Minggu, 5 Juni 2022
ROH KUDUS MEMAMPUKAN KITA
Kebutuhan relasi menjadi sebuah tantangan dalam kehidupan manusia. Setiap pribadi pasti merasakan bahwa dirinya adalah manusia yang terbatas, dan membutuhkan orang lain untuk dapat membangun kehidupan menjadi lebih baik. Namun, di sisi lain, kemanusiaannya juga membuat dirinya dapat bersikap egois, tidak dapat menerima pandangan, cara dan sikap yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan sering dilihat sebagai hal yang dapat merusak atau meruntuhkan kebersamaan. Padahal, bukankah kita sama-sama menyadari bahwa kita adalah ciptaan yang unik dan berbeda, bahkan mereka yang kembar sekalipun. Dengan demikian, perbedaan merupakan suatu hal yang tidak terelakkan. Daripada berkutat dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang ada dengan orang di sekitar kita, bukankah lebih baik kita menaruh perhatian pada gambar besar atas kehidupan kita yaitu tujuan Allah, Sang Pemilik dan Pencipta kita dengan ditempatkanNya kita di tengah orang-orang yang berbeda, serta bagaimana kita meresponi gambar besar tersebut dengan komitmen yang sungguh kepadaNya.
Semakin kita mendalami gambar besar kehidupan kita, semakin kita akan menemukan bahwa kita tidak pernah ditinggalkan/dibiarkan sendirian. Hal tersebut merupakan penggenapan dari janji Tuhan Yesus untuk murid-muridNya. Tuhan Yesus menyadari betul bahwa para murid harus melanjutkan kehidupan tanpa kehadiranNya secara fisik. Dengan mengingat bahwa manusia, termasuk para murid, merupakan makhluk visual, absennya Tuhan Yesus dari mata jasmani mereka tentu sangat memberatkan, karena sosok Tuhan Yesuslah Sang Pemersatu mereka. Karena kehadiran Tuhan Yesus, mereka senantiasa dimampukan untuk bisa berjalan bersama walaupun dari berbagai latar belakang yang berbeda. Para murid disadarkan bahwa keutuhan relasi dalam Kristus bukanlah bergantung dari hal-hal fisik dan visual melainkan dalam iman dan penghayatan yang sungguh akan kasih dan kuasaNya. Oleh karena itulah, Roh Kudus dicurahkan dalam kehidupan setiap orang yang percaya sehingga senantiasa dapat mengalami keutuhan, pemeliharaan, perlindungan dan pengudusan dalam kebenaran firman. Inilah yang akan terus menopang para murid untuk sehati sepikir dalam persatuan untuk melanjutkan tugas perutusan Tuhan Yesus memberitakan tentang anugerah keselamatan dan damai sejahtera Allah di bumi.
Pada saat ini, tugas perutusan para murid menjadi bagian kehidupan kita yang tidak terpisahkan. Kesaksian mengenai Kristus dimulai dari kita menjaga dan memelihara keutuhan setiap relasi yang dipercayakan kepada kita, baik dalam hubungan keluarga, pekerjaan, jemaat Tuhan maupun masyarakat. Kita dipanggil menghayati kehadiran dan karya Roh Kudus dalam kehidupan keseharian yang akan terus memampukan kita mengerjakan kesaksian bagi kemuliaan namaNya. Dengan demikian, perjalanan kehidupan kita senantiasa berada dalam pengalaman akan pemeliharaan, perlindungan dan pengudusan yang disediakan bagi kita oleh Roh Kudus. Selamat Hari Pentakosta! Selamat mengerjakan hidup dalam bimbingan dan pimpinan Roh Kudus.
Forum Pendeta
Minggu, 12 Juni 2022
KAMU JUGA HARUS BERSAKSI
Judul tulisan ini merupakan petikan dari Injil Yohanes 15:27 yang mengatakan “Tetapi kamu juga harus bersaksi, karena kamu dari semula bersama-sama dengan Aku.” Berulang kali Yesus menekankan akan panggilan ini kepada murid-muridNya. Para murid, yang bersama dengan Yesus bukan saja hanya menikmati kebaikan, pimpinan dan perlindunganNya tetapi juga memiliki keharusan / tanggung jawab yaitu bersaksi. Dan ini menjadi pesan yang berlaku bukan saja bagi para murid ketika itu melainkan juga bagi kita, saat ini. Hidup kita telah disertai dan dipimpin dalam segala anugerah dan kebaikan Tuhan, tetapi penekanan akan tanggung jawab ini seolah tidak terasa gaungnya dalam kehidupan kita. Kita sibuk mengerjakan tanggung jawab kehidupan kita yang lain, sehingga untuk menjadi saksi bukanlah menjadi titik fokus perhatian kita.
Bersaksi bukanlah hal mudah. Ya, itu betul. Hal ini disebabkan karena bersaksi bukanlah sekedar menyampaikan kata-kata. Maya Angelou, seorang wanita Afrika-Amerika yang berprofesi sebagai penulis puisi, skenario, orator dan aktris, mengatakan “Saya telah belajar bahwa orang-orang akan melupakan apa yang anda lakukan, tetapi mereka tidak akan melupakan bagaimana anda menyentuh perasaan mereka.” Dalam kaitan dengan bersaksi, berkata-kata adalah bagian dari yang kita lakukan, dan itu bisa segera dilupakan. Jika kita betul bersyukur untuk segala anugerah dan kebaikan Tuhan serta menganggap penting tanggung jawab ini, maka kita dipanggil untuk memikirkan kesaksian yang menyentuh perasaan orang-orang di sekitar kita sehingga mereka mengenal kabar keselamatan di dalam Kristus. Bukan sekedar hati yang menggebu, tetapi kita juga harus memaksimalkan mata dan telinga kita untuk dapat menangkap konteks keberadaan kita secara keseluruhan sehingga kesaksian kita dapat menyentuh kehidupan setiappribadi. Untuk itu, ada beberapa faktor yang harus kita perhatikan, misalkan bahasa tubuh, mimik wajah, tradisi, energi emosional dan bahkan bisa jadi kebisuan. Pemazmur dalam Mazmur 19:4-5a mengingatkan kita demikian “Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi.” Kita sungguh rindu bahwa gema perkataan Injil terpencar ke seluruh dunia. Dan hal tersebut dapat kita wujudkan mulai dari kepekaan menanggapi situasi yang ada.
Ukuran dalam mengerjakan kesaksian berita Injil bukanlah apa yang kita bisa lakukan melainkan bagaimanakah situasi kehidupan yang Tuhan percayakan. Kita melatih kesadaran berbagai isyarat mengenai kebutuhan, kerinduan, pergumulan yang kita dapatkan dari orang-orang sekitar kita. Dalam situasi ini, orang di sekitar kita beserta kehidupannya adalah subjek dari kesaksian kita. Hal ini bukan bagaimana mereka mendengar kita tetapi justru bagaimana kita mendengar kehidupan mereka dan memberikan jawabnya dalam kehadiran yang mempersaksikan Injil. Dengan ukuran ini, kesaksian melalui keseluruhan keberadaan kita akan menjadi efektif dan efisien. Kuasa Allah Trinitas memampukan kita selalu.
Forum Pendeta
Minggu, 19 Juni 2022
KELEMAHAN BUKAN ALASAN
Apakah kita pernah mendengar ungkapan “teknologi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”? Pada masa kini, manusia lekat dengan teknologi. Hal ini menjadi semakin nyata ketika kita mengalami pandemi Covid-19 sejak pertengahan Maret 2020. Segala sesuatu dikerjakan dengan kehadiran teknologi sehingga walaupun kita membatasi pertemuan fisik tetapi kita masih tetap dapat produktif dan efektif dalam melakukan segala sesuatunya. Namun, jika kita kembali kepada pernyataan awal tadi, maka teknologi seolah memiliki dua sisi, baik dan buruk. Ada keburukan yang dihadirkan oleh teknologi yaitu menjauhkan yang dekat. Orang sering mengambil contoh bagaimana ketika sebuah keluarga mengadakan makan bersama, semua sibuk memperhatikan layar ponsel, tidak ada percakapan yang hangat ataupun suasana penuh syukur menikmati makanan yang disajikan. Apakah benarkah demikian? Ketika orang lebih mudah menatap layar ponsel daripada memperhatikan apa yang terjadi di sekitar, janganlah terburu-buru menghakiminya sebagai keburukan teknologi. Justru yang harus memeriksa dan berefleksi diri adalah si pengguna tersebut. Si penggunalah yang memilih dan memutuskan untuk terpaku pada ponselnya daripada membuka diri pada situasi di sekitarnya.
Kecenderungan manusia adalah mencari alasan yang dapat mengamankan ataupun menjadikan dirinya terlihat benar. Seperti kasus keburukan teknologi tersebut, pernahkah kita berefleksi atas doa pengakuan dosa yang sering kita naikkan, entahkah secara pribadi (mungkin setiap malam) ataupun ketika bersama-sama dalam ibadah minggu sesuai dengan liturgi. Apakah yang kita ungkapkan kepada Tuhan sebagai alasan atas pelanggaran atau dosa yang kita perbuat? Bagi sebagian orang, sangat sulit untuk mengungkapkannya di dalam waktu yang singkat. Akibatnya, pengkalimatan yang disampaikan cenderung menjadi simplifikasi yang sebetulnya sangat keliru. Adapun yang sering disampaikan adalah “saya memang penuh dengan kelemahan, tidak mampu menahan godaan sehingga kembali jatuh dalam dosa”. Kekeliruan terletak pada mempersalahkan kelemahan yang membuat kita tidak mampu menahan godaan, padahal jika kita menggali lebih dalam maka kita akan menemukan bahwa kelemahan bukanlah alasan. Justru keputusan kita, pilihan kita untuk mengikuti godaan yang membuat kita jatuh dalam dosa.
Jangan jadikan kelemahan sebagai alasan. Kita dipanggil untuk bertanggung jawab atas kehidupan, baik itu akal budi, sikap prilaku, perkataan maupun perasaan kita, yang di dalamnya memang ada keterbatasan-keterbatasan. Kita dapat melakukannya bukan dengan kekuatan atau kemampuan kita semata. Di dalam penghayatan iman, kita dipanggil untuk selalu mengingat dan mengalami bahwa kuasa penyertaan Tuhan dicurahkan dalam kehidupan kita melalui RohNya yang Kudus yang senantiasa memampukan kita melawan godaan dosa dan berjuang dalam jalan kebenaran seturut firmanNya. Mari kita memilih dan memutuskan untuk selalu menghidupi kuasa penyertaanNya sehingga kelemahan kita bukan menjadi alasan tetapi justru menjadi alat bersaksi, walaupun dalam kelemahan, kita tetap kuat. Seperti penghayatan Paulus bahwa Tuhan menjawab pergumulannya dengan kelemahan, dalam 2 Korintus 12:9a “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna.”
Forum Pendeta
Minggu, 26 Juni 2022
BUKAN SEKEDAR STATUS
Hidup adalah rangkaian proses pembentukan yang tidak pernah berhenti. Sedari lahir, kita mengenal berbagai sikap, nilai, aturan dan ajaran yang kemudian membentuk kehidupan kita. Kalau mau dilihat secara jujur, pembentukan ini tidak pernah mencapai bentuk yang sempurna. Ia selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu, berubahnya situasi dan kondisi kehidupan kita, walaupun memang ada hal-hal dasar yang menjadi pegangan dan landasan. Jika demikian, di manakah posisi iman kita? Apakah iman hanyalah salah satu unsur pembentuk kehidupan kita? Banyak orang yang menempatkan iman dengan cara yang demikian. Hal ini tentu membawa dampak yaitu kekristenan hanya menjadi salah satu dari sekian banyak status yang disandang oleh pribadi tersebut. Kedudukannya setara dengan status suami/istri, pekerja/pelajar, dst. Padahal seharusnya, orang lain dapat mengenal kita dengan istilah suami kristiani atau pekerja kristiani, yang berarti bahwa kekristenan menjadi landasan dan pegangan kita dalam menjalankan status tersebut. Dengan perkataan lain, kekristenan menjadi identitas yang melekat dalam diri kita di tengah berbagai status yang kita miliki.
Tentu saja untuk menjadi kekristenan sebagai identitas maka kita menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tantangan tersebut berasal dari diri kita sendiri. Kita diperhadapkan dengan segala sesuatu yang telah dijejalkan sejak lahir. Kita diminta untuk secara berani dan radikal melihat dan memaknai ulang berbagai pembentukan yang sudah ada dalam diri kita dan kemudian meletakkan iman kita menjadi landasan segala sesuatu. Dalam upaya ini, maka yang harus kita perhatikan adalah kita bukan hanya mencari kecocokan nilai/sikap kehidupan kita dengan kekristenan, tetapi justru menjadikan kekristenan sebagai alat ukur objektif untuk menghasilkan kehidupan yang berbeda. Paulus dalam surat Roma 12:2 mengingatkan kita “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Bagian ayat yang terakhir inilah yang menjadi dasar bagi kehidupan setiap pribadi untuk menjadikan kekristenan sebagai identitas/landasan dan pegangan. Keseluruhan kehidupan kita ditujukan untuk melakukan kehendak Allah yaitu di dalam kebenaranNya mendatangkan kebaikan, berkenan kepadaNya dan sesuai dengan rancanganNya. Ini berlaku dalam segala keadaan, bagaimanapun proses pembentukan kehidupan kita berlangsung selama ini.
Mari kita merenungkannya bersama. Siapkah kita secara radikal membongkar kehidupan yang selama ini mungkin sudah kita jalani dengan nyaman karena menganggap kekristenan hanyalah satu dari sekian banyak status kehidupan kita? Tuhan telah menyiapkan rancangan yang terbaik bagi kehidupan kita, dan untuk itu, haruslah kita jalani dengan dasar iman, bukan sekedar nilai-nilai moral sesuai dengan masyarakat. Tuhan Yesus memampukan kita selalu.
Forum Pendeta