
RABU ABU
Rabu Abu adalah hari pertama masa raya Prapaskah, yang merupakan periode 40 hari sebelum Paskah. Bagi kita umat Kristen, Rabu Abu adalah hari untuk merenungkan kefanaan sebagai manusia dan dimulainya masa pertobatan.
Tradisi Rabu Abu berasal dari Perjanjian Lama, di mana abu digunakan sebagai simbol perkabungan dan penyesalan, misalnya seperti yang dilakukan Ayub dan Daud saat berduka. Gereja Katolik memulai dan memelihara tradisi ini sejak abad ke-10 atau ke -11. Gereja Katolik Roma menggunakan abu sebagai tanda pertobatan di awal masa Prapaskah. Tidak mengherankan bila di kemudian hari saat kita sebagai Gereja Protestan melakukan Ibadah Rabu Abu dan ritual pengolesan abu di dahi, orang mengatakan: “Seperti orang Katolik”. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena Gereja Katolik yang memelihara tradisi ini. Sedangkan banyak Gereja Protestan, termasuk GKI baru memulai kembali saat penyusunan Liturgi yang baru.
Terlepas dari semua itu, yang penting dari hari Rabu Abu adalah maknanya, di mana kita diingatkan kembali akan hal-hal penting di dalamnya.
Pertama: Pengingat akan kefanaan. Abu yang dioleskan di dahi pada Ibadah Rabu Abu mengingatkan kembali akan hakekat manusia yang diciptakan dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu: “Sampai engkau kembali menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil, sebab engkau debu, engkau akan kembali menjadi debu” (Kej. 3:19B). Hal ini juga disuarakan dalam Mazmur 103:14: “Sebab Dia tahu dari apa kita dibentuk, Dia ingat bahwa kita ini debu”. Firman Tuhan ini mengingatkan kita akan kefanaan hidup dan pentingnya diri untuk hidup dengan benar.
Kedua: Awal masa pertobatan. Rabu Abu menandai dimulainya masa Prapaskah, di mana kita diajak untuk merenungkan dosa-dosa kita, hidup dalam pertobatan, dan memperbaiki diri. Ingat, pertobatan dari dosa membawa kita pada keselamatan. Pertobatan juga ditunjukkan dengan adanya perubahan-perubahan yang nyata. Perubahan-perubahan yang kita hidupi bukan hanya di masa Prapaskah tetapi di sepanjang hidup kita. Pertobatan tanpa adanya kesediaan diri untuk mengubah hal-hal yang tidak benar adalah omong kosong.
Ketiga: Simbol kerendahan hati. Abu juga menjadi simbol kerendahan hati. Dengan ditorehkannya abu di dahi, kita disadarkan dan mengakui bahwa kita dalah manusia berdosa dan membutuhkan anugerah dan pengampunan dari Tuhan Yesus. Seperti yang dikatakan dalam 1 Petrus 5:6 “Karena itu, rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya”.
Mari kita sambut Rabu Abu dalam kerendahan hati, pertobatan, dan kesediaan diri untuk berubah, kiranya rahmat-Nya merengkuh kita dan menghantarkan kita berjumpa dengan kemuliaan-Nya.
Hanya debulah aku
Di alas kakiMu Tuhan
Hauskan titik embun
Sabda penuh ampun
Tak layak aku tengadah
Menatap wajahMu
Namun tetap kupercaya
Maha rahim engkau
Ampun seribu ampun
Hapuskan dosa dosaku
Segunung sesal ini
Ku hunjuk padaMu.
Forum Pendeta
NARASI PRA PASKAH 1
Wow…. Ada promo!!
Khusus hari saja… ada diskon gila-gilaan
50 + 20 all item gaess…
Tapi ….
Uang sekolah belum dibayarkan,
Amplop persembahan bulanan juga belum saya isi…
Nenek sedang sakit…
Gimana ya….
Umat yang terkasih,
Tidak terasa kita akan segera memasuki Minggu-Minggu Pra Paskah
Dan untuk Minggu Pra Paskah 1, kita akan memaknai sebuah tema: Mengatasi Cobaan dan Menang dari Godaan.
Seperti kita ketahui, bahwa pencobaan dalam kehidupan kita, tidak datang dengan permisi, dia datang kapan saja dan bisa dalam bentuk apapun tanpa pernah izin terlebih dahulu.
Pencobaan itu harus dihadapi meski terasa berat dan kadang menggoda. Tetapi kita mau belajar untuk melihat pencobaan secara positif, karena sebenarnya melalui pencobaan itu, kita sedang diberi kesempatan untuk berproses, menguji hati, dan diri kita. yaitu bahwa pencobaan itu akan membentuk kita menjadi pribadi yang semakin setia, tekun, kuat, dan tangguh.
Nah bagimana dengan Yesus ketika Dia dicobai dan menjadi pemenang? Adakah Yesus menghindar?? Putus asa?? Mengeluh?? Atau bahkah protes dengan Sang Bapa??
Agar tidak penasaran dan setiap kita akhirnya bisa mengalami kehidupan yang berkemenangan… Tuhan Yesus merindukan kita hadir dalam Minggu Pra Paskah 1 pada Minggu 9 Maret 2025. Ditunggu yaa…
(… hitung jari: “jadi belanja? TIDAK… jadi belanja? TIDAK…!!!)
SH
KETEKUNAN MENGHADAPI UJIAN
Ujian sering kali menjadi momok yang menakutkan, karena di dalamnya ada ketidakpercayaan diri. Dalam menghadapi ujian pun, beberapa orang dapat memilih untuk menghindarinya atau bahkan tidak mau menjalaninya. Pertanyaannya, mengapa banyak orang yang tidak mau tekun dalam menghadapi ujian? Padahal Tuhan Yesus Kristus meneladankan sikap tekun dalam menghadapi ujian.
Tuhan Yesus Kristus menunjukkan bahwa ujian yang membawa penderitaan bagi diriNya tidak dihindari melainkan dihadapi. Yerusalem menjadi jalur penderitaan yang Ia jalani dengan setia tanpa keluhan. Melalui sikap tersebut, muncul pertanyaan dalam benak, “Mengapa Tuhan mau berjalan dalam penderitaan?”.
Tekun menjadi salah satu panggilan hidup orang percaya dalam menghadapi peliknya kehidupan yang dkerjakan. Setiap musim kehidupan adalah sebuah ujian, senang maupun duka merupakan sebuah ujian yang diberikan. Pertanyaannya, “Apakah kita akan tetap tekun menjalani ujian?”
Kini pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya mengajak kita untuk masuk pada perenungan Pra-Paskah kedua saat ini. Masihkah kita mau terus berjalan dalam getirnya kehidupan? Mari kita menjawabnya dalam hati masing-masing untuk merenungkan makna Pra-Paskah saat ini.
Galvin
KESEMPATAN UNTUK MENGHIDUPI PERTOBATAN
Shalom umat Tuhan yang terkasih, saat ini kita bersama-sama memasuki Minggu Pra Paskah yang ke-3, kita diajak untuk merenungkan kesempatan untuk menghidupi pertobatan.
Mungkin ada yang berkata, “Ah kesempatan ini tidak berlaku bagi saya, karena saya kan sudah bertobat, saya sudah percaya kepada Kristus, saya juga beberapa waktu belakangan ini tidak berbuat dosa”.
Isaac Watts mengatakan “Tidak ada pertobatan di makam.” Kata-kata ini begitu keras, tetapi inilah kenyataan. Bahwa hanya ketika kita masih hiduplah kita mamiliki kesempatan untuk bertobat, jika sudah terbaring dalam kubur, maka sudah terlambat.
Ya, mudah memang menampilkan diri sebagai orang yang bertobat. Mungkin kita rajin ke gereja, melayani sesama, hafal ayat-ayat dan kisah dalam Alkitab, handal berdebat soal pemahaman agama, dan hal semacamnya yang tampak dari luar. Namun perlu kita ingat, bahwa pertobatan sejati harus tampak dari buahnya. Bukan buah yang bersifat sementara dan nampak di permukaan saja, tapi buah yang benar-benar dihasilkan sebagai bukti pertobatan dan bisa menjadi berkat buat orang lain. Yohanes Pembaptis dalam Lukas 3:9 mengatakan “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.” Dengan kata lain, panggilan hidup kita adalah menghasilkan buah, dan buah itu berasal dari pertobatan kita. Jadi sebagai orang percaya, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus hidup di dalam pertobatan, pertobatan mestinya menjadi gaya hidup.
Pertobatan yang dimaksudkan di sini bukan hanya pertobatan di dalam perkataan dan tindakan, tetapi juga menyangkut kerangka berpikir dan melibatkan hati, jadi bukan sekedar pertobatan tetapi pertobatan seluruh diri yang melibatkan perkataan dan perbuatan, terutama cara berpikir dan hati.
Jadi kalau ada yg memandang kesempatan bertobat diperuntukkan hanya kepada yang belum percaya Yesus, belum ke gereja, atau yang seringkali berbuat dosa, rasanya kita perlu memeriksa hati dan pikiran kita, apakah kita sudah dengan sungguh-sungguh selalu menyelaraskan hati, pikiran, dan tingkah laku yang mengarah kepada Tuhan? Karena sesungguhnya kesempatan untuk bertobat berlaku bagi setiap mereka yang masih belum dapat mengarahkan hati, pikiran, dan perbuatannya hanya kepada Tuhan.
Ariesta
APAKAH KITA LAYAK DI HADAPANNYA
Pernahkah mendengar istilah cancel culture? Menurut laman berita daring Kompas.com, “Secara harfiah, cancel culture dapat diartikan sebagai ”budaya membatalkan”, meski makna sebenarnya lebih dalam daripada itu. Secara sederhana, istilah ini merujuk pada perilaku ”membatalkan”, memboikot, atau menghukum seseorang maupun kelompok akibat tindakan mereka yang (dianggap) salah.” Biasanya, fenomena sosial ini terjadi ketika ada figur publik yang terjerat kasus hukum, menyinggung pribadi atau kelompok tertentu, atau terlibat dalam suatu skandal. Mereka yang dibatalkan ini akan ditolak kehadirannya di dunia nyata atau di dunia maya. Mereka dianggap tidak layak untuk hadir di hadapan publik karena kesalahan memalukan yang pernah dilakukan. Aksi ini seolah memberi kesan bahwa mereka yang pernah melakukan kesalahan tidak akan diberikan kesempatan untuk tampil kembali.
Coba bayangkan jika Allah juga bersikap demikian. Ketika ada manusia yang berbuat dosa dan melukai hati-Nya, Ia meng-cancel (membatalkan) keberadaan kita dan menjauhkan diri dari kita. Jikalau itu yang terjadi, maka tidak akan ada satupun manusia yang beroleh kesempatan untuk menjalani kehidupan dan menerima keselamatan. Dunia ini akan dipenuhi dengan hukuman yang datang dari Allah. Namun, kita patut bersyukur karena Allah tidak menggunakan cara berpikir manusia. Bukannya memberikan apa yang layak kita terima akibat berbagai dosa dan pelanggaran kepada-Nya (hukuman), Ia justru datang ke dunia, menjadi salah satu dari kita (manusia), dan melayakkan kita untuk mengalami perjumpaan dengan Dia yang Maha Kudus.
Pada minggu Pra-Paskah 4 ini kita akan sama-sama menghayati kebesaran kasih Allah yang tetap menjumpai manusia dibalik ketidaklayakan kita. Firman Tuhan berdasarkan Lukas 15:11b-24 menyatakan kebesaran kasih-Nya kepada manusia. Dia yang kerap kali kita lukai tetap membuka hati dan menanti kehadiran kita di hadapan-Nya. Seperti ayah yang dengan penuh kasih menunggu anaknya meskipun dirinya telah ditinggalkan dan diabaikan, begitu juga Yesus menantikan saat-saat di mana kita berbalik kepada-Nya. Anugerah ini perlu kita respon dengan kesadaran bahwa kasih yang besar ini tidak boleh disia-siakan. Kita diajak untuk memanfaatkan setiap waktu dan kesempatan yang masih disediakan Tuhan untuk datang kepada-Nya membawa setiap pelanggaran yang pernah kita lakukan, mengakuinya, dan menerima pengampunan dari pada-Nya. Damai sejahtera dan sukacita yang kita dapatkan dari Tuhan karena pengampunan akan menjadi semangat baru yang mendorong kita memperbaiki pikiran dan sikap kita.
Diterima dan dilayakkan oleh Allah untuk kembali membangun hubungan yang mendalam dengan-Nya merupakan hal yang menggembirakan tapi belum selesai. Sebagai pengikut Kristus kita juga diajak untuk meneladani kasih-Nya. Sikap anak sulung yang tidak terima dengan sikap ayahnya yang mau menerima si bungsu (Luk. 15:28-30) mungkin menggambarkan kecenderungan manusia untuk menolak keberadaan mereka yang dipandang berdosa. Perkataan lembut dari ayah mengingatkan kita bahwa semestinya kita juga ikut bersukacita dan menerima mereka yang pernah hilang namun ingin pulang. Kita perlu mengingat bahwa karena kasih-Nya, Tuhan telah menyambut manusia. Dengan begitu kita juga dipanggil untuk memiliki dan mempraktikkan kasih yang mengampuni dan menerima sesama.
Umat Tuhan yang terkasih, saat ini mari kita membuka hati dan pikiran kita untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan, serta menghayati cinta-Nya yang begitu besar kepada kita. Datanglah ke hadapan-Nya dan rasakanlah kebesaran kasih-Nya membawa damai serta daya untuk semakin berkenan kepada-Nya dengan membagikan kasih itu kepada sesama.
Arnold


