TIDAK ADA KASIH SEBESAR ITU

Psikolog John Bowlby mengemukakan sebuah teori yang dikenal dengan attachment theory atau teori kelekatan. Menurutnya, sejak lahir manusia membutuhkan hubungan emosional yang aman dengan figur orang tua atau pengasuh. Anak yang mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan kelekatan yang sehat akan bertumbuh dengan rasa percaya diri, mampu mempercayai orang lain, dan dapat membangun relasi yang baik. Sebaliknya, anak yang kurang menerima kasih akan tumbuh dengan luka batin, rasa takut, dan sulit percaya pada sesama. Teori ini menunjukkan bahwa manusia memang diciptakan untuk menerima dan memberi kasih. Namun, kenyataannya kasih manusia selalu terbatas. Ada orang tua yang gagal memenuhi kebutuhan kasih anaknya. Ada pasangan hidup yang tidak setia. Ada sahabat yang mengecewakan. Bahkan kita sendiri pun sering tidak mampu mengasihi secara konsisten. Lalu, di manakah kita bisa menemukan kasih yang tidak terbatas, kasih yang tidak berubah, dan kasih yang mampu memulihkan hati kita?

Firman Tuhan dalam Efesus 2:4-5 mengatakan: “Tetapi, Allah yang kaya dengan rahmat, oleh kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh pelanggaran-pelanggaran kita-oleh anugerah kamu diselamatkan“. Kasih Allah berbeda dengan kasih manusia. Paulus menggambarkan Allah sebagai “kaya dengan rahmat.” Rahmat Allah tidak terbatas, tidak pernah habis, dan selalu tersedia bagi kita. Kasih-Nya disebut “besar” karena melampaui logika manusia. Seharusnya manusia binasa oleh dosa, tetapi justru Allah mengulurkan tangan-Nya untuk menyelamatkan. Kasih itu nyata dalam tindakan-Yesus Kristus yang rela mati di kayu salib dan bangkit untuk memberi kita hidup baru. Lebih dari sekadar mengampuni, kasih Allah menghidupkan kita. Kita yang tadinya mati dalam dosa kini dibangkitkan bersama Kristus untuk hidup dengan identitas baru sebagai anak-anak Allah. Inilah “kelekatan” terdalam yang manusia butuhkan: relasi yang aman, penuh kasih, dan tidak pernah ditinggalkan. Jika menurut Bowlby kelekatan dengan orang tua menentukan perkembangan seorang anak, maka relasi dengan Allah menentukan kehidupan sejati kita. Dalam kasih-Nya kita menemukan rasa aman, pemulihan, dan tujuan hidup yang kekal.

Dunia bisa menawarkan banyak bentuk kasih, tetapi semuanya terbatas. Maka dari itu, janganlah kita mencari kasih sejati di tempat yang salah. Kasih Allah adalah satu-satunya kasih yang sempurna dan memulihkan. Tugas kita adalah membuka hati untuk merasakannya, mensyukuri setiap kebaikan-Nya, dan membagikannya kepada sesama. Merasakan kasih Allah berarti menyadari bahwa kita tidak hidup karena kekuatan sendiri, melainkan karena anugerah-Nya. Kasih itulah yang menolong kita bangkit ketika jatuh, menguatkan kita ketika lemah, dan meneguhkan kita di tengah kesepian. Mari kita hidup setiap hari dalam keyakinan bahwa kita dikasihi tanpa syarat oleh Allah, dan marilah kita menjadi saluran kasih itu bagi orang lain. Kasih Allah bukan sekadar teori. Kasih itu nyata, dapat kita alami, dan akan terus memulihkan kita sampai akhir.

Arnold


SAKSI ALLAH DI DUNIA YANG RESAH

Saat melihat dunia di sekeliling kita—dari ketidakstabilan ekonomi hingga perpecahan di masyarakat—pernahkah kita merasa bahwa hati ini ikut terasa resah? Setiap hari, timeline media sosial kita dipenuhi dengan cerita-cerita yang mengusik hati dan menimbulkan keresahan. Mungkin kita pernah mencoba untuk lari dari perasaan tidak nyaman ini, mencari pelarian di berbagai hal. Namun, bagaimana jika kegelisahan itu sebenarnya adalah hadiah? Sebuah pemberian indah dari Allah yang membuat hati kita peka akan berbagai permasalahan yang selama ini diabaikan dan membuat kita menjadi ciptaan-Nya yang utuh. Sebuah pengingat dari Tuhan yang membangunkan kita dari kelalaian rohani dan menantang kita untuk bertindak? Perasaan resah karena suatu situasi tertentu bisa terasa seperti beban berat, tetapi Alkitab menunjukkan bahwa kegelisahan semacam itu bisa jadi cara Tuhan memanggil kita.

Firman Tuhan menceritakan kisah tentang Nehemia. Ia merupakan seorang juru minuman raja Persia di istana yang nyaman dan aman. Namun, pada satu waktu ia mendengar kabar yang meresahkan tentang kondisi bangsanya di Yerusalem. Ia mendengar bahwa tembok-tembok kota suci itu telah hancur dan gerbang-gerbangnya terbakar (Neh. 1:3). Keresahan ini membuatnya sedih sehingga ia menangis, berkabung, berpuasa, dan berdoa (Neh. 1:4). Meski ia tidak mengalami sendiri kesulitan itu, penderitaan bangsanya menimbulkan keprihatinan yang mendalam dalam hati dan pikirannya.

Keresahan yang dirasakan Nehemia tidak berhenti pada meratap dan terlarut dalam kesedihan. Ketika mendapat kesempatan untuk bertindak, ia memanfaatkannya dengan baik. Dengan keberanian yang muncul setelah ia berdoa, Nehemia meminta kepada raja Persia untuk mengutusnya ke Yehuda demi membangun kembali Yerusalem (Neh. 2:5). Kepekaan Nehemia dan kesediaannya untuk bertindak tidak terlepas dari kuasa Allah yang menggerakkan hati serta memberikan keberanian kepadanya.

Kisah Nehemia adalah cerminan bagi kita. Kita sering kali merasa resah tentang kondisi di sekitar kita, baik itu ketidakadilan sosial, krisis lingkungan, atau konflik di berbagai lingkup kehidupan kita. Namun, melalui Nehemia kita belajar bahwa keresahan itu merupakan salah satu cara Tuhan memanggil kita untuk bertindak. Jangan biarkan keresahan membuat kita putus asa atau justru abai dengan realita. Sebaliknya, biarkan keresahan menjadi alasan bagi kita untuk datang kepada Tuhan dengan air mata dan doa. Biarkan setiap langkah yang kita ambil, sekecil apa pun, dilandasi oleh percakapan dengan Allah. Jadikan keresahan kita itu sebagai panggilan misi. Keresahan yang diubahkan melalui doa akan memberi kita keberanian dan jalan untuk melayani, berbicara, serta bertindak bagi Tuhan di tengah dunia yang membutuhkannya. Mari kita menjadi saksi-saksi Allah yang tidak hanya merasakan keresahan, tetapi juga membiarkan keresahan itu mengubah kita menjadi orang-orang yang berani, yang berdoa, dan yang bertindak demi kemuliaan-Nya.

Arnold


BUKAN AKU, TAPI DIA

Pernahkah anda menyaksikan atau mendengarkan sebuah cerita kesaksian tentang seseorang yang lebih menonjolkan kemampuan sang pembicara? Ada orang yang terjebak pada pemikiran bahwa kesaksian berarti menunjukkan betapa baiknya kita, betapa setianya kita, atau betapa hebatnya pelayanan kita. Terkadang kita tergoda untuk menempatkan diri kita sebagai pusat cerita. Ada yang ingin diakui, dilihat, dan dihargai atas segala pencapaiannya. Semua ini dilakukan demi membangun citra diri yang baik, berharap orang lain akan terkesan dengan kesempurnaan kita. Pada akhirnya kesaksian sekadar menjadi cerita untuk membesarkan diri sendiri dan bukan menceritakan kebesaran Allah.

Firman Tuhan dalam 2 Timotius 1:9, Rasul Paulus menasihati Timotius, “Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan anugerah-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman”. Ayat ini dengan jelas menunjukkan tiga aspek penting dari kehidupan seorang Kristen yang dipanggil untuk bersaksi. Pertama, Dia yang memanggil. Kita bersaksi bukan karena kita memenuhi kualifikasi tertentu, tetapi karena panggilan ilahi. Panggilan ini tidak didasarkan pada perbuatan atau jasa kita, melainkan pada anugerah dan kasih karunia-Nya. Ini adalah panggilan kudus, yang memisahkan kita dari arus besar dunia yang mengedepankan ambisi pribadi dan menetapkan kita untuk tujuan-Nya.

Kedua, Dia yang disaksikan. Kesaksian kita bukanlah tentang seberapa baik, bijaksana, atau suksesnya kita. Sebaliknya, kesaksian kita adalah untuk menggambarkan kebaikan dan kebenaran Tuhan. Kesaksian yang sejati adalah ketika orang lain melihat kita -sikap dan perkataan kita-, dan melalui itu, melihat Kristus. Mereka tidak hanya melihat apa yang kita lakukan, tetapi juga siapa Dia yang memampukan kita. Kesaksian bukanlah panggung untuk membesarkan nama diri sendiri, melainkan untuk memuliakan Allah.

Ketiga, Dia yang memampukan. Paulus menekankan bahwa karunia dan kekuatan untuk melaksanakan panggilan itu datang dari Allah sendiri. Kita sering merasa lemah, tidak cukup pintar, atau tidak berani bersaksi. Namun, Allah yang memanggil adalah juga Allah yang memperlengkapi. Pertolongan Roh Kudus membuat kita sanggup melakukan apa yang sebelumnya terasa mustahil.

Melalui firman Tuhan, kita diajak untuk mengubah fokus kesaksian kita dari “aku” menjadi “Dia”. Untuk setiap kesempatan, kemampuan, bahkan pencapaian yang kita terima, itu semua asalnya dari Allah. Dalam pekerjaan, keluarga, pelayanan, dan pergaulan, jadikanlah hidup kita sebagai cermin yang memantulkan kebaikan Kristus, bukan sarana meninggikan nama sendiri. Saat kita merasa terbatas, mari percaya bahwa Tuhan yang memanggil juga akan memampukan. Dengan demikian, setiap langkah hidup kita menjadi kesaksian yang berkata: “Bukan aku, tapi Dia.”

Arnold


KASIH BUKAN SEKADAR KATA

Pungkin kita sudah tidak lagi asing dengan tren tagar (hashtag) berulang tentang dukungan atau doa bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang sedang mengalami kesulitan. Tagar #prayfor… atau #kamibersama… kerap kita temui di media sosial untuk menunjukkan kepedulian, doa untuk korban bencana, atau seruan untuk mengasihi sesama. Tren ini pun mengundang pengguna sosial lain untuk memberi komentar “Kasihan ya” atau menuliskan, “Doa saya menyertai mereka.” Namun, ironisnya, tidak banyak yang benar-benar bergerak untuk menolong. Kasih sering berhenti pada kalimat yang indah, gambar yang mengharukan, atau slogan yang mudah diucapkan. Kenyataannya, kasih terlalu sering menjadi kata-kata manis yang hanya mampir di bibir atau menggerakkan jempol, tetapi jarang sampai ke keseluruhan tangan dan kaki kita.

Firman Tuhan dalam 1 Yohanes 3:16 berkata “Dengan inilah kita mengenal kasih, yaitu bahwa Kristus telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Jadi, kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Kata “menyerahkan” menunjukkan aksi konkret dari kasih, bukan sekadar teori. Yesus tidak hanya berbicara tentang kasih, Dia menunjukkannya dengan pengorbanan terbesar—memberikan nyawa-Nya di kayu salib. Kasih yang sejati bukan hanya sebuah emosi atau ucapan, tetapi sebuah tindakan yang rela berkorban. Bagi kita, “menyerahkan nyawa” tidak selalu dalam bentuk tindakan heroik atau rela mati buat orang lain, melainkan kesediaan untuk berkorban dan hidup untuk sesama.

Rasul Yohanes memberikan contoh tindakan praktis dalam mengasihi lewat pertanyaan retoris “Siapa yang mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tinggal di dalam dirinya?” (1 Yoh. 3:17). Sering kali, kita lebih cepat mengucapkan kata-kata penuh empati daripada benar-benar terlibat dalam kehidupan orang lain. Kita bisa berkata, “Aku peduli,” tetapi tetap sibuk dengan diri sendiri. Kita bisa berkata, “Aku mengasihi,” tetapi enggan berbagi dari apa yang kita miliki. Dunia tidak cukup hanya mendengar kata “kasih,” tetapi perlu melihat kasih itu bekerja melalui hidup kita.

Renungan ini menantang kita untuk melihat: apakah kasih yang kita jalani hanya berhenti sebagai kata-kata, atau sudah sungguh-sungguh diwujudkan dalam tindakan? Tidak masalah jika kita memberi perhatian pada kesusahan orang lain atau kelompok masyarakat lain yang jauh dari kita. Namun, kita juga perlu ingat bahwa di sekitar kita juga ada orang yang memerlukan perhatian dan pertolongan. Mereka yang membutuhkan aksi nyata dari kasih yang selama ini kita baca, dengarkan, dan rasakan langsung dalam hidup. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk mewujudnyatakan kasih di dalam keluarga, di lingkungan kerja, di tengah jemaat, dan di manapun kita berada.

Arnold