mampu memulihkan.
Dengan saling memahami dan saling menghargai
kita berbagi hidup di keluarga.
Mari saling menerima dan saling mengampuni
agar cinta Yesus nyata dalam kita.

Jadikan keluargamu sorga di dunia,
dimana kasih dan damai melimpah.
Yang kurang dan lemah dit’rima, tak dipandang hina.
Yang gagal didekap, agar tak menyerah.
Dengan saling memahami dan saling menghargai
kita berbagi hidup di keluarga.
Mari saling menerima dan saling mengampuni
agar cinta Yesus nyata dalam kita.

Mari kita merangkul dan merengkuh luka dan duka dalam kasih Kristus. Saling menerima mereka yang lemah dan terbatas. Mari kita pulihkan semuanya dalam kasih Kristus dan menjadikan keluarga kita sebagai sorga di dunia.

Forum Pendeta


Minggu, 17 Oktober 2021

JADIKAN KELUARGAMU SORGA DI DUNIA

Sebuah survey yang diselenggarakan oleh organisasi Relationship Australia menunjukkan beragam alasan dan tujuan yang membuat seseorang memutuskan untuk menikah. Berikut ini sejumlah tujuan mengapa seseorang menikah: #cinta, #supaya ada yang menemani dalam menjalani kehidupan, #menyatakan komitmen seumur hidup, #memberikan keamanan bagi anak-anak, #membuat komitmen publik pada satu sama lain, #mendapatkan status legal dan keamanan finansial, #memenuhi ajaran agama.

Di sisi lain, tidak sedikit orang yang menolak untuk menikah. Berdasarkan survey yang sama, hal ini disebabkan karena beberapa hal, seperti: #pengalaman buruk dalam hubungan sebelumnya, #tidak ingin berkomitmen, #memandang bahwa untuk berkomitmen tidak memerlukan pernikahan, #merasa takut gagal berumah tangga, #menikmati hidup sebagai lajang. Lalu bagaimana kita harus menghidupi semuanya, baik yang ingin membentuk keluarga maupun yang tidak ingin berkeluarga? Bagi yang ingin berkeluarga, gereja melengkapi mereka dengan Bina Pranikah, Percakapan Gerejawi dan pelayanan Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan. Bagi yang tidak ingin menikah, gereja melakukan pendampingan dan pembinaan, sekaligus memiliki tanggung jawab untuk mengubah wajah keluarga, agar semakin sedikit pribadi-pribadi yang mengalami trauma dalam hidup berkeluarga.

Tahun ini tema Bulan Keluarga di GKI Pengadilan adalah “Keluargaku, Sekolah Karakterku”. Tujuan dari tema ini adalah untuk menyadarkan setiap keluarga akan fungsi yang diembannya. Juga panggilan dan tanggung jawab yang harus diwujudkan sehingga setiap anggota keluarga merasakan dan menikmati proses pembentukan karakter yang terjadi dalam hidupnya. Sebagai sekolah, apakah hanya anak saja yang belajar? Tentu saja tidak! Semua anggota keluarga adalah guru sekaligus murid. Orang tua mengajar anak, tetapi juga belajar dari anak. Anak mendengarkan orang tua, tetapi suara anak juga didengarkan orang tua.

Bagaimana agar semua itu dapat dipraktekkan dan setiap anggota dapat bertumbuh secara maksimal? Apa yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Injil Markus 10: 43; “Barangsiapa ingin menjadi besar diantara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” dapat menjadi dasar dalam relasi berkeluarga. Pelayanan pertama-tama harus dipraktekkan di dalam keluarga. Saat pelayanan dihayati dan dipraktekkan di tengan keluarga, maka setiap anggota akan merasakan bagaimana hidup sebagai pelayan, yang mendahulukan satu dengan yang lain.

Bila sekolah karakter ini terselenggara dengan baik, maka keluarga akan menjadi sorga bagi setiap anggotanya. Dan bila sorga itu dirasakan dan dirayakan oleh setiap angggota, maka kehadirannya dimanapun akan memberi dampak yang indah. Keluarga Kristen, di mana Kristus adalah tamu yang tetap dan juga Imam Besar, maka bukan hal yang mustahil untuk menjadikan setiap keluarga sebagai sorga di dunia.

Forum Pendeta


Minggu, 24 Oktober 2021

“KELUARGAKU, SEKOLAH KARAKTERKU”

“Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran”
(1 Timotius 3:15)

Setiap orang tua akan mencarikan tempat pendidikan yang bermutu dan baik. Bahkan kalau bisa yang terbaik. Apakah untuk itu orang tua harus membayar dengan harga mahal? Atau harus mengirim anaknya ke tempat yang jauh dan terpisah dengan orang tua? Itu semua bukan masalah. Lihatlah setiap tahun ajaran baru, orang tua dan anak berebut kursi di sekolah atau fakultas pilihan. Ini semua dilandasi pemahaman dan keinginan, bahwa tempat di mana anak-anak ini menempuh studi akan menentukan masa depan mereka. Paling tidak, tempat di mana anak-anak itu menempuh pendidikan akan mempengaruhi masa depan mereka. Tidaklah mengherankan apabila sekolah atau perguruan tinggi yang berkualitas dan bermutu senantiasa menjadi tempat favorit atau dicari bahkan menjadi “rebutan” bagi banyak siswa atau mahasiswa.

Apabila sekolah atau universitas kita pandang mempengaruhi masa depan anak-anak kita, dan oleh karena itu kita berupaya mencari yang terbaik, apakah kita berpikir yang sama untuk keluarga? Keluarga di mana anak-anak kita lahir, tumbuh dan berkembang, apakah sudah menjadi tempat yang terbaik dan terjamin mutunya? Apakah setiap orang yang terlibat di dalamnya telah bertanggung jawab sedemikian rupa? Apakah anak-anak kita telah mendapatkan tempat untuk tumbuh kembangnya dengan sempurna di tengah keluarga yang Tuhan Allah bentuk? Bila hal ini belum terjadi, maka kita memiliki pekerjaan rumah yang besar. Rumah tangga atau keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana anak-anak kita bersekolah atau menempuh pendidikan. Orang tua dan saudara adalah guru pertama dan utama bagi anak-anak untuk menumbuhkan dan membentuk karakternya, masa depannya. Banyak orang tua yang kaget dan tidak bisa terima, saat anak-anaknya mengalami permasalahan di sekolah. Orang tua tidak jarang menyalahkan sekolah, guru, teman-teman anaknya, saat mendapati anak-anaknya mengalami permasalahan. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah tempat utama dan pertama di mana anak-anak kita menumbuhkan karakternya. Lingkungan sekolah dan pergaulan akan menjadi tempat di mana anak kita mengembangkan karakternya.

Timotius masih muda ketika ia menjadi pemimpin jemaat. Anak rohani dari rasul Paulus menjadi pemimpin yang dapat diandalkan. Paulus bertemu dengannya di Listra (Kis.16:1). Lahir di tengah keluarga yang berbeda latar belakang, ibunya Yahudi dan ayahnya Yunani. Sepertinya mereka juga memiliki keyakinan yang berbeda. Timotius dikenal baik oleh saudara-saudaranya di Listra (Kis.16:2). Timotius juga dikenal mewarisi iman dan pengajaran dari neneknya Louis dan ibunya Eunike (2 Tim.1:5). Timotius menyertai perjalanan Paulus memberitakan Injil. Ia juga sering diutus kepada jemaat-jemaat sebagai utusan Paulus (1 Kor. 4:17). Paulus juga menyertakan salam dari Timotius saat ia mengirim surat kepada jemaat-jemaat (2 Kor.1:1, Fil. 1:1, Kol.1:1, 1 Tes. 1:1, Fil. 1:1). Hal ini mengajarkan bahwa keluarga dimana Timotius tumbuh dan di didik adalah tempat yang sangat mempengaruhi masa depannya. Ia tumbuh dengan karakter yang terbentuk di tengah keluarga. Sebelum berjumpa dengan Paulus, ia sudah dikenal sebagai pribadi yang baik.
Di bawah ini adalah sebuah puisi yang melukiskan bahwa karakter anak tumbuh dan berkembang dari bagaimana cara kita mendidik mereka.

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Cuplikan dari “Children Learn What They Live” – Dorothy Law Nolte

Apakah saat ini, kita masih mempunyai kesempatan untuk menumbuhkan karakter yang benar bagi setiap anggota keluarga? Tidak ada kata terlambat, mari kita mulai dari diri sendiri, kita mulai dari keluarga kita. Keluarga yang Tuhan Yesus teguhkan, berkati dan satukan.

Forum Pendeta


Minggu, 31 Oktober 2021

REFORMASI DALAM HIDUP

Tanggal 31 Oktober dikenal, diperingati dan dirayakan oleh gereja-gereja Protestan sebagai hari Reformasi. Reformasi yang diawali oleh Martin Luther, seorang biarawan yang menempelkan/memakukan 95 dalil di pintu masuk gereja-istana di Wittenberg, Jerman. Tindakan Martin Luther ini dipicu oleh kegiatan penjualan surat pengampunan siksa dan dosa (indulgensia). Luther mengkritik keras tindakan yang semula ditujukan kepada Margrave Albertus Brandenburg, uskup Mainz dan Magdeburg. Gereja juga memiliki kekuasaan yang sangat besar dan gereja turut serta dalam urusan politik sehingga dinilai menyimpang dari tujuan sebenarnya. Latar belakang inilah yang membuat beberapa tokoh dalam gereja melakukan reformasi.

Reformasi berarti “membentuk kembali” (“re” berarti kembali; “form” berarti bentuk). Reformasi gereja berarti membentuk gereja kembali baik paham maupun praktiknya agar sesuai dengan makna dan tujuan gereja yang sesungguhnya. Dari sini kita memahami bahwa reformasi gereja bukan hanya terkait dengan gerakan Martin Luther dan tokoh-tokoh reformasi lainnya, tetapi juga dapat dikaitkan dengan tokoh-tokoh sebelum dan sesudahnya. Jadi reformasi terus dan terus terjadi dalam kehidupan bergereja sampai saat ini. Seperti semboyan reformasi: “Eclesia reformata semper reformanda est (Gereja yang diperbaharui adalah gereja yang terus menerus mau memperbaharui diri).

Martin Luther menemukan dasar dari reformasi yang ia lakukan dari Kitab Suci yaitu Roma 1:16-17, sehingga “membentuk kembali” gereja yang pada waktu itu kehilangan arah dan bentuknya. Hal yang sama juga bisa lakukan saat ini, baik sebagai pribadi, keluarga, gereja bahkan negara. Reformasi yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1998 juga dengan tujuan untuk membawa negara pada arah dan bentuk yang seharusnya. Reformasi birokrasi misalnya, juga bertujuan untuk mengembalikan arah dan tujuan dari birokrasi yang benar yaitu untuk mengelola pemerintah dan melayani rakyat secara efektif. Dalam kesadaran yang sama, setiap pribadi, gereja dan keluarga juga bisa mereformasi diri setiap saat dengan dasar Firman Allah.

Bukankah Allah menghendaki setiap orang, keluarga dan gereja hidup berdasarkan firman-Nya? Jika ini terjadi maka pribadi, keluarga dan gereja juga negara akan menemukan bentuk dan arah dari keberadaannya. Setiap saat kita bisa menggunakan Kitab Suci sebagai pedoman dan petunjuk arah dan dasar dari setiap kehidupan yang kita jalani. Bila ini terjadi, dan setiap orang, keluarga, gereja dan negara hidup seperti yang Allah kehendaki, seperti tujuan awal Allah membentuk dan menghadirkannya di dunia, maka proses keselamatan dan pemulihan dari Allah berjalan pada jalurnya.

Apa yang kita lakukan ketika kita sadar bahwa kita salah arah dan tersesat? Kita akan berusaha menemukan tempat atau jalan untuk putar balik. Putar balik yang akan membawa kita kembali kearah yang benar. Ini mengingatkan kisah anak bungsu yang pulang kembali kepada Bapanya. Jangan takut untuk membentuk kembali hidup saudara dan keluarga kita. Pandemi Covid-19 bisa kita jadikan momentum untuk melakukan reformasi dalam kehidupan pribadi, keluarga dan gereja. Mari kita tempatkan Kitab Suci sebagai dasar dari kehidupan iman kita, sehingga setiap pribadi, keluarga dan gereja akan senantiasa hidup dalam arah dan bentuk yang Tuhan Allah kehendaki. Mari kita senantiasa membuka diri terhadap kebenaran firman Allah. Firman Allah yang senantiasa membentuk karakter dan menuntun langkah kehidupan kita. Seperti yang dikatakan pemazmur: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku”. Mari berjalan dalam terang Firman Allah, dan temukan diri Saudara dalam arah dan bentuk yang Allah kehendaki. Jadikan Firman Allah sebagai dasar dan terang dalam kehidupan keluarga Saudara, dan temukan keluarga Saudara menjadi tempat yang indah bagi semuanya. Bersediakah Saudara mereformasi diri setiap saat dalam terang Firman Tuhan?

Selamat Hari Reformasi
Selamat Ulang Tahun GKI Pengadilan ke-53
Selamat Bulan Keluarga