Mei 2019
Minggu, 5 Mei 2019
PERJUMPAAN YANG MEMULIHKAN
Perjumpaan yang memulihkan, demikianlah tema kita pada hari Minggu Ini. 5 Mei 2019. Kita akan melihatnya dengan dua bacaan perikop Alkitab pada hari ini, yaitu yang pertama dari Kisah Para Rasul 9:1-20 dan yang kedua dari bacaan Injil Yohanes 21:1-19.
Dalam perjumpaan dengan Tuhan Yesus Kristus setelah Ia bangkit dari antara orang mati, dalam perjalanan ke Damsyik sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 9. Perjumpaan yang memulihkan, mengubahkan dan membarui, jalan kehidupan seorang Saulus, yang menjadi Paulus, sebagai seorang yang dipenuhi kebencian dan keangkaramurkaan menjadi seorang yang diipenuhi kasih Allah, sehingga ia rela melepaskan segala sesuatunya demi Tuhan Yesus Kristus. Perjumpaan itu menjadi pergaulan, dimana ia rela mati demi Tuhannya, yang sangat mengasihiya. Menurut cerita tradisi gereja, rasul Paulus mati sebagai martir (saksi) Tuhan Yesus Kristus di tangan kaisar Roma, Nero. Dengan kepala yang terpisah dengan tubuhnya, dipancung.
Untuk ketiga kalinya menurut penulis Injil Yohanes, Yohanes 21, perjumpaan Tuhan Yesus Kristus dengan para murid-Nya terjadi di danau Tiberias. Dalam perjumpaan itu, Tuhan Yesus secara khusus mengadakan dialog dengan Petrus yang sampai tiga kali menyangkali bahwa ia tidak mengenal-Nya, alias ia bukanlah murid-Nya. Menurut Injil Markus, penyangkalan Petrus itu terjadi bertingkat, pertama penyangkalan biasa, kedua penyangkalan dengan mengutuk dan yang terakhir penyangkalan dengan sumpah. Demikianlah cara kerja kuasa dosa. Dalam dialog itu, Tuhan Yesus menanyai Petrus sampai tiga kali, ”Simon, anak Yohanes, apakah mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada Tuhan Yesus Kristus: ”Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Dalam dialog itu Tuhan Yesus Kristus ingin mengurangi kecemasan Petrus dan memulihkannya dari penyesalan yang mendalam karena telah menyangkali-Nya. Di sinilah titik balik seorang Petrus. Dari penyesalan yang mendalam, dia mengalami pemulihan. Akhirnya dengan yakin dia tetap menjawab bahwa ia mengasihi Tuhan Yesus Kristus dengan kasih seorang sahabat yang bersedia mati bagi-Nya. Perjumpaan dengan Tuhan Yesus Kristus, setelah kebangkitan-Nya benar-benar telah memulihkan Petrus dari ketakutannya, dari kekalutannya serta dari keterpurukannya karena penyesalan akan kesalahannya sekaligus mengubah dan membarui diri Petrus untuk menjalankan misi yang dipercayakan Tuhan Yesus Kristus kepadanya. Menurut cerita tradisi gereja, Petrus mati sebagai martir (saksi) Tuhan Yesus Kristus. Ketika kota Roma dibakar oleh kaisar Nero, Petrus hendak lari menyelamatkan diri, tetapi dalam pelariannya ia berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus. Ketika ia dieksekusi mati dengan disalib, ia meminta agar disalib dengan kepala terbalik.
Forum Pendeta
Minggu, 12 Mei 2019
MENGENAL YESUS DALAM SELEBRASI
Mengenal Yesus dalam selebrasi, demikianlah tema kita pada hari Minggu ini, 12 Mei 2019. Kita akan melihat diri kita sebagai umat selebrasi, yaitu umat yang aktif menjaga, memelihara serta merayakan hari raya keagamaan dengan konsisten, konsekuen, tekun dan semarak, tetapi terlewati untuk belajar mengenali karya TUHAN, Allah Bapa, yang di dalam Yesus Kristus, dengan mendengarkan suara-Nya dan mengikuti teladan-Nya. Situasi dan kondisi seperti itulah yang dialami orang-orang Yahudi pada masa Yesus Kristus hidup sebagai manusia. Sebagai orang Yahudi mereka kaya dengan peringatan hari-hari raya keagamaan. Salah satunya adalah hari raya Penahbisan Bait Allah. Mereka sudah merayakan hari raya itu hampir dua ratus tahun sebelum Yesus Kristus menjadi Manusia. Mereka bukan hanya merayakan tetapi juga menjaga dengan sebaik-baiknya perayaan tersebut. Justru disinilah letak permasalahan kehidupan beriman mereka. Perayaan yang mereka lakukan tidak menolong mereka memahami dan menghayati kepada pengenalan akan karya Allah dan kebenaran Firman-Nya. Mereka terjebak menjadi umat selebrasi, padahal TUHAN, Allah Bapa menghendaki mereka menjadi umat domba-domba Allah.
Pembacaan Injil menurut Yohanes 10:22-30 menolong kita memahami persoalan tersebut dan bagaimana supaya terlepas dari kondisi itu. Ada tiga hal supaya kita terlepas menjadi umat selebrasi dan menjadi umat domba-domba Allah. Pertama, dalam Yohanes 10:11 Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Karena Tuhan Yesus Kristus dengan kasih-Nya yang begitu besar kepada umat manusia, Ia merelakan mati terhina dan terkutuk di kayu salib. Kita percaya dan mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada-Nya, bahwa Ia adalah Kristus (=Mesias), Raja Ilahi yang dinanti-nantikan umat percaya. Kedua, dalam Yohanes 10:27 Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku. Kebenaran Injil Tuhan Yesus Kristus haruslah digumuli terus menerus dalam ketaatan dan kesetiaan kita sebagai domba-damba-Nya. Penggarapan TUHAN, Allah Bapa, di dalam jaminan Parakletos (=Roh Kudus) yang terus berkarya menolong kita supaya kita dimampukan mengarungi badai kehidupan di dunia ini sampai kita tiba di labuhan abadi, hidup yang kekal. Kita digarap terus menerus, dari kita yang notos (bahasa Yunani), anak yang tidak sah, hingga kita digarap terus oleh Roh Kudus menjadi huios (bahasa Yunani), anak yang sah. Ketiga, dalam Yohanes 10:30 Aku dan Bapa adalah satu. Kesatuan Tuhan Yesus Kristus dengan TUHAN, Allah Bapa, dinyatakan di dalam semua Firman dan karya-Nya yang menyelamatkan umat manusia. Mengenal Yesus dalam selebrasi.
Forum Pendeta
Minggu, 19 Mei 2019
MENCINTAI TANPA BATAS
Mencintai tanpa batas. Inilah tema kita pada hari Minggu Ini, 19 Mei 2019. Di dalam Injil menurut Yohanes 13:1 berbunyi demikian ”Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.” Tuhan Yesus Kristus ketika menjadi Manusia telah menyatakan kasih-Nya sampai kepada kesudahannya, itu berarti tanpa batas kepada semua murid-Nya, termasuk Yudas Iskariot yang mengkhianati Dia, dan Simon Petrus menyangkali Dia. Kasih-Nya kepada umat manusia tanpa batas. Hanya respon manusia juga seharusnya tanpa batas, bagaimana dengan Saudara? Tuhan Yesus berfirman demikian di dalam Yohanes 13:34 Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.
Perintah baru, hal itu akan menjadi baru, karena sama seperti Aku telah mengasihi kamu. Jadi tolok ukurnya, kasih (=agape) Tuhan Yesus Kristus yang telah diwujudnyatakan dengan pengurbanan diri-Nya sampai Dia meregang nyawa, mati, di kayu salib, Golgota.
Pengalaman menyakitkan yang akan Ia alami yaitu seorang dari para murid-Nya akan menyerahkan-Nya. Yesus Kristus membawa hal ini dalam percakapan di meja makan. Percakapan yang jelas bagi Yesus Kristus dan Yudas Iskariot tetapi tidak bagi para murid lainnya. Yesus Kristus melakukan tugas pelayanan penggembalaan yang bersifat umum kepada semua murid-Nya dan yang bersifat khusus kepada Yudas Iskariot. Tuhan Yesus mengangkat topik ini untuk mengingatkan dan memperingatkan Yudas Iskariot agar ia mempertimbangkan lagi apa yang akan dia lakukan, Yudas Iskariot memilih untuk pergi, ia kerasukan iblis. Dalam Injil Yohanes 6:70 berbunyi demikian: “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang di antaramu adalah Iblis.” Yudas Iskariot tetap pada rencananya sekalipun Yesus Kristus sudah membicarakan dan memperingatkannya. Jelaslah, bahwa dalam peristiwa ini Yesus Kristus telah mencintai tanpa batas kepada semua murid-Nya. Apa pun yang dilakukan para murid, Yesus Kristus tetap mengasihi.
Sebagai orang percaya, perintah baru untuk saling mengasihi menjadi penting karena pengalaman berikutnya? Dengan mengasihi mereka bisa mengalami pengalaman yang menyakitkan, pengalaman penuh traumatis. Yesus Kristus mengingatkan agar hidup orang percaya harus ada di dalam kasih. Hanya dengan sikap saling mengasihi maka pengalaman-pangalaman itu akan dipulihkan dan daripadanya akan tumbuh kualitas relasi yang semakin kokoh untuk terus menerus bergiat melakukan kehendak Allah. Mencintai tanpa batas.
Forum Pendeta
Minggu, 25 Mei 2019
AKU CINTA INDONESIA
Oleh: Pdt. Markus Hadinata
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu
kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”
(Yer. 29:7)
Pada tanggal 20 Mei 2019 lalu kita memperingati suatu hari yang penting dan bersejarah dalam perjalanan hidup bangsa kita, yakni hari Kebangkitan Nasional. Mengapa disebut sebagai hari Kebangkitan Nasional? Sebab, rakyat Indonesia yang sebelumnya masih terkotak-kotak dalam identitasnya masing-masing, kini mulai membangun kesadaran sebagai satu saudara sebangsa dan setanah air.
Kesadaran sebagai satu bangsa dan tanah air mulai muncul ketika rakyat merasa senasib dan sepenanggungan di bawah penjajahan bangsa lain. Dari sini, mereka mulai menggalang persatuan yang tidak lagi dibatasi oleh identitas kesukuan atau keagamaan secara sempit, melainkan sebagai sesama anak bangsa yang bersama-sama berjuang bagi kemerdekaan bangsanya.
Yeremia dalam suratnya kepada para tua-tua, imam-imam, nabi-nabi dan kepada seluruh bangsa Israel yang berada di pembuangan berpesan untuk tidak hanya meratapi nasib mereka di pembuangan Babel, melainkan untuk mengusahakan kesejahteraan kota itu serta berdoa baginya ke mana Tuhan membuang mereka. Memang, pembuangan ke Babel harus mereka alami karena pemberontakan dan ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan, tetapi Tuhan ingin memberi didikan kepada umat-Nya untuk belajar tentang arti kerendahan hati, ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan. Lebih dari itu, sekalipun mereka ada di dalam pembuangan, Tuhan ingin agar mereka bangkit dari situasi meratapi diri, lalu berbuat sesuatu bagi kota di mana mereka Tuhan buang.
Firman Tuhan katakan: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Konsekuensi dari pelanggaran mereka memang harus ditanggung, tetapi yang menarik adalah di dalam penghukuman itu Tuhan masih menaruh kasih setia-Nya bagi umat-Nya. Ia tidak ingin mereka putus asa karena kepedihan dan ratapan mereka sebagai bangsa buangan, melainkan bangkit membangun kehidupan mereka sendiri beserta anak cucu mereka nantinya.
Bila narasi Yeremia ini dikaitkan dengan kondisi di negeri kita, tentu saja situasinya lain. Kita bukanlah orang-orang buangan. Banyak dari antara kita telah lahir di bumi pertiwi sejak mulanya. Kita adalah warga negara Indonesia. Maka, seharusnya kita mampu berbuat lebih daripada orang-orang Israel di pembuangan. Kalau mereka saja sebagai bangsa buangan diminta untuk berbuat sesuatu yang mendatangkan kesejahteraan kota di mana Tuhan membuang mereka, maka kita tentu lebih dari mereka. Kita patut membangun kesejahteraan negara kita sendiri, tanah tumpah darah kita sendiri, tanah air kita sendiri.
Untuk dapat membangun kesejahteraan bangsa ini, kita tidak dapat berjalan sendiri, kita perlu bergandengan tangan dan bekerja sama dengan berbagai kalangan lintas etnis, suku, agama, politik, sosial, ekonomi, gender, usia. Bukan sebagai orang asing ataupun pendatang, melainkan sebagai warga asli di dalamnya, yakni sebagai sesama orang Indonesia.
Identitas etnis, kesukuan dan keagamaan memang tetap ada dan tidak akan pernah dapat hilang, namun kita mau meletakkan itu semua di bawah satu identitas yang menyatukan kita, yakni sebagai sesama orang Indonesia yang sama-sama mencintai negeri ini dan berupaya menghadirkan kedamaian dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Selamat hari Kebangkitan Nasional, kiranya Tuhan semakin mengukuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia lewat segenap karya yang kita lakukan bagi negeri ini.