Mei 2016

ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 1 Mei 2016 (Minggu Paskah 6)

MEI : BULAN OIKOUMENE

Saudara-saudara anggota jemaat dan saudara-saudara simpatisan GKI Pengadilan, Bogor yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus. Tanpa terasa hari ini kita sudah memasuki bulan yang kelima dalam tahun ini. Kita patut bersyukur kepada Tuhan yang selalu menyertai dan melindungi kita sampai saat ini. Eben Haeser, sampai di sini Tuhan telah menyertai dan menolong kita.

Bagi gereja-gereja di Indonesia (dalam lingkup Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) bulan kelima yaitu bulan Mei selalu dihubungkan dengan oikoumene, sehingga disebut sebagai bulan oikoumene. Apa yang Anda pahami kalau mendengar kata oikoumene? Selama ini oikoumene kerap dipahami sebagai kebaktian bersama antar denominasi gereja-gereja. Karena itu, sejak tahun 1980an seiring munculnya kebangkitan agama-agama, di Indonesia juga bermunculan kebaktian-kebaktian oikoumene baik yang dilakukan di kompleks-kompleks perumahan, perkantoran, maupun sekolah dan perguruan tinggi. Namun uniknya kebaktian oikoumene itu ternyata tidak benar-benar oikoumene karena biasanya memiliki suasana kebaktian tertentu yang berasal dari gereja tertentu dengan lagu-lagu Kristen popular yang biasanya dimiliki oleh gereja tertentu.

Perkembangan berikutnya tidak sedikit dari kebaktian-kebaktian oikoumene itu yang berubah menjadi lembaga gereja, maka hadirlah apa yang dinamakan gereja oikoumene. Gereja oikoumene ini biasanya ada di kompleks-kompleks perumahan yang terus menjamur terutama di kota-kota besar yang ada di Indonesia ini. Namun ada juga dari kebaktian-kebaktian oikoumene itu yang tidak menjadi lembaga gereja walaupun sebenarnya telah menyerupai lembaga gereja, karena menggunakan istilah persekutuan oikoumene. Walaupun pada awalnya gereja-gereja oikoumene ini tidak didukung oleh gereja-gereja mainstream yang ada di Indonesia namun akhirnya tidak sedikit dari gereja-gereja oikoumene ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia melalui kementerian agama dalam hal ini direktorat jenderal bimbingan masyarakat Kristen Protestan. Selanjutnya ada gereja-gereja oikoumene ini juga yang kemudian menjadi anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Sedangkan persekutuan oikoumene kemudian juga diasuh oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang ada di wilayah-wilayah.

Apakah sesempit itu pemahaman kata oikoumene? Kata oikoumene berasal dari bahasa Yunani : oikos (dunia/rumah) dan menein (menempati). Arti dasarnya kata oikoumene itu adalah menempati dunia/rumah, atau dunia/rumah yang ditempati. Tentu saja dunia/rumah yang ditempati itu memiliki penghuni yang beragam. Sehingga seluruh yang menghuni bumi ini adalah oikoumene. Namun selanjutnya kerajaan Romawi yang ketika itu terus memperluas wilayahnya memahami kata oikoumene itu sebagai seluruh wilayah kerajaan Romawi yang sangat luas itu. Ketika Gereja-gereja Reformasi yang pada awalnya hanya 2 aliran yaitu aliran Luther dan Calvin, serta ditambah dengan gereja-gereja yang memisahkan diri dari gereja negara yang ada di Inggris, maka menjamurlah munculnya gereja-gereja Kristen protestan yang semakin beragam. Seiring dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, para pemimpin gereja-gereja ini menyadari bahwa hidup dalam persekutuan lebih baik ketimbang hidup dalam keterpecahan. Sehingga akhirnya terbentuklah apa yang dinamakan Dewan Gereja-gereja se Dunia, yang tujuannya kembali menyatukan gereja-gereja yang telah terpecah-pecah tersebut. Upaya tersebut kemudian dikenal dengan nama oikoumene. Sehingga oikoumene itu di kalangan umat Kristen dipahami sebagai upaya untuk kembali menyatukan gereja-gereja yang telah terpecah-pecah itu.

Di Indonesia pada tahun 1950 tepatnya pada hari raya Pentakosta, 25 Mei 1950 para tokoh gereja berkumpul lalu disepakatilah untuk membentuk sebuah wadah bagi gereja-gereja yang ada di Indonesia yang kemudian dinamakan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang bertujuan membentuk GKYE (Gereja Kristen Yang Esa) di Indonesia. Namun sampai dengan tahun 1980an upaya untuk membentuk GKYE tak kunjung terwujud sehingga akhirnya diupayakan untuk menyatukan gereja-gereja di Indonesia ini melalui Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG), yang antara lain berisi Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), Pemahaman Iman Kristen Bersama (PBIK), Piagam Saling Menerima dan Saling Mengakui (PSMSM). Seiring dengan itu Dewan Gereja-gereja di Indonesia pun berubah namanya menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Seluruh gereja anggotanya kemudian memberi tambahan dalam tanda kurung kata Anggota PGI dalam nama gerejanya.

Setiap tahun berkaitan dengan lahirnya PGI yaitu tanggal 25 Mei ini PGIW (Wilayah- Propinsi) dan PGIS (Setempat: Kabupaten/kota madya) melaksanakan pertukaran pelayan firman dari gereja-gereja anggota PGI yang ada di wilayah/setempat tertentu. Biasanya dalam pertukaran pelayan firman ini menggunakan Tata Ibadah yang berasal dari gereja salah satu anggota PGI. Tujuannya agar gereja-gereja anggota PGI dapat saling mengenal dengan lebih baik lagi. Segala upaya untuk menyatukan gereja-gereja inilah yang kita kenal dengan nama oikoumene. Namun upaya penyatuannya bukan dalam arti keseragaman melainkan keberagaman. Kesatuan dalam Keberagaman (Unity in Plurality). Karenanya di Indonesia bagi gereja-gereja anggota PGI dikenal dengan nama Bulan Oikoumene. Selamat hidup beroikoumene.



Minggu, 8 Mei 2016 (Minggu Paskah 7)

GEREJA : DARI EKKLESIA MENJADI KURIAKE

Setiap tahun berkaitan dengan lahirnya PGI yaitu tanggal 25 Mei ini PGIW (Wilayah- Propinsi) dan PGIS (Setempat: Kabupaten/kota madya) melaksanakan pertukaran pelayan firman dari gereja-gereja anggota PGI yang ada di wilayah/setempat tertentu. Biasanya dalam pertukaran pelayan firman ini menggunakan Tata Ibadah yang berasal dari gereja salah satu anggota PGI. Tujuannya agar gereja-gereja anggota PGI dapat saling mengenal dengan lebih baik lagi. Segala upaya untuk menyatukan gereja-gereja inilah yang kita kenal dengan nama oikoumene. Namun upaya penyatuannya bukan dalam arti keseragaman melainkan keberagaman. Kesatuan dalam Keberagaman (Unity in Plurality). Karenanya di Indonesia bagi gereja-gereja anggota PGI dikenal dengan nama Bulan Oikoumene. Selamat hidup beroikoumene.

Berdasarkan peristiwa kebangkitan Yesus ini para murid-Nya setiap hari pertama minggu itu selalu berkumpul di serambi Bait Allah. Waktu berkumpul para murid Yesus ini berbeda dengan waktu berkumpul yang biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi dalam agama Yahudi yaitu hari terakhir dalam minggu itu : hari Sabtu sebagai hari Sabat (perhentian). Hari perhentian (Sabat) bagi para pengikut Yesus tidak lagi pada hari terakhir minggu itu (hari Sabtu) tetapi pada hari pertama minggu itu (hari Minggu). Waktu perhentian para pengikut Yesus ini semakin lama menjadi melembaga dan sampai sekarang terus dilakukan yaitu pada setiap hari Minggu. Pada hari Minggu para pengikut Yesus berkumpul untuk merayakan kemenangan Yesus atas kuasa maut. Sebab itu, bagi para pengikut Yesus hari Minggu itu menjadi penting (mungkin bukan secara kebetulan dalam bahasa Portugis hari Minggu itu berasal dari kata dominggos yang artinya Hari Tuhan).

Perkumpulan para pengikut Yesus itu kemudian dikenal dalam surat-surat Rasul Paulus dengan istilah “ekklesia”. Kata “ekklesia” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu : ek (keluar) dan kalein (memanggil). Arti harafiahnya adalah “memanggil keluar” atau “dipanggil keluar”. Maksudnya adalah para pengikut Yesus itu berasal dari “dunia”nya masing-masing. Para pengikut Yesus ini “dipanggil keluar” dari “dunia”nya untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Yesus yang bangkit. Tetapi para pengikut Yesus ini tidak semata-mata berhenti sampai masuk ke dalam persekutuan dengan Yesus saja melainkan mereka diutus kembali ke dalam “dunia” ini.

Kata “ekklesia” dalam surat-surat Rasul Paulus pada awalnya diartikan sebagai “jemaat” (gereja lokal) tetapi dalam perkembangannya menunjuk pada “gereja” (tidak hanya mencakup satu jemaat saja tetapi lebih dari satu gereja lokal). Jadi ekklesia kemudian diartikan sebagai gereja. Ekklesia atau gereja ini ada di dunia bukan hidup untuk dirinya sendiri saja tetapi harus dapat “menghidupi” dunia ini. Berdasarkan pemahaman tersebut kemudian dalam perkembangannya kita mengenal isilah “tugas gereja” di dunia ini.

Apa “tugas gereja” di dunia ini? Pada umumnya sebagai orang Kristen kita hanya mengenal tiga tugas gereja yaitu: koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), dan diakonia (pelayanan). Padahal sebenarnya tugas gereja tidak hanya 3 tetapi lebih dari 3 yaitu: persekutuan, kesaksian, diakonia, leitourgia (peribadahan), dan oikodomeo (pembangunan jemaat).

Dari kelima tugas gereja tersebut yang menjadi “ujung tombak”nya yaitu kesaksian dan pelayanan. Karena gereja harus selalu meneladan kepada Yesus yang tidak hidup untuk diri-Nya sendiri tetapi bagi dunia ini. Hidup Yesus menjadi berkat bagi dunia ini, yaitu menyelamatkan dunia ini. Maka gereja pun seharusnya dapat menjadi “sumber inspirasi” dan “saluran berkat” bagi dunia ini. Gereja itu laksana sungai yang airnya memberi kehidupan bagi segala makhluk yang hidup.

Untuk dapat mewujud-nyatakan hal tersebut di atas, maka gerejapun harus dapat melakukan pembangunan jemaat agar anggota jemaatnya dapat meningkatkan peribadahannya sehingga memiliki spiritualitas yang dapat diandalkan dalam hidup di tengah-tengah dunia ini. Gereja juga perlu melakukan pembangunan jemaat agar anggota jemaatnya dapat memiliki persekutuan yang lebih erat, kesaksian yang lebih berani, dan pelayanan yang lebih nyata.

Siapa yang harus bertanggungjawab agar tugas gereja tersebut dapat dijalankan dengan baik? Dalam kehidupan bergereja kita mengenal adanya pimpinan gereja (dalam lingkup GKI dikenal dengan nama Majelis Jemaat). Majelis Jemaat inilah yang bertanggungjawab agar tugas gereja itu dapat dijalankan dengan baik. Tugas Majelis Jemaat bukan untuk “berkuasa” atas anggota jemaat tetapi untuk “memberdayakan” anggota jemaat sehingga dapat memiliki kerinduan untuk terus meningkatkan peribadahannya, mewujudkan persekutuan yang lebih erat, kesaksian yang lebih berani, dan pelayanan yang lebih nyata.

Dalam kehidupan bergereja, pimpinan gereja (dalam hal ini Majelis Jemaat) bukan pemilik gereja. Sehebat dan seberjasa apapun seorang tokoh gereja dalam kehidupan bergereja tidak dapat mengklaim dirinya sebagai pemilik gereja. Mereka hanya alat di dalam tangan Tuhan untuk terus memelihara gereja-Nya di dunia ini. Lalu kalau begitu siapa pemilik gereja itu? Pemilik gereja adalah Tuhan Yesus sendiri. Karena itu, gereja akhirnya disebut Kuriake (MILIK TUHAN).



Minggu, 15 Mei 2016

PENTAKOSTA : HARI LAHIRNYA GEREJA

Selamat hari Minggu dan selamat berbakti kepada Tuhan. Kami berharap damai sejahtera Kristus kiranya selalu berlangsung atas kehidupan ibu-ibu, bapak-bapak, saudara-saudari baik anggota jemaat maupun simpatisan. Damai sejahtera Kristuslah yang memungkinkan kita dapat terus melangsungkan kehidupan sampai sekarang ini. Kita tahu bahwa tanpa damai sejahtera Kristus hidup kita yang kerapkali menghadapi hempasan gelombang kehidupan tidak mampu untuk dapat bertahan sampai sekarang ini. Karena itu, tidak ada ungkapan lain dari diri kita yang masih tetap bertahan sampai sekarang ini selain mengucapkan Haleluya, Puji Tuhan.

Hari ini kita merayakan Hari Raya Pentakosta. Apa itu Hari Raya Pentakosta? Dalam agama Yahudi, Hari Raya Pentakosta adalah perayaan pemberian Hukum Taurat yang diterima oleh Musa di gunung Sinai pada hari yang ke-50 dalam perjalanan umat Israel keluar dari tanah Mesir. Dalam perkembangannya kemudian ketika umat Israel telah memiliki sistem kerajaan, Hari Raya Pentakosta juga dihubungkan dengan Hari Kelahiran umat Israel sebagai satu bangsa. Ketika umat Israel telah memiliki kehidupan yang mapan, Hari Raya Pentakosta dihubungkan dengan Hari Pengucapan Syukur atas panen raya yang telah dilakukan. Karena itu, setiap dan semua umat Israel datang berduyun-duyun ke Bait Allah di Yerusalem untuk menyampaikan ungkapan syukurnya atas panen raya tersebut.

Bagi kita umat Kristiani, Hari Raya Pentakosta adalah Hari Pencurahan Roh Kudus, yang terjadi pada hari yang ke-50 setelah Kebangkitan Tuhan Yesus. Tapi Pencurahan Roh Kudus itu kapan terjadinya dan dimana? Sebenarnya yang terjadi adalah ketika umat Yahudi merayakan Hari Raya Pentakosta -dimana orang-orang Yahudi yang telah diaspora (berpencar) ke seluruh penjuru dunia berkumpul di Yerusalem- terjadilah juga pencurahan Roh Kudus kepada para murid Yesus yang sedang berkumpul di Yerusalem juga. Roh Kudus yang dicurahkan kepada para murid Yesus itu digambarkan laksana lidah-lidah nyala api yang bertebaran (Kis.2:3). Lalu dikatakan mereka penuh dengan Roh Kudus. Para murid kemudian mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain. Tapi ternyata bahasa-bahasa lain itu dimengerti oleh orang-orang Yahudi diaspora itu (Kis.2:6). Kenyataan ini menunjukkan bahwa ternyata bahasa-bahasa lain yang diucapkan oleh para murid itu adalah bahasa yang sangat komunikatif untuk memberitakan kabar sukacita itu.

Padahal kita semua tahu bahwa para murid Yesus itu bukanlah orang-orang Yahudi diaspora. Mereka berasal dari wilayah Galilea. Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Aram. Yesus juga ketika berkarya selama 3 tahun menggunakan bahasa Aram, karena pada umumnya orang-orang Yahudi baik yang tinggal di wilayah Galilea, wilayah Yudea maupun Samaria menggunakan bahasa Aram. Sehingga bahasa Aram itu adalah bahasa yang komunikatif di kalangan orang-orang Yahudi yang tinggal di wilayah-wilayah tersebut.

Tapi pada hari pencurahan Roh Kudus tiba-tiba para murid Yesus itu diberi dunamis (Kis.1:8 kata dunamus diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dan Lembaga Biblika Indonesia (milik Gereja Roma Katolik) dengan kata kuasa). Kata dunamus berarti memberdayakan. Jadi kalau para murid Yesus diberi dunamus, itu berarti para murid Yesus itu diberdayakan. Karena mereka diberdayakan dengan diberi kemampuan berbahasa lain, maka mereka mampu untuk tampil dan mengkomunikasikan kabar gembira itu kepada orang-orang yang sedang berkumpul di Yerusalem.

Khotbah Petrus adalah contohnya. Petrus sama seperti para murid Yesus yang lainnya memiliki bahasa sehari-hari yaitu bahasa Aram. Tapi pada hari pencurahan Roh kudus ia diberdayakan untuk mengkomunikasikan kabar gembira kepada orang-orang Yahudi diaspora yang sedang berkumpul di Yerusalem. Setelah Petrus berkhotbah dan menyampaikan ajakan pertobatan, maka tidak sedikit orang-orang Yahudi diaspora ini yang bertobat dan dibaptiskan, sehingga pada hari pencurahan Roh Kudus jumlah para murid Yesus bertambah kira-kira 3000 jiwa (Kis.2:41). Inilah gereja pertama yang terbentuk pada Hari Raya Pentakosta.

Karena itu, dalam pemahaman umat Kristiani, Hari Raya Pentakosta tidak hanya semata-mata dirayakan sebagai Hari Pencurahan Roh Kudus saja tetapi dirayakan sebagai Hari Lahirnya Gereja. Di Indonesia, kita tahu bahwa Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) sekarang jadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dibentuk pada Hari Raya Pentakosa, 25 Mei 1950. Sebab itu, pada Hari Raya Pentakosta ini sebagai umat Kristiani kita patut untuk menyampaikan ucapan Selamat Hari Lahirnya Gereja.

Dalam tradisi GKI, Hari Raya Pentakosa tidak hanya dirayakan sebagai Hari Lahirnya Gereja saja tetapi dihubungkan tradisi yang pernah ada dalam agama Yahudi dimana orang-orang Yahudi dari berbagai tempat membawa hasil panen pertamanya untuk dipersembahkan kepada Tuhan di Bait Allah. Karena itu, dalam tradisi GKI pada Hari Raya Pentakosta, setiap dan semua anggota jemaat dan simpatisan diberi kesempatan untuk menyampaikan persembahan syukur tahunannya. Sebab itu, pada hari ini kita akan menyampaikan persembahan syukur tahunan kita. Marilah kita menyampaikan ungkapan syukur kita sebagai bentuk ketaatan kita kepada Tuhan Yesus yang telah menyelamatkan kita.



Minggu, 22 Mei 2016

BERCERMIN DARI GEREJA PERDANA

Selamat hari Minggu dan salam sejahtera untuk kita semua. Pentakosta (pencurahan Roh Kudus) yang dialami oleh para murid Yesus akhirnya melahirkan gereja yang perdana. Apa kekhasan dari gereja perdana ini? Juga, apakah bisa kita jadikan cermin untuk gereja sekarang ini?

Dalam Kis. 2:42-47 dengan jelas dan lugas Lukas memberitahukan tentang kehidupan dari gereja perdana itu. Hal-hal apa saja yang diberitahukan oleh Lukas dari kehidupan gereja perdana tersebut. Pertama, mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Tentu yang dimaksud oleh Lukas adalah bahwa gereja perdana merasa perlu untuk selalu memperlengkapi diri tentang ajaran-ajaran yang pernah disampaikan oleh Yesus kepada para murid-Nya itu. Juga, tentang kehidupan Yesus yang menjalankan tugas kemesiasan-Nya melalui jalan penderitaan sampai akhirnya bangkit dari antara orang mati dan kembali kepada Bapa di sorga. Hal lain tentu saja pada gereja perdana ini ingin agar kehidupan mereka dapat seturut dengan apa yang dikehendaki oleh Yesus yang adalah Tuhan itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bagi gereja perdana pembangunan jemaat atau pembinaan dalam arti yang luas dipandang sebagai hal yang sangat penting. Itulah sebabnya Lukas mengatakannya dengan kata “bertekun”, maksudnya mereka tidak pernah merasa jenuh untuk terus memperlengkapi diri agar dalam kehidupannya dapat menyatakan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. Lalu bagaimana dengan kita sebagai jemaat yang hidup di millennium ketiga? Hal pertama yang harus kita akui adalah bahwa kita kerap kali tidak memiliki rencana pembinaan yang menyeluruh dan sinambung. Program-program pembinaan kerap terfragmentasi dalam unit-unit yang ada dan bahkan tidak ada kesinambungannya antara unit yang satu ke unit yang lainnya. Di sisi lain, kita sebagai umat pun merasa enggan untuk mengikuti berbagai bentuk pembinaan yang dilakukan oleh gereja. Jadi untuk dapat bertekun seperti yang ada pada gereja perdana itu masih jauh dari kehidupan kita sebagai umat. Namanya cerminkan fungsinya untuk melihat yang masih kurang lalu kita memperbaikinya. Karena itu, kalau kita ingin tangguh dalam menyatakan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan; marilah mulai sekarang kita bertekun dalam pengajaran kekristenan (tidak cukup hanya melalui katekisasi saja).

Kedua, gereja perdana itu memberlakukan hidup berdiakonia dalam kehidupan bersama. Mereka dapat saling berbagi satu dengan yang lainnya. Tentu saja yang mendasari hidup berdiakonia ini adalah cinta kasih dan kejujuran. Dalam kehidupan sebagai satu persekutuan mereka belajar untuk saling berbagi. Memang seharusnya egoisme itu disingkirkan dalam kehidupan sebuah persekutuan. Laksana sebuah tubuh yang memiliki banyak anggota tubuh, semuanya harus tunduk pada perintah otak yang ada di kepala. Masing-masing anggota tubuh saling membutuhkan, saling melengkapi, dan bahkan saling berbagi antara anggota tubuh yang satu dengan yang lainnya. Dalam kerangka hidup persekutuan yang penuh cinta kasih itu kebohongan harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan mereka. Dalam hidup persekutuan yang cinta kasih itu kejujuran adalah mahkotanya. Sebagai contoh kita lihat bagaimana kisah Ananias dan Safira (Kis. 5:1-11). Anasias dan Safira telah sepakat untuk menjual sebidang tanah. Tanah tersebut tentu saja milik mereka berdua. Jadi kalau tanah tersebut juga dijual hasil penjualannya juga milik mereka. Namun di hadapan Petrus, Ananias dan Safira ini melakukan tindak kebohongan yaitu dengan menyembunyikan sebagian hasil penjualan tanah tersebut. Akibat kebohongannya atau ketidakjujurannya itulah keduanya mengalami kematian yang tragis. Berita tersebut ingin menyampaikan kepada umat pada waktu itu dan juga pada kita saat ini bahwa kebohongan atau ketidakjujuran itu dapat merusak kehidupan sebuah persekutuan. Lalu bagaimana dengan kita sebagai umat saat ini? Harus diakui bahwa tidak sedikit dari antara kita memandang bahwa kebohongan adalah hal yang biasa dan wajar, sehingga kejujuran menjadi sangat mahal. Kerap kali tidak sedikit di antara kita yang mengatakan bahwa sekali-sekali berbohong kan tidak apa-apa. Tapi biasanya kalau sudah sekali-sekali berbohong, maka akhirnya berbuat bohong itu menjadi sebuah kelaziman karena memang sudah biasa dilakukan. Kalau kita mau membangun kehidupan gereja kita sebagai sebuah persekutuan cinta kasih yang erat dan akrab, maka marilah kita buang jauh-jauh kebohongan dan kita berlakukan kejujuran yang tulus sebagai mahkotanya.

Ketiga, gereja perdana memahami bahwa hidup peribadahan bersama dan peribadahan keluarga memiliki makna yang penting bagi mereka. Lukas mengungkapkannya dengan kata-kata, “dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir”. Peribadahan bersama adalah wadah untuk berbakti kepada Tuhan yang esa itu dan sekaligus untuk memuji Tuhan Allah itu. Mereka tidak pernah absen dari ibadah bersama itu. Karena dengan ibadah bersama itu mereka dapat saling menguatkan dan mendoakan. Begitupun dengan ibadah keluarga yang dianggap sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur atas pertolongan dan berkat-Nya. Lalu bagaimana dengan kita sekarang ini? Apakah ibadah bersama itu masih kita anggap penting dan menjadi kebutuhan hidup kita? Kalau ibadah bersama itu masih menjadi kebutuhan kita dan bermakna, maka pastilah kita tidak pernah absen. Juga seberapa jauh kita masih melakukan ibadah keluarga? Ibadah keluarga adalah sarana untuk memuji Tuhan dan saling menguatkan di antara anggota keluarga, selain sebagai ungkapan syukur.

Apa yang dilakukan oleh gereja perdana itu ternyata berdampak positif. Lukas mencatat, “tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan”. Apakah yang selama ini kita lakukan dalam hidup bergereja telah berdampak positif? Kalau belum berdampak positif, maka marilah kita tiru pola hidup gereja perdana itu dalam konteks kita sekarang ini.



Minggu, 29 Mei 2016

ECCLESIA REFORMATA SEMPER REFORMANDA EST

Salam Sejahtera bagi Saudara semua. Hari ini adalah minggu ke-5 dalam bulan Mei 2016. Dalam setiap minggu ke-5, GKI (SW) Jabar memiliki tradisi untuk melakukan pertukaran pendeta dan pengumpulan persembahan dari setiap jemaat untuk dana pembangunan gedung gereja dari jemaat-jemaat GKI (SW) Jabar yang membutuhkan dan sedang membangun gedung gerejanya. Sebab itu, dalam setiap minggu ke-5 diharapkan para pendeta GKI (SW) Jabar dapat mengenal jemaat GKI (SW) Jabar lainnya yang bukan merupakan jemaat basis pelayanannya. Hari ini yang melayankan kebaktian di jemaat kita adalah seorang pendeta dari jemaat GKI (SW) Jabar Jalan Pinangsia, Jakarta kota. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa jemaat-jemaat GKI (SW) Jabar di-kelompok-an dalam 8 klasis yaitu: Klasis Cirebon, Klasis Bandung, Klasis Jakarta Utara, Klasis Jakarta Selatan, Klasis Jakarta Timur, Klasis Jakarta Barat, Klasis Priangan, dan Klasis Banten. Dari ke- 8 Klasis tersebut hanya Klasis Priangan yang jemaat-jemaatnya dalam kebaktian minggu masih menggunakan bahasa Mandarin. Jemaat GKI (SW) Jalan Pinangsia, Jakarta kota termasuk dalam Klasis Priangan. Selamat datang Pdt. Tjen Benny dan selamat melayankan kebaktian di jemaat kami.

Berbicara tentang Gereja, Marthin Luther, tokoh pembaharu Gereja, mengatakan bahwa motto Gereja Reformasi adalah Ecclesia Reformata Semper Reformanda Est. Terjemahannya: Gereja Reformasi adalah Gereja yang terus menerus harus melakukan pembaharuan. Mengapa Gereja terus menerus harus melakukan pembaharuan? Pembaharuan yang bagaimana yang seharusnya dilakukan dalam Gereja?

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Gereja tidak berada dalam “ruang hampa” tetapi Gereja hadir dalam sejarah umat manusia yang penuh dengan dinamika. Umat manusia dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Dalam millennium ke-3 ini dimana-mana kita menemukan bahwa hampir semua orang memiliki alat komunikasi yang berupa telepon genggam. Dengan telepon genggam orang dapat berkomunikasi dengan siapapun dan dimanapun. Jarak yang jauh bisa menjadi dekat. Tapi juga bisa sebaliknya jarak yang begitu dekat bisa menjadi sangat jauh. Contohnya kalau dalam sebuah keluarga setiap anggota keluarga sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing, maka komunikasi antar anggota keluarga bisa-bisa terabaikan. Perubahan yang sangat mencolok dalam masyarakat kita adalah dalam hal “gaya hidup”. Misalnya dalam soal makanan, kalau dulu umat manusia itu sangat dekat dengan alam, maka makanan yang berupa sayur mayur tidak pernah ketinggalan. Tapi sekarang dimana-mana orang lebih memilih makanan yang siap saji. Selain perkembangan dalam semua bidang keilmuan yang ada, juga terjadi pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat kita.

Apakah Gereja yang hadir dalam sejarah umat manusia itu harus mengikuti perubahan dan perkembangan yang sedang terjadi? Kalau Gereja harus mengikuti perubahan dan perkembangan yang sedang terjadi, maka Gereja pada akhirnya akan menjadi limbung sendiri. Atau Gereja berprinsip seperti “anjing menggonggong, tetapi kafilah tetap berlalu”? Biarlah perubahan dan perkembangan terjadi dalam masyarakat tetapi Gereja tidak perlu ikut-ikutan berubah. Kalau hal yang disebut terakhir itu yang terjadi, maka niscaya Gereja akan ditinggalkan oleh umatnya. Lalu kalau begitu bagaimana Gereja harus merespon jamannya yang terus berubah tersebut?

GKI adalah Gereja Calvinis yang sedikit Metodis. Walaupun GKI adalah Gereja Calvinis tetapi tidak semua ajaran Johannes Calvin juga diterima dan diberlakukan di GKI. Contohnya: GKI tidak menerima ajaran Predestinasi. Begitu pun tidak semua ajaran Metodis diterima oleh GKI. Misalnya: GKI memahami keselamatan manusia itu bukan hanya soal jiwa saja tetapi keselamatan itu bersifat holistik (menyeluruh). Karena itu, berkaitan dengan motto Gereja Reformasi, GKI tentu perlu tetap berpegang pada prinsip utama yang tidak boleh berubah misalnya antara lain: keselamatan itu hanya di dalam Tuhan Yesus Kristus (tetapi juga tidak sekonyong-konyong lalu menghakimi bahwa yang di luar itu tidak selamat). Gereja itu hadir di dunia ini karena karya Roh Kudus, Roh Kudus adalah Roh Kebenaran, Roh Ketertiban, dan Roh Keteraturan. Jadi perubahan dan pembaharuan yang seperti apa yang perlu dilakukan oleh GKI?

Sekarang ini tidak sedikit dari antara kita yang bertanya: mengapa dalam kebaktian kita tidak boleh bertepuk tangan? Gereja yang sejak awal dalam penyelenggaraan kebaktiannya itu memiliki tradisi tepuk tangan, berjingkrak-jingkrat, dsb itu adalah Gereja Pentakosta. Jadi kalau kita menginginkan tepuk tangan ada dalam penyelenggaraan kebaktian yang kita lakukan, maka sebenarnya secara prinsip kita ingin menjadikan Gereja kita yang Calvinis dan sedikit Metodis itu menjadi Gereja Pentakosta. Karena itu, masalahnya bukan soal boleh atau tidak boleh bertepuk tangan dalam kebaktian kita, tetapi berkaitan dengan prinsip kita sebagai Gereja. Perubahan dan pembaharuan tetap dimungkinkan (bahkan harus dilakukan) dalam gereja kita. Misalnya: Alat musik adalah sarana kita memuji Tuhan, jadi seharusnya alat musik itu bukan pengiring nyanyian umat tetapi harus jadi penggiring umat agar dapat memuji Tuhan dengan baik, benar, dan sungguh. Pemberitaan Firman yang disampaikan tidak lagi seperti “cerita sekolah Minggu” tetapi harus bernas dan relevan dengan kehidupan umat. Unsur devosional (hidup bakti) umat harus mendapat tempat dalam kebaktian yang dilakukan. Dalam rangka pemanfaatan telepon genggam yang dimiliki oleh umat dan juga demi penghematan anggaran belanja, tentu tidak ada salahnya warta jemaat itu tidak perlu dicetak (paperless), tetapi di pintu masuk ruang kebaktian dipasang “simbol” tertentu yang dapat difoto oleh umat, sehingga terekamlah semua warta jemaat tsb.