MEMULIAKAN ALLAH MELALUI SESAMA

Menurut Badan Pusat Statistik, pada bulan Maret 2024 sekitar 25 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan di wilayah Jawa Barat ada sekitar 3,8 juta orang yang hidup kekurangan. Mereka yang secara materi berkekurangan ada di sekitar kita, baik itu yang kita temui di jalanan, tetangga, teman, saudara, atau bahkan diri kita sendiri. Di sisi lain, ada juga sebagian orang yang hidup dengan kelimpahan materi. Perbedaan inilah yang menjadi salah satu bentuk ketimpangan sosial dalam masyarakat. Ada orang yang berusaha sekeras mungkin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, ada juga yang menutup mata terhadap sekitarnya dan menghamburkan rupiah untuk memenuhi keinginannya. Bahkan, ada juga yang memanfaatkan kesenjangan ini untuk mendapatkan buruh/pekerja murah untuk bekerja di tempat miliknya.

Bagi pengikut Kristus, semestinya kita memiliki kebijaksanaan untuk mengelola setiap berkat yang sudah Tuhan percayakan. Bukan hanya tentang si kaya membantu si miskin. Konsep memberi adalah tentang menolong orang yang lebih lemah atau yang lebih membutuhkan. Apakah menolong itu hanya untuk kepentingan orang yang ditolong? Firman Tuhan berdasarkan Amsal 14:31 mengatakan “Siapa menindas orang yang lemah menghina Penciptanya, tetapi siapa berbelaskasihan kepada orang miskin memuliakan Dia.” Penulis Amsal mencatat tulisan ini dengan latar belakang ketidakadilan kalangan orang Israel pada zaman itu. Ketika orang kaya yang tidak hanya tidak membantu, melainkan juga menindas orang miskin. Teguran Amsal ini mengingatkan mereka sekaligus kita semua bahwa cara seseorang memperlakukan sesamanya, terutama yang lemah, memiliki implikasi pada hubungan seseorang dengan Allah.

Selama ini, pemahaman yang populer tentang memuliakan Allah mungkin sebatas melalui puji-pujian, doa, dan datang ke kebaktian. Padahal, memuliakan Tuhan memiliki lingkup yang lebih luas namun sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Lebih luas dalam cara mengekspresikannya, lebih dekat dalam mengaksesnya. Menolong sesama dan berbagi dengan yang membutuhkan adalah salah satu cara untuk menyatakan sikap iman yang memuliakan Allah. Dengan begitu, berbagi bukan lagi tentang kepentingan atau kebutuhan mereka yang memerlukannya, melainkan tentang cara setiap orang menyatakan hubungannya dengan Allah. Gereja memiliki juga peran penting untuk menolong anggota jemaatnya maupun orang lain yang berkekurangan. Misalnya GKI Pengadilan yang menyatakan perannya dengan melakukan diakonia dan memberi beasiswa untuk anggota yang membutuhkan. Selain itu masih banyak lagi program Kesaksian Pelayanan yang dilakukan sebagai cara gereja untuk memuliakan Allah di dunia.

Melalui Firman Tuhan kali ini, kita diajak untuk lebih membuka mata kepada lingkungan serta berperan aktif untuk menolong dan berbagi. Pada momen Bulan Kesaksian dan Pelayanan yang sedang kita peringati, marilah kita menyatakan komitmen untuk memuliakan Allah melalui sesama. Kita bisa mengambil tindakan secara pribadi untuk orang-orang di sekitar, maupun mengambil bagian untuk mendukung kegiatan kesaksian dan pelayanan dalam gereja. Marilah kita saling mengusahakan dan merayakan kehidupan dengan selalu memuliakan Allah.

Arnold Siburian


SEMUANYA SETARA

Masyarakat Indonesia pasti sudah kenal dengan nama Raden Ajeng Kartini yang hari kelahirannya diperingati setiap tanggal 21 April. Tokoh pahlawan nasional ini berkontribusi dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah sekaligus menggugat perbedaan status sosial perempuan yang pada zaman itu lebih rendah daripada laki-laki. Dulu salah satu perjuangan R.A. Kartini adalah untuk menuntut hak perempuan memperoleh akses pendidikan yang sama dengan laki-laki karena pada saat itu keluarga pribumi mengutamakan sosok laki-laki dalam memperoleh pendidikan sekolah. Buah perjuangannya bisa kita rasakan sampai saat ini baik di ranah pendidikan maupun dunia kerja. Meskipun begitu, kesetaraan hak ini belum sepenuhnya berlaku karena adanya stereotip gender yang membatasi perempuan di dunia kerja atau justru memberikan beban ganda. Salah satu stereotip yang masih terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat adalah anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah dan hanya boleh mengambil peran dalam urusan domestik rumah tangga (pekerjaan rumah tangga). Dalam kasus lain, perempuan juga dituntut untuk menjalani peran ganda sebagai pencari nafkah dengan tetap melakukan tugas rumah tangga yang lebih banyak daripada laki-laki.

Jauh sebelum perjuangan R.A Kartini dan tokoh lain yang memperjuangkan isu kesetaraan gender, Tuhan sudah mengingatkan manusia tentang kesetaraan manusia. Sejak masa penciptaan Tuhan memberikan nilai yang sama besar kepada laki-laki maupun perempuan. Paulus kembali mengingatkan kita dalam Galatia 3:26-29 yang dengan jelas meruntuhkan setiap perbedaan berdasarkan identitas maupun gender bagi orang beriman. Ayat 28 mengatakan “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Paulus berbicara kepada jemaat di Galatia yang cenderung membeda-bedakan orang berdasarkan identitas. Ada golongan yang merasa lebih berhak untuk diselamatkan dan memandang rendah golongan yang lain. Padahal di dalam Kristus setiap orang hidup dalam identitas baru yaitu anak-anak Allah. Artinya, tidak ada lagi pihak yang berada di posisi superior atau di atas yang lain sehingga memiliki hal lebih. Yesus hadir untuk meruntuhkan setiap konstruksi budaya yang tidak adil dan memperberat beban suatu golongan.

Perbedaan latar belakang gender bukanlah sebuah alasan untuk memberikan label tertentu yang membatasi golongan lain atau memberi beban yang lebih untuk berkarya dan melayani. Dalam kehidupan keluarga Kristen, kita perlu menyeimbangkan peran setiap anggota keluarga supaya tidak ada yang merasa lebih berkuasa dan ada pihak yang dikuasai. Orangtua bisa memberi pemahaman tentang kesetaraan dan mempraktikkannya dengan berlaku adil. Seperti gereja yang memberi kesempatan sama besar bagi setiap orang yang mau terlibat dalam pelayanan tanpa memandang status atau gender. Keluarga dan gereja mestinya menjadi tempat yang aman dengan tidak melakukan berbagai bentuk diskriminasi, khususnya gender. Kita juga dipanggil untuk menyuarakan kesetaraan ini di setiap lingkup kehidupan. Perbedaan gender perlu disambut dengan semangat persatuan serta penyetaraan hak dan kewajiban. Marilah kita semua berpartisipasi dalam melayani dan bersaksi tentang kebenaran dan kemuliaan nama Tuhan dengan melakukan peran kita masing-masing sebagai laki-laki dan perempuan, manusia ciptaan Allah. Dengan demikian, semakin nyatalah kasih Allah yang mempersatukan dan membebaskan umat-Nya dari segala bentuk pembatasan berdasarkan golongan, khususnya gender.

Arnold Siburian


CIPTAAN YANG BAIK

Orangtua biasanya mendorong anak untuk makan ikan, khususnya ikan dari laut supaya pintar karena kandungan gizinya yang menolong tumbuh kembang otak. Namun, pernahkah saudara melihat berita tentang hewan laut yang mati dan ditemukan sampah plastik di dalam tubuhnya? Hewan yang seharusnya bermanfaat baik buat tubuh manusia dan bahkan hewan lain justru membahayakan jika dikonsumsi karena adanya pencemaran. Pencemaran yang dirasakan hampir seluruh makhluk hidup ini bermula dari kebiasaan manusia untuk menggunakan barang sekali pakai demi kepraktisan dan membuang sampahnya dengan sembarangan. Rantai makanan yang berlangsung untuk keseimbangan kehidupan ciptaan Tuhan justru tercemar karena perilaku salah satu ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Pencemaran lingkungan membuat nilai kebaikan dari setiap ciptaan memudar. Ketika melakukan karya penciptaan alam semesta, Tuhan tidak menghadirkan ciptaan untuk saling mencemari. Firman Tuhan dalam Kejadian 1 menunjukkan bahwa Allah melihat semua yang diciptakan baik (ay. 14, 10, 12, 18, 21, 25). Bahkan pada bagian akhir Kejadian 1 dikatakan bahwa “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh sangat baik” (ay. 31a). Kebesaran dan kebaikan Tuhan ditunjukan kepada dan melalui setiap ciptaan yang terus berinteraksi waktu demi waktu. Semua ciptaan dihadirkan Tuhan untuk saling melengkapi, saling menopang, dan hidup dalam harmoni. Keistimewaan manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah perlu dipahami sebagai peran dan tanggung jawab utusan Allah untuk menjaga harmoni alam. Dengan begitu, seharusnya kita melihat kebaikan Allah dalam setiap ciptaan dan tidak mencemari sesama ciptaan.

Isu lingkungan hidup sudah seharusnya mendapat perhatian khusus dari kita sebagai umat manusia, khususnya sebagai bagian dari gereja. Pada bulan Kesaksian Pelayanan ini, kita diajak untuk menjadi saksi kebaikan Tuhan melalui dan kepada ciptaan yang lain. Kita bisa memulai dari hal kecil yaitu bijak dalam mengelola sampah. Mengelola ini berarti mengurangi penggunaan barang sekali pakai yang akan menjadi sampah serta membuang di tempat yang disediakan. GKI Pengadilan juga berperan aktif dalam menjaga kelestarian alam sekitar. Salah satu contohnya adalah dengan disediakannya air minum isi ulang untuk mengurangi penggunaan air minum kemasan sekali pakai. Sebagai ciptaan yang baik, marilah kita mengambil bagian untuk melestarikan alam dan memperlakukan serta memanfaatkan alam dengan baik seperti hakikat setiap ciptaan yang dipandang baik oleh Tuhan. Di manapun kita berada, marilah kita berpartisipasi dalam menjaga kelestarian alam untuk kedamaian hidup seluruh ciptaan dan untuk menjadi saksi kebaikan Tuhan Sang Pencipta.

Arnold Siburian


MERASAKAN TUHAN DALAM KETERBATASAN

Dalam KBBI, disabilitas memiliki arti “keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama sehingga mengalami hambatan dan kesulitan dalam berinteraksi.” Bagi orang dengan disabilitas fisik dan intelektual, berkegiatan di tempat umum cenderung membutuhkan usaha yang lebih besar karena tidak semua tempat memiliki fasilitas yang memadai bagi mereka. Belum lagi pandangan miring masyarakat umum yang terkadang merendahkan mereka. Misalnya orang yang membutuhkan kursi roda untuk bepergian dianggap menghabiskan ruang lebih banyak ketika ada di tempat umum bahkan di ruang ibadah gereja sehingga mengundang komentar negatif. Ada juga yang memberikan perhatian khusus kepada saudara kita penyandang disabilitas hanya karena kasihan. Maka tidak berlebihan kalau sampai saat ini penyandang disabilitas masih dipandang sebelah mata.

Menurut kisah-kisah di Alkitab, pada zaman dahulu orang dengan disabilitas seringkali digambarkan sebagai kaum yang dipinggirkan. Tidak hanya hak mereka sebagai manusia yang tidak dipenuhi, orang buta dan lumpuh (contoh disabilitas) juga dipandang hina, berdosa, dan tidak layak di hadapan Allah. Sebenarnya dari mana asalnya pemahaman orang Yahudi yang diskriminatif seperti ini? Sementara Allah memperkenalkan diri sebagai Allah yang tdk pernah membeda-bedakan orang. Hal ini mungkin didasari pada ketentuan pelayan kemah suci yang dituliskan pada Imamat 21. Di sana terdapat ketentuan bahwa orang cacat tidak boleh melayani pada kemah suci. Kerangka berpikir seperti inilah yang menjadi latar belakang pertanyaan para murid Yesus ketika bertanya “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2). Tentu Allah punya maksud tertentu dengan ketetapanNya. Tuhan Yesus meluruskan pandangan para murid dengan menjawab “bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (ay. 3). Pernyataan Tuhan Yesus ini menunjukkan kalau seorang disabilitas bukanlah tanda hukuman yang Allah berikan, melainkan karya yang menunjukkan kebesaran-Nya. Tuhan memiliki maksud tertentu yang baik dalam diri dan melalui orang dengan disabilitas. Tidak ada alasan bagi orang lain untuk merendahkan atau memandang secara negatif seorang disabilitas atau keluarga darimana mereka berasal. Sebagai manusia mereka sama berharganya di mata Allah dan sama-sama menunjukkan kebaikan dan kekuasaan Tuhan.

Tuhan telah menyatakan kasihnya kepada setiap manusia seperti apapun keadaan fisik maupun intelektualnya. Keberadaan orang dengan disabilitas bukan sebagai objek untuk membandingkan keberuntungan diri atau objek untuk dikasihani. Kesamaan nilai diri kita sebagai ciptaan yang dikasihi Tuhan perlu disambut dengan semangat untuk mempersaksikan kebaikan dan kebesaran Tuhan. Ketika kita melihat Tuhan di dalam diri sesama khususnya pada orang dengan disabilitas, kita diajak untuk memberi perhatian supaya hak mereka juga terpenuhi. Misalnya hak untuk beribadah dengan baik tanpa dihakimi dan dipinggirkan. Gereja juga secara bertahap mencoba untuk memenuhi kebutuhan orang dengan disabilitas. Di GKI Pengadilan, salah satu contoh yang mudah ditemukan adalah penyediaan akses masuk ruang ibadah dan toilet yang ramah disabilitas. Meskipun masih memiliki kekurangan, tindakan yang timbul dari kesadaran bahwa hak setiap orang perlu dipenuhi sudah dilakukan.

Sebagai umat yang mengaku mengasihi Tuhan, kita diajak untuk merasakan kehadiran-Nya dalam keterbatasan diri sendiri dan orang lain. Memandang diri setara dengan yang lain dan sebaliknya, membuat kita secara sadar mau memperhatikan sesama. Marilah kita memperhatikan hak sesama kita, termasuk orang dengan disabilitas di manapun kita berada.

Arnold Siburian


PILIH-PILIH

Ungkapan “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” mungkin sudah sering kita dengar terlepas setuju atau tidak. Kata-kata ini merupakan kritik masyarakat terhadap tindakan penegakan hukum di banyak negara terlihat seperti pilih-pilih. Katanya kalau seseorang lebih berkuasa atau memiliki uang maka keadilan bisa saja diakali. Namun, sadar atau tidak praktik pilih-pilih juga berlangsung di dalam komunitas masyarakat itu sendiri, termasuk gereja. Dalam beberapa kejadian, ketika seseorang yang dihormati di gereja karena memiliki jabatan gerejawi atau kekayaan bisa saja memiliki kebebasan lebih dalam melanggar peraturan tanpa mendapat teguran. Misalnya dalam sebuah jemaat ada kesepakatan untuk tidak makan di ruang ibadah. Teguran lebih mudah disampaikan kepada mereka yang tidak berjabatan gerejawi atau kekayaan daripada kepada mereka yang dipandang lebih dihormati dengan alasan segan. Artinya, berlaku tidak adil, sadar atau tidak, bisa saja dilakukan oleh setiap orang di manapun kita berada.

Kecenderungan untuk memperlakukan orang berdasarkan status sosialnya sudah berlangsung sejak lama dan mendapat perhatian khusus dari tokoh-tokoh penulis Alkitab. Isu ketidaksetaraan sosial menjadi latarbelakang penulisan surat Yakobus. Pada saat itu jemaat yang sudah menerima Injil diingatkan untuk memperkuat dan menyatakan iman dengan menjunjung kesetaraan sebagai umat Allah. Sikap Yakobus ini jelas terlihat dalam Yakobus 2:1-4. Menerima kebenaran firman Tuhan berarti bersedia merekonstruksi pandangan-pandangan yang tidak sesuai dengan Injil. Membeda-bedakan orang berdasarkan status sosialnya dan memberikan perlakuan khusus tidak sejalan dengan semangat kekristenan yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan. Sebagai pengikut Kristus kita dilarang untuk mempraktekkan iman dengan pilih-pilih. Memilih kepada siapa kita perlu berlaku baik, benar, dan adil berdasarkan status sosial berarti hati dan perilaku kita bersifat diskriminatif. Yakobus memberi pertanyaan buat mereka yang masih memelihara kebiasaan seperti ini dengan berkata: “Bukankan kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?” (Yak. 2:4).

Kita diajak untuk meneladani Kristus dengan mengasihi dan memandang setiap orang dengan kesetaraan. Tuntutan untuk berlaku adil tidak hanya diajukan kepada orang-orang yang berkuasa, melainkan kepada diri kita masing-masing. Memperlakukan orang dengan pilih-pilih berdasarkan status sosial maupun identitas berbanding terbalik dengan nilai yang ditanamkan oleh Kristus dan setiap orang yang menjadi saksi-Nya. Pertanyaannya, sudahkah kita berlaku adil? Apakah kita masih meninggikan seseorang dan merendahkan yang lain? Bersedia dan beranikah kita untuk menjadi saksi atas Tuhan yang penuh kasih dan keadilan dengan berpikir serta bersikap demikian? Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk berlaku adil dan meninggalkan segala bentuk diskriminasi dalam hati, pikiran, dan sikap kita.

Arnold Siburian


KASIH BUKAN SEKADAR KATA

Mungkin kita sudah tidak lagi asing dengan tren tagar (hashtag) berulang tentang dukungan atau doa bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang sedang mengalami kesulitan. Tagar #prayfor… atau #kamibersama… kerap kita temui di media sosial untuk menunjukkan kepedulian, doa untuk korban bencana, atau seruan untuk mengasihi sesama. Tren ini pun mengundang pengguna sosial lain untuk memberi komentar “Kasihan ya” atau menuliskan, “Doa saya menyertai mereka.” Namun, ironisnya, tidak banyak yang benar-benar bergerak untuk menolong. Kasih sering berhenti pada kalimat yang indah, gambar yang mengharukan, atau slogan yang mudah diucapkan. Kenyataannya, kasih terlalu sering menjadi kata-kata manis yang hanya mampir di bibir atau menggerakkan jempol, tetapi jarang sampai ke keseluruhan tangan dan kaki kita.

Firman Tuhan dalam 1 Yohanes 3:16 berkata “Dengan inilah kita mengenal kasih, yaitu bahwa Kristus telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Jadi, kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Kata “menyerahkan” menunjukkan aksi konkret dari kasih, bukan sekadar teori. Yesus tidak hanya berbicara tentang kasih, Dia menunjukkannya dengan pengorbanan terbesar—memberikan nyawa-Nya di kayu salib. Kasih yang sejati bukan hanya sebuah emosi atau ucapan, tetapi sebuah tindakan yang rela berkorban. Bagi kita, “menyerahkan nyawa” tidak selalu dalam bentuk tindakan heroik atau rela mati buat orang lain, melainkan kesediaan untuk berkorban dan hidup untuk sesama.

Rasul Yohanes memberikan contoh tindakan praktis dalam mengasihi lewat pertanyaan retoris “Siapa yang mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tinggal di dalam dirinya?” (1 Yoh. 3:17). Sering kali, kita lebih cepat mengucapkan kata-kata penuh empati daripada benar-benar terlibat dalam kehidupan orang lain. Kita bisa berkata, “Aku peduli,” tetapi tetap sibuk dengan diri sendiri. Kita bisa berkata, “Aku mengasihi,” tetapi enggan berbagi dari apa yang kita miliki. Dunia tidak cukup hanya mendengar kata “kasih,” tetapi perlu melihat kasih itu bekerja melalui hidup kita.

Renungan ini menantang kita untuk melihat: apakah kasih yang kita jalani hanya berhenti sebagai kata-kata, atau sudah sungguh-sungguh diwujudkan dalam tindakan? Tidak masalah jika kita memberi perhatian pada kesusahan orang lain atau kelompok masyarakat lain yang jauh dari kita. Namun, kita juga perlu ingat bahwa di sekitar kita juga ada orang yang memerlukan perhatian dan pertolongan. Mereka yang membutuhkan aksi nyata dari kasih yang selama ini kita baca, dengarkan, dan rasakan langsung dalam hidup. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk mewujudnyatakan kasih di dalam keluarga, di lingkungan kerja, di tengah jemaat, dan di manapun kita berada.

Arnold Siburian