ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 6 September 2020

PEPERANGAN ROHANI

“Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus.” (1 Korintus 3:1)

Pertumbuhan dan perubahan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring dengan pertumbuhannya secara fisik, maka berbagai perubahan juga menyertainya. Saat ini semua manusia akan terbiasa dengan perubahan dan penambahan peran dalam kehidupannya. Tanggung jawab bukan lagi hal yang berat dan terasa dipaksakan tetapi menjadi hal biasa. Semua hal itu yang seringkali menjadi tolok ukur apakah mereka sudah dewasa atau belum.

Proses menjadi dewasa ternyata bukan hanya dialami oleh manusia secara fisik. Manusia juga harus tumbuh menjadi dewasa secara rohani. Apa yang diungkapkan Paulus dalam 1 Korintus 3:1 menunjukkan bagaimana ia melihat jemaat di Korintus belum dewasa di dalam Kristus. Hal ini membuat mereka belum mampu menerima ajaran-ajaran yang keras. Manusia rohani yang mereka hidupi belum bertumbuh dengan benar, sehingga Paulus masih berbicara dengan manusia duniawi. Contohnya adalah mereka masih berselisih. Mereka masih terpecah-pecah dalam kelompok- kelompok yang saling bersaing. Padahal mereka satu di dalam Kristus. Bagaimana agar orang percaya bertumbuh secara rohani?

Sebagai murid Kristus orang percaya senantiasa mengalami peperangan rohani. Perang rohani yang membawa mereka berhadapan dengan si jahat yang tidak pernah berhenti berusaha menjatuhkan orang beriman. Perang yang juga dihadapi oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus bisa mengalahkan si jahat dan meraih kemenangan dalam peperangan ini. Orang beriman harus senantiasa belajar dari Tuhan Yesus bagaimana menghadapi dan memenangkan peperangan rohani ini.

Pencobaan yang dialami Yesus (Injil Matius 4:1-11) bukanlah prakarsa dari iblis tetapi dari Allah. Ia dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai iblis (ay. 1). Ini mengingatkan kita akan umat Israel di padang gurun ketika TUHAN Allah mencobai mereka: “untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak” (Ul. 8:2). Allah telah memilih dan mengasihi mereka (Ul.7:6-7), dan mengajari mereka: “seperti seorang ayah mengajari anaknya” (Ul.8:5). Demikian juga Roh memimpin Yesus, Anak Allah, ke padang gurun agar Anak menunjukkan kesetiaan-Nya terhadap Bapa. Bagaimana Yesus menghadapi peperangan rohani ini?

  1. Iblis menyarankan agar Anak Allah yang lapar itu segera menghilangkan rasa laparnya dengan membuat mujizat: batu menjadi roti. Yesus menjawab: “bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Ul. 18:3). Jawaban Yesus menunjukkan bahwa yang paling utama bagi Anak Allah bukanlah mujizat, melainkan mendengarkan dan menaati firman Bapa. Apakah Saudara memimiliki keberanian untuk mendengarkan dan menaati Firman Allah?
  2. Iblis membawa Yesus ke Kota Suci dan menempatkan-Nya di puncak bait Allah (ay.5). Yesus dibujuk oleh iblis untuk menjatuhkan diri-Nya ke bawah karena sebagai Anak Allah, Ia pasti dilindungi malaikat-malaikat Allah (Mazmur 91:11-12). Yesus sebagai Anak Allah tidak mencobai Allah dengan menuntut perlindungan istimewa atau keajaiban apapun dari sorga. Jawaban-Nya tegas:” Ada tertulis : janganlah engkau mencobai Tuhan Allahmu” (Mat. 4:7). Seperti Ia menolak tanda dari sorga yang diminta orang Farisi dan Saduki yang mencobai Dia (Mat.16:1-4), dan juga di Getsemani tidak akan meminta dua belas pasukan malaikat dari Bapa (Mat. 26:53), dan juga di Golgota tidak turun dari salib untuk membuktikan diri-Nya sebagai Anak Allah (Mat. 27:40). Ia berbeda dengan Israel yang mencobai Allah di Masa (Ul. 6:16). Yesus bukan Anak Allah yang manja yang mencobai Bapa tetapi Anak yang taat kepada Firman-Nya. Bagaimana dengan kita apakah kita anak Allah yang manja, yang merasa harus diperlakukan secara istimewa dan penuh keajaiban? Atau yang berani belajar taat pada firman-Nya?
  3. Yesus tidak alergi dengan kekuasaan tetapi Ia tidak akan memperolehnya dengan menyembah iblis. Atau menghalalkan kejahatan, tetapi Ia menempuh jalan pelayanan, penderitaan dan kematian dalam ketaatan kepada Bapa. Jalan itu ditunjukannya dalam jawaban kepada iblis: “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti (Mat.4:10/Ul. 6:13). Bila Petrus nanti ingin membelokkan Yesus dari jalan itu, ia mendapat jawaban yang sama seperti iblis: “Enyahlah iblis!” (Mat. 16:23). Apakah semuanya selesai? Belum! Lukas mencatat bahwa iblis mundur dan menunggu waktu yang baik (Luk.4:13). Peperangan rohani tidak akan pernah berakhir.

Kita adalah murid Kristus, sebagaimana Kristus berperang melawan iblis, kita juga melakukannya. Itu semua akan membentuk kita sebagai manusia rohani. Manusia rohani yang memiliki pemahaman yang benar tentang firman Allah dan melakukannya. Manusia rohani yang berani berkata tidak dengan tegas dan jelas terhadap segala kejahatan. Manusia rohani yang bertumbuh semakin kuat, walupun fisik semakin lemah (tua). Selamat bertumbuh menjadi murid Kristus.

Forum Pendeta


Minggu, 13 September 2020

KUPERLUKAN JURU SELAMAT

Kuperlukan Juruslamat, agar jangan ‘ku sesat
S’lalu harus kurasakan bahwa Tuhanku dekat
Kuperlukan Jurus’lamat, kar’na imanku lemah
Hiburannya menguatkan, sungguh tiada bandingnya
Kuperlukan Jurus’lamat dalam langkah juangku;
Siang malam suka duka dengan Tuhan kutempuh
Kuperlukan Jurus’lamat agar ‘ku dibimbingnya
Melintasi arus Yordan ke Neg’ri Bahagia.
Refrain
Maka jiwaku tenang, takkan takut dan enggan:
Bila Tuhanku membimbing, ‘ku di malam pun tentram.

Lagu yang sekarang ada di KJ 402 dengan judul “Kuperlukan Jurus’lamat” ini diciptakan oleh Fanny Jane Crosby yang mengalami kebutaan sejak kecil, karena salah pengobatan. Beberapa bulan kemudian ayahnya juga meninggal. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pada usia 15 tahun ia baru bisa sekolah setelah ibunya mengumpulkan cukup uang untuk membayar sekolahnya. Sekolah khusus untuk anak-anak yang mengalami kebutaan. Pada saat ibunya bekerja ia dititipkan pada neneknya. Sang nenek mengajar Fanny dengan sabar cara berdoa dan membaca Alkitab. Ia memiliki kelebihan untuk menghafal yang luar biasa. Ia bisa hafal seluruh Kitab Kejadian, Keluaran, Bilangan, Imamat, Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Amsal dan pasal-pasal dalam kitab Mazmur. Selama hidupnya ia telah melahirkan hampir 8.000 lagu dan 3 buku kumpulan puisi. Ia menikah dengan Alexander Van Alstine. Anak mereka meninggal satu hari setelah anaknya lahir. Peristiwa inilah yang menginspirasi lahirnya lagu: “S’lamat di Tangan Yesus (KJ 388: “Safe in The Arm of Jesus ” lagu-lagu yang ia ciptakan terinspirasi dari berbagai peristiwa dalam hidupnya. (Kisah dibalik sebuah lagu Moment With Jesus).

Pandemi Covid-19 telah menghadirkan pergulatan dan pergumulan dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali orang beriman. Bagaimana kita menyikapi semua ini? apakah kita memiliki cukup kekuatan untuk menghadapinya? Bagaimana dengan firman Tuhan yang kita baca dan renungkan, apakah itu memberi kekuatan dan menginspirasi Saudara untuk berjuang dan menyikapi situasi yang ada dengan benar? Pengalaman Fanny Jane Crosby memberikan pelajaran bagi kita bahwa hal-hal yang indah bisa lahir dari pergulatan dan pergumulan hidup yang tidak mudah. Seperti yang dikatakan Paulus: “Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Mari kita temukan makna dibalik setiap peristiwa yang Tuhan Yesus ijinkan terjadi dalam kehidupan kita.

Forum Pendeta


Minggu, 20 September 2020

MERAYAKAN KETERBATASAN

“Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.”
(1 Timotius 6:8)

Pemerintah DKI Jakarta kembali memberlakukan PSBB per 14 September 2020. Sikap ini diambil karena melonjaknya kasus Covid-19 yang terjadi di ibu kota negara, DKI Jakarta. PSBB ini dikuti dengan 8 aturan ketat yang mencakup beberapa sektor kehidupan bermasyarakat. Beberapa waktu sebelumnya pemerintah kota Bogor sudah lebih dulu menyikapi zona merah yang kembali mewarnai Kota Bogor dengan menerapkan PSBB. Berbagai peraturan termasuk pembatasan jam malam diterapkan di kota ini untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19 yang sulit dikendalikan.

Siapa yang suka dengan berbagai pembatasan ini? Banyak orang tidak suka dengan diberlakukannya PSBB. Buktinya banyak orang atau pihak yang melanggar dan tidak mematuhi peraturan yang ada. Mereka harus ditertibkan dengan dikenakan denda dan diawasi oleh pihak keamanan. Tujuan yang baik dari PSBB dan berbagai aturannya lebih banyak dirasakan sebagai hal yang membatasi daripada melindungi masyarakat. Alasan ekonomi seringkali menjadi pertimbangan mengapa mereka tidak bisa menerima semua ini. Padahal pada sisi lain banyak orang yang dipaksa atau terpaksa membatasi diri (dengan isolasi mandiri atau dirawat di rumah sakit) karena terjangkit Covid-19 yang secara ekonomi akan lebih besar biayanya. Belum lagi tekanan mental yang harus dihadapi. Tanpa adanya kesadaran diri, pembatasan hanya akan menjadi keterbatasan yang disikapi dengan cara salah.

Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Timotius 6:8; “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” Apakah ini berarti orang beriman harus hidup sebagai orang miskin yang serba terbatas. Tentu saja tidak! Hanya saja Paulus mengingatkan jangan sampai ketidakmampuan mengendalikan diri menyebabkan mereka justru binasa. Paulus melihat banyak orang jatuh dalam pencobaan dan jerat nafsu yang hampa dan mencelakakan, menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan (ay.9), termasuk ketidakmampuan membatasi diri berkata-kata sehingga banyak orang senang bersilat lidah. Semua itu hanya bisa dikendalikan bila disertai dengan kesadaran: apa tujuan dari semua itu. Pembatasan terhadap diri sendiri akan menyelamatkan orang dari banyak hal: korupsi, menghalalkan segala cara, kerakusan, kebebasan tanpa aturan, menjadi hamba uang dan kenikmatan, keputusasaan, sulit mengucap syukur.

Relasi dengan Tuhan yang sebagian diwujudkan dalam ritual ibadah seharusnya menuntun orang pada kata: cukup. Bila ini terjadi maka keterbatasan bukan lagi pembatasan terhadap kebebasan tetapi jalan kearah pengendalian diri. Ujungnya akan menghadirkan rasa syukur untuk menikmati hidup yang seringkali tidak bisa ditebak arahnya. Pandemi Covid-19 mengajarkan kepada semua manusia bagaimana merayakan hidup dalam keterbatasan dan pembatasan. Bagi orang beriman, yaitu pengikut Kristus, ini menjadi bukti dari integritas diri.

Forum Pendeta


Minggu, 27 September 2020

ADAPTASI KEBIASAAN BARU

Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Relasi yang sudah terbiasa dengan jabat tangan bahkan peluk cium dalam setiap perjumpaan kemudian diganti cukup dengan menangkupkan tangan di dada atau lambaian saja. Percakapan panjang bahkan berbisik-bisik saling berdekatan sekarang menjadi secukupnya dan jaga jarak. Belum lagi slogan yang sekarang menjadi adat baru yaitu mencuci tangan dengan sabun, memakai masker dan menjaga jarak (3M) menjadi begitu populer. Masyarakat mulai akrab dengan banyak istilah baru: Work From Home, Worship From Home, Pembelajaran Jarak Jauh, Zoom, Webinar, Pembatasan Sosial Berskala Besar, Ibadah Online dan masih banyak lagi. Hal-hal yang dulu tidak pernah dibayangkan kini menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditolak. Hampir semua bidang kehidupan tidak ada yang tidak terpengaruh dan harus berubah. Boleh dikatakan manusia harus memilih: berubah atau mati.

Bagi orang beriman, perubahan adalah sesuatu yang melekat dalam kehidupan mereka. Perubahan bukan sebuah pilihan tetapi sebuah keharusan. Pertobatan yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis diteruskan oleh Yesus tentang datangnya Kerajaan Sorga yang harus disambut oleh mereka yang siap berubah dan meninggalkan kehidupan lama dan menjalani kehidupan yang baru. Ajaran Tuhan Yesus dalam Kotbah di Bukit, umat diperkenalkan dengan identitasnya sebagai anak-anak Bapa yang harus hidup layaknya anak-anak Allah, yaitu dengan menempatkan Allah sebagai Raja dalam kehidupan mereka. Semua konsep tentang ajaran, sikap, tindakan dalam relasi dengan Allah dan sesama harus berubah. Perhatikan konsep tentang: Ucapan Bahagia, penafsiran hukum Taurat, hal memberi sedekah, hal berdoa, hal berpuasa, hal mengumpulkan harta, hal kekuatiran, hal menghakimi, hal pengabulan doa, semuanya mengharuskan adanya perubahan.

Semua yang Tuhan Yesus ajarkan adalah sesuatu yang menakjubkan. Ini yang dicatat oleh penulis Injil Matius: “Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya” (Matius 7:28). Manusia diajak untuk hidup dalam denyut cinta kasih Allah yang sejak semula menciptakan semuanya dengan sangat baik (Kej.1:31). Tuhan Yesus mengajak dan mengajar manusia untuk memperbaharui hidup, menyelaraskan diri dengan nilai-nilai Kerajaan Sorga yang indah dan mulia. Nilai-nilai yang harus mulai dibiasakan dan dihidupi sejak saat ini dan di sini. Bukan nanti setelah mati. Saat ini dan di sini, di dunia ini, kita sudah harus mewujudkan pola hidup Kerajaan Sorga, di mana Saudara dan saya menjadi warganya.

Pada akhirnya semuanya jelas dan tegas, seperti yang dinyatakan dalam Injil Matius 25, baik dalam perumpamaan tentang: gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh atau perumpamaan tentang talenta atau penghakiman terakhir. Mari kita dengan kesadaran hidup dalam adaptasi kehidupan baru untuk melawan Covid-19. Juga dalam kesadaran untuk hidup dalam pertobatan dan pola hidup Kerajaan Sorga. Hari ini pilihan kehidupan atau kematian ada di tangan Saudara.

Forum Pendeta