Februari 2016

 

ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 7 Februari 2016

MASA RAYA PASKAH: BUKAN SEKEDAR RUTINITAS ATAU RITUAL

Jemaat yang terkasih, tanpa terasa kita sudah memasuki bulan Februari. Bulan kedua di tahun 2016. Kabut asap telah diganti dengan musim hujan dan banjir yang melanda di berbagai daerah. Cuaca tidak menentu akibat dari El Nino yang sungguh memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian dunia. Dunia juga terus dikejutkan dengan melemahnya perekonomian dunia, merosotnya harga minyak yang akhirnya berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.

Pada saat yang bersamaan, bulan ini juga menghadirkan harapan dan sukacita. Hari raya tahun baru China atau Imlek diharapkan dapat menggerakkan perekonomian, baik pariwisata maupun konsumsi. Februari juga sering disebut sebagai bulan cinta kasih karena pada bulan ini dirayakan hari Valentine atau hari kasih sayang. Dekorasi dan hiasan di berbagai pusat perbelanjaan dan sudut-sudut kota menawarkan keceriaan warna merah dan pink. Semuanya menawarkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bersama.

Sebagai umat Tuhan kita juga mulai memasuki Masa Raya Paskah. Masa di mana umat Tuhan diajak untuk menyadari dan menghayati jalan penderitaan atau jalan salib yang dipilih Tuhan Yesus. Jalan yang dipilih sebagai tanda ketaatan kepada Allah Bapa yang mengutus-Nya sekaligus sebagai bukti cinta kasih-Nya kepada manusia. Saat manusia dihanyutkan oleh berbagai godaan dan iklan yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan kehormatan orang harus bergerak naik (kedudukan, jabatan, kekayaan, ketenaran) sebagai panggung kehormatan, Tuhan Yesus menempuh jalan sebaliknya. Ia memilih jalan yang banyak dihindari dan tidak disukai banyak manusia: hidup dalam ketaatan kepada kehendak Bapa untuk menyelamatkan manusia. Jalan cinta kasih yang Tuhan Yesus pilih membawaNya pada pengurbanan diriNya. Saat manusia memilih jalan cinta kasih maka memberi diri adalah bukti yang tidak bisa ditawar. Tuhan Yesus melakukan ini semua bukan karena terpaksa tetapi karena cinta-Nya kepada Saudara dan saya.

Perarakkan Masa Raya Paskah dimulai dengan ibadah Rabu Abu. Rabu Abu pada tahun ini jatuh pada tanggal 10 Februari 2016. Tradisi ibadah Rabu Abu belum lama dilakukan di GKI, tetapi hal ini tidak mengurangi makna yang akan dan harus dihayati dalam pelaksanaannya. Rabu Abu membawa umat pada kesadaran akan kefanaannya. Manusia yang jatuh dalam dosa menuai maut sebagai akibatnya. Manusia akan kembali menjadi tanah, karena dari sanalah ia diambil, “sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3:19). Apakah manusia akan kehilangan harapannya? Allah tidak akan membiarkan manusia dalam keputusasaan atau hidup tanpa harapan. Maka kepada kita diundang untuk percaya kepada Injil Kristus. Kristus membawa kabar sukacita pada manusia. Dosa menghilangkan pengharapan tetapi Kristus menawarkan pengharapan.

Rabu Abu mengajak umat untuk menghayati karya Kristus yang bersedia menempuh jalan salib. Jalan penderitaan untuk membawa manusia kembali kepada hidup yang berlimpah damai sejahtera. Rabu Abu juga ditandai dengan tanda pengolesan abu pada kening umat. Abu yang menyimbolkan kefanaan berjumpa dengan salib Kristus yang melambangkan keselamatan. Maka menghayati siapa dirinya (yang fana) dan harapan yang ada dalam Kristus hendaknya menjadi dasar dari pelaksanaan ibadah Rabu Abu dan pengolesan abu di kening umat. Pada saat yang sama ritual ini harus disertai dengan komitmen yang kuat dari umat agar melahirkan perubahan-perubahan yang lebih benar dalam kehidupan setiap hari. Lebih dari itu diharapkan umat mengalami transformasi dalam keseluruhan hidupnya. Apalah artinya sebuah praktik keagamaan bila hal itu tidak membawa perubahan dalam kehidupan setiap hari, kecuali kesia-siaan belaka.

Sebagai bagian dari kalender gerejawi, Rabu Abu menjadi pembuka bagi umat untuk menghayati dan merayakan Masa Raya Paskah dengan kesiapan diri yang baik dan benar. Selain pengolesan abu pada kening, Rabu Abu juga menjadi awal dimulainya puasa pra paskah. Puasa ini diawali pada Rabu Abu dan berakhir pada Sabtu Sunyi. Jemaat diajak untuk berpuasa selama 40 hari, kecuali hari Minggu. Puasa mengajak dan mengajarkan kepada umat bahwa dalam kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia (menahan lapar dan haus, mengendalikan diri, mengelola nafsu atau berpantang terhadap hal-hal yang harus kita hindari dan buang) kita hanya bisa berharap kepada anugerah Allah saja. Puasa juga mengajarkan kepada umat untuk mengarahkan hidupnya kepada Allah.

Penghayatan yang benar terhadap praktek-praktek ibadah diharapkan dapat memberi pengharapan dan kekuatan kepada umat dalam menghadapi dan menjalani hidup yang tidak selalu mudah. Agar umat tidak mudah menyerah dan kalah terhadap godaan dan tantangan tetapi memiliki kekuatan dan pengharapan dalam kasih Kristus. Oleh sebab itu umat diajak untuk belajar dari penderitaan yang dialami oleh Kristus. Penderitaan tidak selamanya akan membuat manusia jatuh dan kalah. Penderitaan yang diolah dan dihadapi dengan kesadaran diri (bukan karena nasib) dan cinta kasih serta ketulusan akan menjadi kekuatan dalam hidup setiap hari. Bukan berarti kita harus menyiksa diri dan mencari penderitaan. Tetapi penderitaan mengajarkan dan menghantarkan kita pada kesadaran betapa lemah dan fananya kita manusia. Tetapi dalam Kristus senantiasa tersedia pengharapan dan kekuatan. Selamat memasuki Masa Raya Paskah. Selamat menyambut Rabu Abu. Kiranya Tuhan Yesus senantiasa menuntun setiap langkah hidup Saudara untuk terus berjuang menghadapi setiap tantangan yang menghadang. Tuhan Yesus memberkati.


Minggu, 14 Februari 2016

PENCOBAAN DAN UJIAN

Jemaat yang terkasih, selamat memasuki Minggu PraPaskah I. Kiranya setiap kita dimampukan belajar memaknai setiap hal yang terjadi dalam hidup yang kita jalani dalam terang firman Tuhan. Termasuk di dalamnya kita belajar mengerti dan memahami setiap pencobaan atau ujian yang ada dalam kehidupan kita sehingga semuanya itu membawa kita semakin dekat dengan Tuhan. Sepenggal lagu lama dari Eddy Silitonga bercerita tentang hidup yang bergelut dengan penderitaan: “……. hidupku yang sengsara, penuh dengan penderitaan, oh Tuhan tolong tunjukkan jalan kehidupan, jauhkan cobaan, dariku……” Lagu ini menggambarkan hidup yang tidak pernah lepas dari pergumulan dan penderitaan. Tetapi lagu ini juga berisi pengharapan. Harapan kepada Tuhan untuk menunjukkan jalan hidup yang harus ditempuh.

Siapakah di antara Saudara yang belum pernah mengeluh mengenai berbagai pergumulan dalam hidupnya? Rasanya hampir semua orang pernah mengeluh tentang berbagai masalah yang dihadapinya. Sikap ini sebenarnya wajar, karena selama kita hidup, kita akan berhadapan dengan berbagai permasalahan kehidupan. Dulu, Pak SBY juga sering mengeluh tentang berbagai hal yang terjadi dalam kepemimpinannya. Permasalahan memang tidak mengenal latar belakang. Ia datang tanpa diundang, juga tanpa permisi. Kita sering menyebut permasalahan itu sebagai pencobaan atau ujian. Tetapi keduanya sebenarnya berbeda. Pencobaan berasal dari kata (Yunani: peirazo), maksud dan tujuannya untuk kejatuhan manusia, dan bersumber dari si jahat. Ini berbeda dengan ujian. Ujian berasal dari kata (Yunani: dokimion), dimana tujuan dan maksudnya adalah untuk kebaikan manusia.

Lalu dari mana datangnya pencobaan dan ujian? Pencobaan bisa berasal dari si jahat yaitu iblis atau setan. Seperti saat Tuhan Yesus dicobai. Tetapi pencobaan juga bisa berasal dari diri sendiri. seperti yang tertulis dalam Yakobus 1:14, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri…..” Sedangkan ujian bisa berasal dari Tuhan Allah, misalnya dalam kisah Abraham yang diminta Allah untuk mengorbankan Ishak, anaknya (Kejadian 22). Tetapi bisa juga berasal dari si jahat, namun Allah mengijinkannya. Seperti dalam kisah Ayub. Terkadang kita tidak bisa memberi batasan yang jelas antara keduanya, demikian juga sumbernya. Tetapi satu hal yang pasti kita harus siap menghadapi keduanya setiap saat dan setiap waktu.

Oleh karena itu yang lebih penting untuk kita perhatikan adalah bagaimanakah respon kita terhadap pencobaan yang terjadi dalam kehidupan kita. Semua orang ingin menjadi pemenang saat menghadapi pencobaan maupun ujian. Semua orang ingin segera menyelesaikan pencobaan atau ujian yang sedang dihadapinya. Tidak ada orang yang ingin hidup berlama-lama di dalamnya. Tetapi perlu disadari bahwa kemenangan janganlah menjadi tujuan utamanya. Mengapa, karena banyak orang akan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kemenangan itu. Hal yang juga perlu kita perhatikan adalah proses yang kita jalani untuk merespon semua itu. Apakah semuanya kita lakukan dengan cara yang benar.

Masa Raya Paskah mengajak kita untuk siap dan memenangkan setiap pencobaan dan ujian yang ada dalam hidup kita. Bagaimana agar Saudara menghadapi semuanya itu dan mendapati diri sebagai pemenang?

1. Berlatih untuk mendisiplinkan diri
Puasa adalah salah satu cara bagi Saudara untuk mendisiplinkan diri. Puasa berarti berjuang untuk mengendalikan diri dalam berbagai bentuk sehingga kita dapat menjalin relasi yang lebih baik dengan Tuhan. Misalnya menahan haus dan lapar, mengendalikan diri, menghindari hal-hal yang kita pandang salah, meninggalkan kebiasaan atau cara berpikir yang keliru. Dalam kelemahan dan keterbatasan biasanya godaan akan semakin besar dan berat. Seperti Tuhan Yesus setelah berpuasa 40 hari. Puasa menolong kita untuk memfokuskan diri pada panggilan hidup sebagai anak-anak Allah, sehingga kita tidak mudah tergoda dan jatuh kala menghadapi pencobaan. Paulus mengajarkan hal tersebut kepada Timotius, latihan badani (misalnya puasa) terbatas gunanya. Tetapi ketika itu kita lakukan sebagai ibadah maka akan berguna dalam segala hal (1 Tim 4:8). Bahkan juga bagi hidup yang akan datang. Luar biasa.

2. Berdoa
Berjagalah dan berdoalah menjadi ajakan dan ajaran dari Tuhan Yesus untuk murid-murid-Nya (lih. Mat. 26:41, Mar.14:38, Luk. 22:40,46). Hal ini seringkali dikuti dengan peringatan: ..”agar engkau jangan jatuh dalam pencobaan.” Doa adalah momen dimana kita menjalani relasi yang akrab dengan Allah Bapa. Doa membuat kita selalu dekat dengan-Nya. Doa juga menuntun kita untuk mendengar suara-Nya, memahami dan mengerti rencana-Nya, dan kesanggupan untuk hidup di dalamnya. Walaupun hal ini seringkali tidak mudah dan membutuhkan komitmen yang tinggi. Jalan Salib bukan hal mudah bagi Yesus tetapi Ia berkomitmen untuk menghidupinya. Semua pencobaan dan ujian Ia lalui, karena Ia memiliki relasi yang intim dengan Bapa melalui doa-doa-Nya.

3. Rindu dan Akrab dengan firman Tuhan
Pemazmur mengatakan: “Firman-Mu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Maz. 119:105). Bagaimana Firman itu bisa menjadi pelita dan terang bagi Saudara untuk menghadapi pencobaan dan ujian, bila Saudara dan saya tidak membacanya setiap hari. Firman Tuhan harus menjadi makanan yang senantiasa kita rindukan, karena itu akan memberi pertumbuhan dalam iman dan rohani kita. sehingga kita memiliki kekuatan dan senjata untuk menghadapi pencobaan dalam hidup dan serangan si jahat. Pada saat yang sama hati dan hidup kita diterangi-Nya, sehingga dapat membedakan mana kehendak Allah, keinginan kita sendiri atau jebakan si jahat.

Kiranya semua itu dapat melatih kita untuk memiliki kepekaan dalam menghadapi pencobaan maupun ujian hidup. Latihan-latihan ini menjadikan hati dan nurani kita semakin jernih, sehingga bisa memilah, memilih dan memutuskan segala sesuatu dalam terang firman Tuhan. Pada akhirnya kita percaya Roh Kudus akan senantiasa hadir untuk memimpin kita menghadapi semua pencobaan dan ujian yang Tuhan Allah ijinkan hadir dalam kehidupan kita.


Minggu, 21 Februari 2016

HIDUP DALAM KETAATAN: ANTARA KESADARAN DAN KETERPAKSAAN

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat saat ini adalah ketaatan. Pemerintah bergumul dengan ketaatan wajib pajak yang masih sulit untuk disadarkan. Juga berhadapan dengan rendahnya ketaatan warga dalam berlalulintas, membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan lingkungan dan disiplin aparatur negara. Sekolah juga terus berhadapan dengan guru, karyawan dan murid serta orang tua yang seringkali kurang taat terhadap aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Keluarga juga berhadapan dengan hal yang sama, kurangnya tanggung jawab dari setiap anggota keluarga menjadi penyumbang terbesar dari permasalahan-permasalahan yang menghancurkan keluarga. Pada saat yang sama orang percaya juga menghadapi hal yang tidak kalah peliknya. Pilihan untuk taat kepada Allah dan godaan untuk untuk mengikuti “apa kata dunia” menjadi sumber pergumulan yang terus menerus menggelisahkan hati. Pada satu sisi takut pada hukuman Allah tetapi pada sisi yang lain sulit untuk menolak kenikmatan yang ditawarkan dunia. Manusia senantiasa bergumul antara kesadaran dan keterpaksaan dalam menjalani hidupnya tatkala berhadapan dengan “aturan” dalam kehidupannya. Lalu jalan mana yang harus kita pilih? Siapa yang harus kita jadikan model dalam kehidupan kita?

Pada Masa Raya Paskah ini kita diajak untuk melihat dan menghayati jalan hidup yang dipilih oleh Yesus. Sehingga pilihan hidup itu kita hayati dan kemudian menjadi inspirasi bagi kita untuk menghidupi setiap langkah hidup kita. hal ini memang tidak mudah dan kita harus senantiasa berani belajar. Seperti yang dialami oleh Yesus: “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat, dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibrani 5:8). Dari ayat ini kita dapat belajar tentang beberapa hal. Pertama, bahwa status pertama-tama bukanlah berhubungan dengan fasilitas atau kemudahan. Bila dunia mewartakan bahwa status itu senantiasa berhubungan dengan kemudahan dan fasilitas, maka Tuhan Yesus mengajarkan bahwa status itu pertama-tama berhubungan dengan tanggung jawab. Ia Anak Allah, benar. Tetapi Anak yang diutus untuk menyelamatkan manusia. Maka Ia belajar taat ketika untuk tugas perutusanNya itu Ia harus melalui jalan yang tidak mudah. Misalnya, lahir di kandang hewan, menjadi anak tukang kayu, dan memilih hukuman salib untuk akhir hidup-Nya. Jelas bukan fasilitas yang berlimpah kemudahan dan kejayaan seperti gambaran dunia tentang Mesias di mata mereka. Bila saat ini Saudara mengaku sebagai anak-anak Allah dan kemudian merasa berhak untuk mendapatkan segala kemudahan dan semua berkat-Nya dalam hidup, itu tidak sepenuhnya salah. Tetapi apakah Saudara sudah menyadari semua tanggung jawab yang juga menyertai status kita sebagai anak-anak Allah? Hal ini penting untuk diingat agar kita tidak menjadi anak-anak Allah yang mudah marah, ngambek, putus asa dan menyerah saat banyak permintaan kita tidak tidak dikabulkan oleh Bapa kita. Tetapi semua itu justru membawa kita pada tingkat kedewasaan hidup sebagai orang beriman. Tanggung jawab kita pertama-tama adalah hidup dalam kehendak dan rencana-Nya. Hal ini akan membawa kesadaran bahwa hidup dalam rencana-Nya lebih penting dari semua keinginan kita. Hidup dan taat pada kehendak-Nya adalah prioritas pertama dalam hidup Saudara sebagai anak-anak Allah.

Kedua, belajar taat. Artinya menjadi taat karena kesadaran dan bukan karena ketakutan atau keterpaksaan adalah hal yang tidak mudah. Sebuah proses panjang yang membutuhkan kemauan dan pengertian akan jalan hidup yang ditempuh. Tuhan Yesus sadar bahwa Ia hadir di dunia untuk melaksanakan kehendak dan rencana Bapa, bukan kehendak-Nya sendiri. Maka di sepanjang hidup-Nya, Ia senantiasa belajar taat apa yang menjadi kehendak Bapa. Misalnya saat Ia harus dibaptis oleh Yohanes. Ketika Yohanes menolak untuk membaptis-Nya, Ia berkata: “Biarlah hal ini terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (Matius 3:15b). Tuhan Yesus senantiasa belajar taat dari semua hal yang Allah kehendaki dalam hidup-Nya. Ia harus berhadapan dengan berbagai godaan dari yang paling halus sampai hal yang keras. Kapan terakhir kali Saudara berkata: “Bapa biarlah ini terjadi dan jadilah rencana-Mu dalam hidupku.” Tetapi ingat, ungkapan ini bukanlah cerminan putus asa apalagi menyerah. Tetapi ungkapan yang dipenuhi kesadaran untuk menerima yang paling sulit sekalipun dalam kehidupan Saudara. Misalnya saat kehilangan orang terkasih, saat penyakit yang kita alami tidak kunjung sembuh, saat pergumulan yang harus kita hadapi semakin berat, saat kita harus menerima “kekalahan” dalam perkara yang kita hadapi ataupun saat segala sesuatu dalam hidup terlihat semakin sulit. Belajar dari penderitaan memang tidak selalu mudah. Dan tidak akan pernah mudah! Tetapi bukan berarti tidak bisa. Saudara tidak berjuang dan menghadapinya seorang diri. Mungkin ada kalanya kita merasa sendirian, karena mereka yang kita harapkan tidak hadir dan menguatkan kita. Seperti Ayub yang ditinggalkan istrinya disaat ia membutuhkannya. Tuhan Yesus yang telah melalui semua itu tahu siapa kita (lihat Ibrani 4:14-16). Saudara yang terkasih, ketaatan tidak datang begitu saja, tetapi harus melalui sebuah proses yang dibarengi dengan kesadaran dan kemauan diri yang kuat.

Ketiga, penderitaan sebagai pembentuk kehidupan. Banyak orang memandang penderitaan identik dengan hukuman, baik dari sesama atau dari Tuhan, maka mereka takut dan menghindar. Bagi seorang Novak Djokovic, petenis nomor satu dunia saat ini. Pengalaman bersentuhan dengan penderitaan yang dialaminya di usia 12 tahun. Saat Serbia negaranya hancur luluh diserang oleh pasukan NATO. Hal ini justru memberinya semangat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa penderitaan yang dialaminya tidak akan membuatnya terpuruk tetapi melecutnya untuk berprestasi. Bagi iblis penderitaan juga bukan jalan yang disarankannya, maka ia mencobai Yesus untuk menghindari jalan penderitaan dan menggunakan statusnya sebagai Anak Allah untuk memilih jalan yang mudah. Lihat Matius 4:1-11, tiga pencobaan di padang gurun. Ia mengatakan tidak pada semuanya itu. Bagi Yesus penderitaan tidak identik dengan hukuman. Tetapi seandainya itu adalah hukuman dan Ia harus melalui-Nya, demi ketaatan kepada Bapa dan bukti cinta-Nya pada manusia, maka Ia akan menempuh-Nya. Bukankah melalui bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh? Bukankah hukuman yang seharusnya kita tanggung, telah diambil-Nya? Bukankah kematian-Nya telah mendamaikan kita kembali dengan Allah? Lalu apa buah dari ketaatan Tuhan Yesus?

Ibrani 5:9 mengatakan: “dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya. Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” Hidup Tuhan Yesus tidak sia-sia. Walaupun ada yang memandangnya demikian saat Ia mati di kayu salib. Tetapi semua itu justru dipakai Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Semua ketaatan Tuhan Yesus yang disertai dengan kesadaran dan bukan keterpaksaan telah menyempurnakan kasih Allah kepada dunia. Sehingga semua yang taat kepada Kristus juga akan menuai keselamatan dalam hidupnya. Saudara yang terkasih, mari kita belajar taat bukan karena takut tetapi karena kita mengasihi Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Selamat memasuki Minggu Prapaskah yang kedua dalam hidup yang terus berjuang dan belajar untuk taat kepada Allah. Tuhan Yesus memberkati.


Minggu, 28 Februari 2016

MELIHAT HIDUP MELALUI NYANYIAN

Apakah Saudara pernah menyanyi? Mungkin Saudara akan menjawab: “Suara saya tidak bagus” atau “Suara saya fals” atau “Saya tidak bisa menyanyi.” Suara tidak bagus atau fals bukan alasan utama untuk tidak pernah bernyanyi. Banyak orang yang suaranya pas-pasan atau fals sekalipun, sangat percaya diri untuk bernyanyi atau mengikuti ajang pencarian bakat. Bernyanyi dalam berbagai bentuknya (bersuara keras, atau berguman atau dalam hati) menjadi bagian dari kehidupan manusia. Nyanyian bisa menjadi alat untuk mengekspresikan isi hati. Bagi orang Kristen nyanyian tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya sehari-hari. Berbagai moment kehidupan senantiasa diwarnai dengan nyanyian-nyanyian sebagai ekspresi dari apa yang dirasakannya. Saat orang mengadakan ucapan syukur atas kelahiran atau pernikahan serta kematian orang terkasih pun nyanyian menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Tata ibadah pun diwarnai dengan nyanyian-nyanyian sebagai ekspresi dari apa yang kita rasakan atau respon dari apa yang kita dengar. Misalnya, pengakuan dosa tidak berhenti dalam doa tetapi juga disambut dengan nyanyian. Bisa jadi nyanyian yang kita nyanyikan lebih terasa dan mengena dengan pergumulan kita. Persembahan yang kita bawa sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan juga disertai dengan nyanyian. Diharapkan nyanyian itu akan menjadi ungkapan syukur yang saling melengkapi dengan uang yang kita dikumpulkan. Pada akhir ibadah juga ada nyanyian yang menjadi penegasan kepada umat untuk melakukan apa yang telah didengar dalam kehidupan setiap hari. Bisa juga nyanyian itu berisi janji penyertaan Tuhan untuk umat dalam kehidupan setiap hari. Sangat dimungkinkan lagu-lagu itu tidak hanya kita nyanyikan pada saat ibadah atau persekutuan, tetapi dinyanyikan di berbagai kesempatan dalam kehidupan kita. Ini menandakan bahwa nyanyian bisa menjadi ekspresi yang dinamis dalam kehidupan kita.

Bagaimana perasaan Saudara ketika menyanyikan lagu di bawah ini:
Jalan hidup tak selalu tanpa kabut yang pekat.
Namun kasih Tuhan nyata pada waktu yang tepat.
Mungkin langit tak terlihat oleh awan yang tebal.
Di atasnyalah membusur p’langi kasih yang kekal.
Habis hujan tampak p’langi bagai janji yang teguh
Di balik duka menanti p’langi kasih Tuhanmu. (NKB 170:1).
Pada saat kita menghadapi pergumulan dan kemudian kita menyanyikan lagu ini, kita akan mendapat kekuatan, dukungan dan semangat. Kita tidak sendirian, ada kasih Tuhan yang menyertai pergumulan kita. Dibalik permasalahan atau pergumulan atau tantangan ada keindahan yang dilambangkan dengan pelangi.
Lalu bagimana dengan lagu ini:
Meski tak layak diriku
Tetapi kar’na darah-Mu
Dan kar’na Kau memanggilku
‘Ku datang Yesus pada-Mu (KJ 27:1).

Tergambar jelas dalam hati dan hidup kita bahwa pengampunan yang kita terima dari Tuhan Yesus itu sungguh-sungguh anugerah yang ajaib. Sesungguhnya kita tidak layak, maka kita tertunduk takut, ragu, malu…….tetapi karena Tuhan Yesus memanggil, maka kita berani maju dan mendekat.

Perasaan apa yang tergambarkan saat Saudara menyanyikan lagu ini:
Berlimpah sukacita di hatiku, di hatiku, di hatiku
Berlimpah sukacita di hatiku tetap di hatiku
Aku bersyukur, bersukacita, kasih Tuhan diam di dalamku
Aku bersyukur bersyukacita, kasih Tuhan diam di dalamku (PKJ 216:1).

Perasaan sukacita atas kasih Tuhan yang kita rasakan dalam kehidupan kita. Ungkapan sukacita yang membuat hidup penuh dengan kegembiraan, keceriaan, pengharapan dan optimisme. Nyanyian sungguh bisa mewakili perasaan kita, mendatangkan kekuatan dan penghiburan. Hampir semua moment yang hadir dalam hidup dapat diungkapkan dalam sebuah nyanyian. Beberapa nyanyian di atas adalah karya orang-orang yang mengekspresikan hidupnya: apakah itu harapannya, kekagumannya, sukacitanya dan bisa menjadi berkat bagi banyak orang.

Oleh karena itu tidak jadi masalah apakah Saudara dan saya bisa bernyanyi, suka bernyanyi atau suara kita fals sekalipun, yang lebih penting adalah: apakah hidup kita memuliakan Allah? Apakah melalui hidup kita orang di sekitar kita akan mendapatkan berkat. Pikiran kita, kata-kata kita, perbuatan kita adalah rangkaian nyanyian yang kita dendangkan setiap hari. Ingatlah, semua itu mencerminkan siapa kita, kepada siapa kita percaya dan apa tujuan hidup kita? Syair kehidupan kiranya tercipta dari hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.