KELUARGA DIPERSATUKAN UNTUK MEMULIAKAN TUHAN
(Markus 10:2-16)

Keluarga menghadapi tantangan yang tidak mudah, bukan hanya saat ini tetapi sejak dulu. Pergumulan dalam kehidupan keluarga menghadirkan kepedihan, kepiluan dan penderitaan bagi banyak orang. Tidak terhitung suami istri dan anak-anak yang terluka karena keluarga yang tidak harmonis dan terpecah. Bulan Oktober mengingatkan gereja dan orang percaya akan pentingnya kehidupan keluarga yang kuat, kokoh, tidak mudah menyerah dan berani berjuang menghadapi tantangan yang hadir. Dalam bacaan kita hari ini, Yesus mengajarkan tentang pentingnya pernikahan dan kesetiaan dalam hubungan keluarga. Ketika orang-orang Farisi datang untuk menguji-Nya, Yesus menjawab dengan mengingatkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi dan bersatu. Pernikahan bukan hanya sekadar ikatan sosial, tetapi juga merupakan pernyataan kehendak Allah yang mengundang kita untuk hidup dalam kasih dan kesatuan.

  1. Keluarga Sebagai Rencana Allah
    Keluarga adalah rancangan Allah yang indah. Dalam kitab Kejadian, kita melihat bahwa Allah menciptakan manusia dan menginginkan mereka hidup dalam hubungan yang harmonis. Ketika kita membangun keluarga, kita berperan dalam rencana-Nya untuk memuliakan nama-Nya. Setiap kali kita menunjukkan kasih sayang, pengertian, dan pengorbanan dalam keluarga, kita sedang mencerminkan karakter Allah.

  2. Kesatuan Dalam Perbedaan
    Setiap anggota keluarga memiliki kepribadian, latar belakang, dan pandangan yang berbeda. Namun, justru dalam perbedaan inilah kita belajar dan diperkaya untuk saling menghargai dan mencintai. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa orang yang bersatu dalam kasih-Nya seharusnya tidak dapat dipisahkan. Saat kita menghadapi konflik dan perbedaan, ingatlah untuk kembali pada prinsip kasih dan pengertian yang Tuhan Yesus ajarkan dan teladankan, dan cari cara untuk menyelesaikan perbedaan dengan cara yang memuliakan Tuhan.

  3. Anak Sebagai Berkat
    Tuhan Yesus juga menunjukkan betapa berharganya anak-anak di mata-Nya. Mereka adalah berkat dan anugerah dari Tuhan. Dalam mendidik anak, kita memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai Kristiani, mengajarkan mereka tentang kasih Tuhan Yesus, dan memberi mereka contoh yang baik. Melalui cara kita mengasuh dan membimbing mereka, kita membantu mereka mengenal Tuhan Yesus dan belajar untuk memuliakan-Nya dalam hidup mereka.

  4. Doa dan Pengharapan
    Setiap keluarga pasti menghadapi tantangan. Namun, dalam setiap situasi, kita harus senantiasa mengandalkan Tuhan melalui doa. Meminta bimbingan-Nya dan bersatu dalam doa akan memberi kita kekuatan untuk menghadapi setiap rintangan. Ketika kita mengandalkan Tuhan Yesus, kita akan melihat tangan-Nya bekerja dalam keluarga kita, memperkuat ikatan kita dan memuliakan nama-Nya.

Mari kita ingat bahwa keluarga bukan hanya tentang hubungan darah, tetapi juga tentang ikatan kasih yang Allah tetapkan. Kita dipanggil untuk saling mendukung, mencintai, dan memuliakan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita. Dengan mengizinkan Tuhan menjadi pusat keluarga kita, kita akan menjadi saksi bagi dunia akan kasih dan kuasa-Nya.

Doa: Tuhan Yesus kami bersyukur atas keluarga yang Engkau anugerahkan kepada kami. Kami bukanlah orang-orang yang sempurna. Seringkali kami menghadapi dan hidup dalam perbedaan yang tidak mudah untuk dijembatani. Kami bersyukur Engkau senantiasa hadir dan menolong kami. Jadikan kami sebagai anggota-anggota keluarga yang terus hidup dalam kasih-Mu, saling memahami, saling menerima dan saling menolong. Terpujilah Engkau dalam kehidupan keluarga kami. Amin.

Forum Pendeta


KATAKAN TIDAK PADA EGOSENTRISME DI TENGAH KELUARGA
(Markus 10:17-31)

Di dalam bacaan ini, kita berjumpa dengan seorang kaya yang datang kepada Yesus dan bertanya, “Guru yang baik, apa yang harus saya perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”Orang kaya ini menjalani hidup yang tampak sempurna, mematuhi semua perintah sejak mudanya. Namun, ketika Yesus meminta agar ia menjual semua miliknya dan membagikannya kepada orang miskin, respon pemuda tersebut menunjukkan satu hal: “Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya” (ay. 22). Orang kaya ini terikat pada kekayaannya dan egoismenya.

Egosentrisme dalam Keluarga
Dalam konteks keluarga, egosentrisme dapat muncul ketika salah satu anggota keluarga lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Ini bisa berupa sikap yang tidak mau berbagi, hanya memikirkan diri sendiri, atau enggan mengorbankan waktu dan tenaga untuk orang-orang terkasih.

Keluarga sejatinya adalah tempat di mana kasih sayang dan perhatian seharusnya mengalir. Namun, ketika egosentrisme merasuki, hubungan bisa menjadi rumit dan penuh ketegangan. Egosentrisme bisa terjadi dalam berbagai bentuk: hobi, sikap, kebiasaan, prioritas, tidak peduli. Di tengah keluarga, sangat penting untuk kita mengingat bahwa setiap tindakan kita berdampak pada orang-orang di sekitar kita. Ketika kita memilih untuk merawat, mendengarkan, dan melayani satu sama lain, kita menciptakan ikatan yang kuat dan harmonis.

Menghadapi Tantangan
Melihat orang kaya di Markus 10, kita bisa merenungkan: apa hal-hal dalam hidup kita yang mungkin menghalangi kita untuk mencintai dan melayani keluarga kita? Apakah kita lebih terfokus pada kepuasan pribadi dibandingkan kebahagiaan orang-orang terdekat kita? Hal-hal apa yang tidak bisa kita tinggalkan sekalipun itu untuk kepentingan bersama sebagai keluarga?

Tuhan Yesus mengajak kita untuk menanggalkan egoisme kita dan menggantinya dengan pengorbanan dan cinta. Di ayat 21, Yesus mengatakan kepada orang kaya itu untuk melepas semua yang dimilikinya dan mengikuti-Nya. Ini adalah panggilan untuk melepaskan apapun yang menjadi penghalang bagi kita untuk menjalani hidup yang penuh kasih. Begitu pula, kita dipanggil untuk menanyakan diri kita: “Apa yang harus saya lepaskan untuk menyayangi keluarga saya lebih baik?” Renungkan.

Di tengah tantangan dan kesibukan hidup, marilah kita berkomitmen untuk berkata tidak pada egosentrisme. Mari kita bangun budaya saling mendukung di dalam keluarga, dengan berfokus pada kepentingan dan kebahagiaan satu sama lain. Ketika kita mengutamakan komunikasi yang baik, kebersamaan, dan pengorbanan kecil setiap hari, kita bisa menemukan kehidupan yang kekal dan penuh dengan kasih di tengah keluarga yang Tuhan Yesus anugerahkan.

Forum Pendeta


MENUNDUKKAN DIRI DALAM KASIH
(Efesus 5:21-33)

Saudara-saudara terkasih, berbicara tentang menundukkan diri dalam relasi berkeluarga bukanlah hal yang mudah. Pada dasarnya manusia dengan ego lebih mudah meninggikan diri dan merendahkan yang lain. Walaupun kita mendapatkan keteladanan yang nyata dari Tuhan Yesus sendiri, tetepi kecenderungan manusia dan dosa yang terus membayangi dalam diri seringkali membuat kita menjadi pribadi-pribadi yang tegar tengkuk: sulit ditegur dan lebih suka menuruti keinginan diri sendiri. Bulan keluarga kembali mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran dan keberanian diri untuk saling “Menundukkan Diri Dalam Kasih.” Di dalam Efesus 5:21-33, kita diajarkan tentang pentingnya saling menyerahkan diri dan mencintai satu sama lain di dalam keluarga.

Menundukkan Diri
Dalam ayat pertama, kita diajak untuk “saling menyerahkan diri” satu sama lain dalam takut kepada Kristus. Menundukkan diri bukan berarti mengalah atau melemahkan diri kita, tetapi lebih kepada sikap hati yang rela untuk menghargai dan mengutamakan orang lain. Ini adalah tindakan kasih yang tulus dan penuh pengorbanan.

Menundukkan diri dalam kasih berarti kita menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan pribadi. Ini mungkin sulit dilakukan, tetapi ketika kita melatih diri untuk mendengarkan dengan sabar, memahami perspektif yang berbeda, dan mencoba untuk bersikap empati terhadap anggota keluarga yang lain, kita sedang mengambil langkah untuk menundukkan diri dalam kasih.

Sebagai contoh, ketika kita mendapati perbedaan pendapat, alih-alih memaksakan kehendak kita, mari kita luangkan waktu untuk mendengarkan. Apa yang menjadi kekhawatiran atau harapan mereka? Dengan hati yang terbuka, kita dapat menemukan jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak.

Kasih yang Menguatkan
Selanjutnya, Paulus menekankan bahwa kasih adalah fondasi dari hubungan yang sehat. Dalam ayat 25, suami diingatkan untuk mencintai istri seperti Kristus mencintai gereja. Ini adalah panggilan yang mendalam untuk merawat dan melindungi satu sama lain. Ketika kita belajar untuk menundukkan diri dalam kasih, kita tidak hanya mendukung dan memperkuat satu sama lain, tetapi kita juga menciptakan ikatan yang semakin erat dalam keluarga.

Kasih yang sejati lebih dari sekadar kata-kata; ini adalah tindakan. Ini tercermin dalam bagaimana kita saling memperhatikan, saling mendukung di saat-saat sulit, dan bagaimana kita saling membangun. Hidup dalam kasih berarti kita memberi yang terbaik dari diri kita, bahkan ketika itu berarti kita harus mengorbankan keinginan kita sendiri.

Menghargai Perbedaan
Ketika kita menundukkan diri dalam kasih, kita juga belajar untuk lebih menghargai perbedaan. Setiap anggota keluarga memiliki karakter dan kepribadian yang berbeda. Dengan menundukkan diri, kita membuka hati kita untuk menerima perbedaan tersebut serta mencari cara untuk bekerja sama. Ini penting dalam membangun atmosfer yang harmonis, di mana setiap orang merasa diterima dan dihargai.

Kesimpulan
Melalui renungan hari ini, mari kita ingat bahwa menundukkan diri dalam kasih adalah panggilan kita sebagai pengikut Kristus, terutama dalam kehidupan keluarga. Semoga kita bisa menciptakan lingkungan yang penuh kasih, pengertian, dan saling menghormati. Marilah kita berdoa, memohon kepada Tuhan agar memberi kita kekuatan untuk menundukkan diri dalam kasih, sehingga keluarga kita bisa menjadi cerminan kasih Kristus yang sesungguhnya.

Forum Pendeta


RENUNGAN: YANG TERLUKA YANG MEMULIHKAN
(Ibrani 7:23-28)

Dalam kehidupan kita, tidak ada yang terhindar dari luka. Luka bisa datang dalam berbagai bentuk luka fisik, emosional, bahkan spiritual. Kita sering kali merasakan beratnya beban luka yang kita tanggung, dan kadang-kadang kita merasa kesepian dalam perjuangan itu. Namun, dalam Ibrani 7:23-28, kita diingatkan bahwa ada satu Pribadi yang dapat memulihkan kita, Tuhan Yesus Kristus.

Dalam ayat-ayat ini, penulis Ibrani menjelaskan peranan Yesus sebagai Imam Besar yang abadi. Dia bukan hanya Imam yang mengurbankan diri-Nya untuk kita, tetapi juga Imam yang terus hidup untuk memohon kepada Bapa bagi kita. Yesus mengerti rasa sakit kita; Ia pernah mengalami penderitaan dan menemukan jalan keluar dari luka-luka-Nya. Ketika kita mendekat kepada-Nya dalam kesedihan dan ketidakpastian, kita sebenarnya sedang mendekati Sumber pemulihan.

Ketika kita berpikir tentang luka kita, kita mungkin merasa ingin menyembunyikannya atau menganggapnya sebagai sesuatu yang memalukan. Namun, Yesus telah menunjukkan kepada kita bahwa luka bukanlah akhir dari cerita kita, melainkan bagian dari jalan menuju pemulihan. Dalam kehadiran Yesus, luka-luka kita bertransformasi menjadi kesaksian. Dia yang terluka membawa pemulihan bagi kita yang juga terluka.

Yesus adalah “satu-satunya yang sanggup menyelamatkan” (ay. 25). Dia tidak hanya mengetahui luka kita, tetapi juga memiliki kuasa untuk menyembuhkan. Marilah kita belajar untuk membawa segala luka kita kepada-Nya. Dalam doa, kita bisa membuka hati kita dan menceritakan segala kepedihan yang kita rasakan. Kita akan menemukan bahwa Dia tidak hanya mendengar, tetapi juga memulihkan dan memberikan pengharapan baru.

Bersama dengan para pahlawan iman yang lain, kita diingatkan akan kasih Allah yang tak terukur dan kesetiaan-Nya dalam kasih karunia. Ketika kita mengalami pemulihan dari luka, kita bukan hanya dipulihkan untuk diri kita sendiri, tetapi juga menjadi alat pemulihan bagi orang lain. Luka kita, yang diubahkan oleh kasih-Nya, dapat menjadi penguatan bagi mereka yang sedang mengalami kesakitan yang serupa.

Mari kita renungkan betapa berartinya Yesus dalam hidup kita. Dia adalah Imam Besar yang setia, yang tidak hanya memahami setiap luka kita, tetapi juga memampukan kita untuk menemukan keindahan dalam proses pemulihan. Setiap luka yang kita hadapi dapat menjadi bagian dari kisah kasih Allah dalam hidup kita jika kita menyerahkannya kepada-Nya.

Doa:
Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau adalah Imam Besar yang memahami setiap luka di dalam hidupku. Bantu aku untuk membawa semua rasa sakit dan kesedihanku kepada-Mu, agar Engkau memulihkan dan mengubahnya menjadi kesaksian. Biarlah hidupku menjadi berkat bagi orang lain yang sedang terluka. Dalam nama-Mu, aku berdoa. Amin.

SERIBU LUKA DALAM HIDUP BERKISAH TENTANG 1001 KASIH KRISTUS YANG MEMULIHKAN.

Forum Pendeta