
MENYAKSIKAN KARYA ALLAH
Sebagai pengikut Kristus, bersaksi merupakan tugas yang sangat penting bagi kita. Namun cerita apa yang mau kita tampilkan? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “saksi” artinya orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Dengan begitu, hal pertama yang penting untuk menjadi saksi yaitu kita perlu menyaksikan terlebih dahulu peristiwa yang akan dikabarkan. Sebuah kesaksian akan menjadi valid dan terpercaya jika kejadiannya benar-benar diterima melalui indera yang seseorang miliki. Begitu pula halnya dengan menjadi saksi kebaikan Tuhan di dunia. Mungkin kita sudah sering mendengar kesaksian melalui orang lain atau melalui berbagai khotbah. Namun, sudahkah kita secara pribadi menyaksikan karya Allah itu dalam hidup kita?
Dalam Kitab Yosua 4, kita diceritakan tentang bagian akhir dari perjalanan bangsa Israel menuju ke tanah perjanjian. Ketika mereka menyebrangi Sungai Yordan, mereka menyaksikan kebesaran Tuhan yang menahan luapan air sungai dan memampukan mereka untuk menyeberang. Setelah menyatakan karya-Nya yang melindungi Bangsa Israel, Tuhan memerintahkan Yosua untuk memilih dua belas orang dari tiap-tiap suku untuk menjadi tanda penyertaan-Nya (Yos. 4:6). Yosua juga menyampaikan Firman Tuhan itu kepada Bangsa Israel supaya mereka mengingat kebesaran yang telah Tuhan nyatakan dalam hidup mereka untuk diceritakan kepada generasi penerus. Sebagai peneguhan kepada Bangsa Israel untuk bisa menjadi saksi, ia juga mengingatkan mereka tentang karya yang sudah dinyatakan Allah ketika menyeberangi laut Teberau (Yos. 4:23). Kisah ini ditegaskan kepada Bangsa Israel mengingat ada banyak orang yang tidak menyaksikan langsung kejadian tersebut karena banyak orang yang telah meninggal selama perjalanan di gurun dan ada generasi yang lahir di tengah perjalanan ini. Perkataan Yosua ini memberikan pesan bahwa Bangsa Israel merupakan umat yang menerima kesaksian, menyaksikan langsung, dan ditugaskan untuk menjadi saksi-Nya.
Dalam renungan kali ini, kita diajak untuk melihat kembali pentingnya tidak hanya menerima kesaksian, melainkan juga merasakannya secara pribadi. Hanya melalui pengenalan yang kuat akan pribadi Allah dan karya-Nya, kita dapat memberitakan kesaksian yang kuat dan tulus. Bersaksi berbeda dengan menceritakan kembali dongeng yang telah kita dengarkan sebelumnya karena yang kita beritakan adalah Allah yang hidup sepanjang sejarah dunia serta dalam diri kita sendiri. Kita perlu merenungkan kembali kebaikan Allah dalam kehidupan kita secara pribadi maupun dalam keluarga, studi, pekerjaan, pelayanan, pertemanan, dan segala aspek dalam hidup. Kita adalah saksi yang telah merasakan, melihat, mendengar, dan mengalami kemurahan hati Tuhan. Marilah menyaksikan karya-Nya “Supaya semua bangsa di bumi tahu, bahwa kuat tangan Tuhan, dan supaya mereka selalu takut kepada TUHAN, Allahmu.” (Yos. 4:24). Kiranya Tuhan yang menyertai dan memampukan kita selalu!
Arnold Siburian
TETAP BERSAKSI MENGHADAPI RINTANGAN
Dalam keseharian, kita sebagai umat seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan dalam menghidupi dan membagikan iman kita. Mulai dari keraguan untuk berbicara tentang Kristus, kesulitan menghadapi perbedaan pendapat, godaan untuk bergosip atau bersikap tidak adil, hingga pergumulan batin dengan keraguan dan godaan pribadi. Kita mungkin bergumul dengan mengutamakan kepentingan diri, kesulitan mengelola waktu untuk hal rohani, atau bahkan merasakan tekanan untuk berkompromi dengan nilai-nilai Kristiani di tengah lingkungan sekitar. Tantangan-tantangan ini, meskipun tampak sederhana, menjadi medan ujian nyata bagi kesaksian iman kita.
Dalam Kisah Para Rasul 6:8, seorang tokoh bernama Stefanus digambarkan sebagai seorang yang “penuh dengan kasih karunia dan kuasa”. Ini bukan sekadar deskripsi kosong, tetapi tercermin dalam tindakan dan perkataannya. Ia melakukan “mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang besar di antara orang banyak.” Karunia yang diberikan Tuhan bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memberkati dan meyakinkan orang lain tentang kebenaran Injil. Meskipun begitu, kesaksian Stefanus tidak luput dari tantangan. Ia menghadapi perdebatan sengit dari orang-orang yang tidak sependapat. Ketika mereka kalah dalam argumen, mereka menggunakan cara-cara yang tidak jujur: menghasut dan menyebarkan fitnah.
Di tengah rintangan yang dihadapi, Stefanus tetap membicarakan kebenaran Injil dan tidak goyah. Di tengah-tengah usaha untuk menjatuhkannya melalui fitnah, kuasa Allah kembali nampak dalan diri Stefanus. “Semua orang yang duduk di Mahkamah Agama itu menatap Stefanus, lalu mereka melihat muka Stefanus sama seperti muka seorang malaikat” (Kisah Para Rasul 6:15). Ini adalah bukti kehadiran dan penyertaan Allah yang luar biasa dalam hidup Stefanus. Allah tidak hanya memberikan “modal” bagi saksinya untuk berkarya, melainkan tetap menyertai dan terus menerus menyatakan kuasa-Nya.
Kisah Stefanus mengajarkan kita bahwa hidup yang dipenuhi karunia Allah akan selalu menghadapi tantangan dalam bersaksi. Namun, jika kita tetap teguh dalam iman dan fokus pada Tuhan, kehadiran-Nya akan memampukan kita untuk menghadapi setiap rintangan dengan damai dan bahkan memancarkan kemuliaan-Nya kepada dunia. Mari kita belajar dari Stefanus untuk hidup dalam karunia, berani menghadapi tantangan, dan membiarkan Kristus bercahaya melalui hidup kita sebagai jemaat.
Arnold Siburian
BERSAKSI DENGAN BANYAK CARA
Pernahkah Anda bersaksi tentang Injil? Kalau pernah, kapan terakhir kali melakukannya? Kalau merasa belum pernah, mengapa? Mungkin pemahaman tentang ‘bersaksi’ masih sebatas menceritakan kisah yang dianggap kebanyakan orang luar biasa. Cerita tentang titik balik kehidupan, menuliskan lirik lagu yang indah, dan sebagainya. Tidak ada yang salah dari menceritakan pengalaman luar biasa yang kita rasakan berdasarkan karya Tuhan di dalam perjalanan hidup. Meskipun begitu, pemahaman yang sebatas ini membuat sebagian umat yang lain kesulitan untuk bersaksi. “Apakah pengalaman saya cukup memukau untuk bersaksi?”, “Apakah saya cukup pandai berbicara dan merangkai kata untuk menceritakannya?” atau “Apakah suara saya cukup bagus untuk memberi kesaksian pujian?” Pernahkah pertanyaan-pertanyaan tersebut terlintas di pikiran kita ketika diberikan kesempatan untuk mempersaksikan kasih dan kebesaran Tuhan?
Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (1 Korintus 12:4-7), Paulus mengingatkan bahwa setiap orang percaya diberikan karunia untuk menyatakan Kristus dalam hidupnya. Perkataan ini mengajarkan kita bahwa setiap pribadi dikaruniai oleh Roh dan dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan. Di dalam dan melalui diri kita, Allah menyatakan kebesaran kasih dan kuasa. Hal yang perlu kita sadari adalah ada beragam karunia dan dengan begitu juga banyak cara yang bisa kita lakukan demi memuliakan nama-Nya. Perbedaan karunia merupakan keunikan, bukan kebetulan atau kekurangan. Justru dengan beragam keunikan yang kita miliki merepresentasikan kekayaan cara Allah dalam menyatakan kehadiran-Nya. Artinya, berbagai karunia, sesederhana atau sebesar apapun menurut pandangan kita, memiliki peran penting jika digunakan untuk menyatakan kesaksian.
Kesaksian orang lain berdasarkan pengalaman yang disampaikan dengan karunia perlu kita lihat sebagai pengingat akan kebesaran Tuhan dan menggugah kita untuk ikut bersaksi melalui karunia yang kita miliki. Bersaksi adalah tentang menyatakan karya Allah yang luar biasa bahkan melalui cara yang dianggap biasa. Misalnya, ada sebagian orang yang mampu melihat keindahan karya Tuhan melalui alam ciptaan-Nya. Dengan lensa kamera mereka mengabadikannya, mengunggah, dan menuliskan refleksi singkat tentang keagungan Sang Pencipta. Ada juga yang mampu menghayati dengan mendalam tentang pemeliharaan Allah melalui makanan sehari-hari dan membagikan pengalamannya secara lisan atau tulisan. Refleksi iman yang otentik dan dinyatakan melalui berbagai cara dan media juga menjadi bentuk kesaksian kita bagi dunia.
Kali ini kita diingatkan bahwa setiap pribadi memiliki pengalaman rohani dan karunia yang berbeda-beda. Bagaimanapun sederhananya menurut kita atau orang lain, kebaikan Tuhan perlu dinyatakan dan dibagikan. Berbagai perbedaan ini bukan untuk membuat kita merasa lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Ingatlah bahwa karunia yang berasal dari Roh Kudus tujuannya adalah untuk memuliakan Allah. Oleh karena itu marilah kita menghargai dan mengembangkan setiap karunia yang telah Allah berikan. Sebab kita hidup di dalam satu Roh yang membantu kita menyaksikan serta bersaksi dengan cara yang unik.
Arnold Siburian
ROH KUDUS MEMAMPUKAN KITA BERSAKSI
Dalam sebuah kesempatan, ada seorang pembicara ulung yang diminta untuk memberikan pidato penting di sebuah acara. Ia naik ke panggung, memegang mikrofon, dan mulai berbicara. Namun, di barisan penonton tidak ada suara yang terdengar. Mikrofon itu ternyata tidak tersambung ke sistem suara. Sebenarnya ia telah menyusun kata-kata yang bagus dan menggunakan ekspresi serta intonasi yang tepat. Sayangnya, tidak ada satu orang pun yang dapat mendengarnya dengan jelas. Kira-kira seperti inilah gambaran jika kita bersaksi tanpa pertolongan Roh Kudus. Sehebat apapun kita dalam melakukan sesuatu, tanpa kehadiran Roh Kudus, pesan kesaksian itu tidak akan pernah sampai kepada dunia.
Dalam Yohanes 15:26, Yesus mengatakan Roh Kudus sebagai “Penolong” (Parakletos) dan “Roh Kebenaran.” Salah satu tugas utama Roh Kudus adalah bersaksi tentang Yesus. Artinya, Roh Kudus berperan secara aktif dalam menyatakan siapa Yesus kepada hati manusia. Kita bisa menyampaikan kesaksian dengan tutur kata yang indah, pengetahuan Alkitab yang mendalam, atau pengalaman rohani yang menyentuh. Namun, hanya Roh Kudus yang sanggup menyingkapkan kebenaran Ilahi, menyadarkan akan dosa, serta membuka hati untuk menerima Yesus sebagai Juruselamat. Ia tidak hanya memberi dorongan, tetapi bekerja sebagai Pribadi Ilahi yang membawa terang Kristus dalam hidup seseorang. Maka dari itu, keberhasilan kesaksian bukan ditentukan oleh kehebatan penyampaian kita, melainkan oleh kuasa Roh Kudus yang menyertainya.
Setelah menjelaskan peran Roh Kudus, dalam ayat yang ke 27, Yesus menyatakan bahwa para murid juga diutus untuk bersaksi karena mereka telah mengenal dan mengalami hidup bersama-Nya. Jelas ini adalah panggilan bagi kita sebagai pribadi yang telah menerima Roh Kudus. Kesaksian kita tidak sekadar menyampaikan informasi tentang Yesus, tapi membagikan pengalaman nyata yang kita miliki bersama-Nya. Ini adalah buah dari perjumpaan pribadi dengan Kristus dan melalui pertolongan Roh Kudus, pengalaman itu dapat menjadi kesaksian yang menyentuh hidup orang lain. Roh Kudus bukan hanya memberi keberanian, tetapi juga membimbing dalam berpikir, berperilaku, berkata-kata, mengingatkan kebenaran, dan menolong kita bersaksi dengan hikmat dan kasih. Ketika kita merasa tidak cukup mampu, Dia yang melengkapi. Ketika ketakutan menghampiri, Dia yang menguatkan. Saat kita bingung harus berkata apa, Dia memberi tuntunan.
Melalui renungan ini kita diingatkan bahwa kesaksian bukanlah tentang kepiawaian atau kemampuan diri. Roh Kudus menjadi Saksi Ilahi yang menyentuh hati, sementara kita adalah saksi-saksi yang menceritakan pengalaman bersama Yesus. Kita tidak berjalan sendiri melainkan dengan kuasa Ilahi yang terus bekerja di dalam dan melalui kita. Itulah sebabnya kita perlu terus membuka hati kepada Roh Kudus, memohon keberanian, hikmat, dan kesempatan untuk menyatakan Kristus. Percakapan yang sederhana pun, jika dipimpin oleh Roh Kudus, dapat berdampak besar. Kesaksian yang tampak kecil bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk mengalami kasih dan keselamatan dari Tuhan.
Marilah kita menghayati kembali bahwa dalam mengenal dan mewartakan kebenaran dan kasih Allah, hanya Roh Kudus yang memampukan kita. Biarlah setiap kita menjadi saksi Kristus yang setia, yang bersandar pada kuasa Roh Kudus, dan hidup untuk memuliakan nama-Nya di setiap tempat dan kesempatan yang Tuhan beri.
Arnold Siburian


