Agustus 2016
Minggu, 7 Agustus 2016
PRIBADI YANG MEMUJI TUHAN
Bersyukur menjadi satu dari sekian banyak faktor yang membuat manusia hidup dalam kebahagiaan. Jadi bukan karena kita bahagia maka kita bersyukur. Tetapi karena kita bisa mensyukuri banyak hal yang ada dalam hidup kita maka kita menjadi bahagia. Pada saat yang sama bersyukur juga menjadi pilihan bebas dari setiap manusia. Hal ini sebagai respon atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Pada bulan ini misalnya, sebagai bangsa kita bersyukur dan memuji Tuhan yang telah mengaruniakan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Rasa syukur ini diwujudkan dalam berbagai bentuk. Berbagai ritual atau pun kegiatan digelar dan diadakan untuk merayakan kemerdekaan itu. Apakah itu upacara, lomba, “tirakatan”, pemasangan umbul-umbul, serta berkibarnya bendera merah putih di berbagai tempat. Pada saat yang sama kita juga mewarnai bulan Agustus sebagai Bulan Kesenian. Dimana kita ingin menyatakan bahwa setiap warna musik sebagai hasil karya manusia dapat dipakai sebagai sarana atau alat untuk memuji Tuhan.
Pemazmur mengajak dirinya untuk memuji dan bersyukur kepada Tuhan dalam hidupnya. Baginya banyak hal yang membuat dirinya memuji Tuhan. Seperti dalam Mazmur 103:1-5. “Pujilah TUHAN, hai jiwaku”. Lalu apa arti dari kata “pujilah”. Kata pujilah berasal dari kata dasar “puji”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puji berarti rasa pengakuan dan penghargaan yang tulus atas kebaikan sesuatu. Maka ketika pemazmur berkata “Pujilah TUHAN, hai jiwaku” maka pemamzmur mengakui dan menghargai kebaikan TUHAN dalam hidupnya. Pada saat yang sama ketika ia memuji, maka ia memuliakan nama Tuhan, memuji kebesaran-Nya.
Pemazmur melihat dan merasakan kebaikan Tuhan dalam kehidupannya dan tidak ingin melupakannya. Ia ingin mengingat dan mengenang semua kebaikan Tuhan itu dalam hidupnya. Semua kebaikan Tuhan yang telah ia terima, rasakan dan nikmati layak untuk diingat senantiasa. Semua ini menjadi pengingat betapa Tuhan telah memelihara, peduli dan selalu hadir dalam hidupnya. Bagaimana dalam kehidupan kita setiap hari, apakah kebaikan Tuhan juga senantiasa menjadi dasar hidup yang melahirkan pujian dari batin dan jiwa kita. ataukah kebaikan Tuhan itu hanya nampak ketika doa kita dikabulkan, harapan kita terwujud, semua masalah dapat diselesaikan, bahkan setiap kita terbebas dari pergulatan hidup? Bila itu yang terjadi, maka kebaikan Tuhan hanya bersifat sementara atau temporer saja. Tetapi bila kebaikan Tuhan itu kita rasakan di sepanjang hidup kita dan kita senantiasa memuji-Nya, maka kebaikan Tuhan itu menjadi kekuatan dan harapan bagi setiap kita untuk menjalani hidup.
Bagi pemazmur kebaikan Tuhan juga ia rasakan saat ia jatuh dalam kesalahan atau dosa. Ia sadar bahwa dosa membuatnya jauh bahkan terpisah dari Tuhan, tetapi ia melihat bagaimana Tuhan datang dengan pengampunan-Nya. ia memberikan pengampunan: kesempatan untuk memperbaiki diri. Jika Tuhan tidak mengampuni dosa manusia bagaimana mereka dapat hidup? Maka pengampunan Tuhan membuktikan betapa kebaikan-Nya layak untuk selalu diingat dan dipuji. Pada saat yang sama kebaikan dan kebesaran Tuhan juga sungguh nyata saat ia dalam kelemahan atau sakit. Tuhan yang menyembuhkan segala penyakitmu, demikian kesaksiannya. Pengakuan ini menjadi penting. Hal ini menunjukkan Tuhan tetap peduli pada umat-Nya yang sakit. Banyak orang merasa sendirian saat jatuh dalam dosa ataupun sedang sakit. Mereka merasa Allah tidak peduli dan hadir dalam hidupnya. Pengakuan dari pemazmur mengingatkan Tuhan hadir dalam masa-masa sulit dalam hidup umat-Nya.
Lebih dari itu pemazmur juga merasakan bagimana kebaikan dan kebesaran Tuhan itu yang bersedia menebus hidupnya dari lobang kubur. Lobang kubur adalah simbol kematian atau maut sebagai upah dari dosa (Roma 6:23). Tetapi Tuhan bersedia menebusnya. Kita mengenal bagaimana Kristus mengorbankan dirinya untuk menebus umat-Nya dengan mengobankan dirinya. Sungguh sebuah tindakan yang sangat mulia dan patut kita puji. Pemazmur merasakan itu dalam hidupnya dan membuat dirinya tidak ingin melupakan kebaikan Tuhan yang begitu besar. Maka ia mengajak hidupnya untuk selalu menaikkan pujian bagi-Nya.
Alkitab penuh dengan pribadi-pribadi yang memuji Tuhan dalam hidupnya. Pujian itu lahir dari perjumpaan mereka dengan karya Tuhan yang menyapa hidup mereka. Lihatlah Hana, Maria, Elisabet, para gembala dan masih banyak lagi. Pujian mereka menjadi pujian yang hidup karena mengubah hidup mereka. Pujian yang tidak hanya keluar dari merdunya suara atau riuhnya alat music. Tetapi pujian yang yang lahir dari jiwa dan batin yang merasakan dan merayakan karya Tuhan Yesus dalam hidunya. Kiranya setiap kita menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa melihat, merasakan dan merayakan kebaikan dan kebesaran kasih-Nya sehingga hidup kita menjadi pujian yang menyuarakan kebaikan dan kebesaran karya Tuhan Yesus.
Seperti refrain pujian dari Kidung Jemaat 64:
Bila Kulihat Bintang Gemerlapan:
Maka jiwaku pun memujiMu
Sungguh besar kau Allahku
Maka jiwakupun memuji-Mu
Sungguh besar kau Allahku.
Baik saat kita terpesona dengan karya ciptaan-Nya yang luar biasa, juga saat kita berjumpa dalam karya kasih-Nya yang paling agung yaitu karya penebusan Tuhan Yesus. Juga dalam keyakinan akan akan perjumpaan dengan DIA yang menciptakan kita dalam kemuliaan kelak. Saudaraku jadilan pribadi-pribadi yang senantiasa memuji kebesaran Tuhan dalam hidup setiap hari. Soli Deo Gloria.
Forum Pendeta
Minggu, 14 Agustus 2016
INILAH RUMAH KAMI!
Sungguh alangkah baiknya
Sungguh alangkah indahnya
Bila saudara semua hidup rukun bersama
Seperti minyak di kepala Harun
Yang ke janggut dan jubahnya turun
Seperti embun di Bukit Hermon
Mengalir ke Bukit Sion
Sebab ke sanalah Allah mem’rintah
Agar berkat-berkat-Nya tercurah
serta memberikan anugerah
Hidup s’lama-lamanya.
Lagu ini sering dinyanyikan oleh orang-orang Kristen di berbagai pertemuan, misalnya dalam ibadah, retret, persekutuan, atau pertemuan keluarga. Lagu yang diambil dari Mazmur 133 ini memberikan nuansa ceria gembira dan optimisme. Nuansa yang dapat memberikan semangat bahwa kerukunan dalam keluarga, persekutuan atau dalam kehidupan bersama lainnya menghasilkan kehidupan yang berlimpah anugerah. Lagu ini mengingatkan bahwa semua kebahagiaan dalam hidup bersama itu dapat dinikmati ketika setiap orang bersedia hidup rukun satu dengan yang lainnya. Bagaimana dengan hidup bersama yang kita jalani saat ini?
Hidup bersama yang rukun digambarkan seperti minyak yang dipakai untuk mengurapi Harun sebagai orang yang dipilih Tuhan untuk menemani Musa. Seperti embun di Bukit Hermon yang turun ke Bukit Sion. Embun yang akan mendatangkan hujan yang menyegarkan dan menumbuhkan kehidupan. Setiap mereka yang bersedia hidup rukun adalah seperti minyak urapan yang menjadi berkat. Setiap mereka yang bersedia hidup rukun adalah setiap mereka yang hadir untuk memberikan kesejukan dan menumbuhkan pengharapan akan hidup yang lebih baik. Setiap anggota keluarga atau persekutuan atau masyarakat seharusnya menjadi pribadi-pribadi yang menghadirkan berkat dan kehidupan untuk semuanya. Bila setiap anggota keluarga hidup sebagai orang menjadi berkat dan pengharapan serta kehidupan betapa indahnya hidup setiap keluarga.
Lalu bagaimana agar setiap anggota keluarga itu bias hadir dengan membawa berkat, pengharapan dan kehidupan untuk keluarganya? Lagu dari PKJ 289: Keluarga Hidup Indah, mengatakan dalam baitnya yang pertama, “Keluarga hidup indah bila Tuhan di dalamnya”. Agar keluarga dapat hidup indah syarat yang harus dipenuhi adalah “bila Tuhan di dalamnya”. Hanya bila Tuhan Yesus ada di dalam keluarga kita, kita akan merasakan indahnya hidup berkeluarga. Hal ini menegaskan bahwa setiap anggota keluarga harus menghadirkan Tuhan Yesus dalam diri mereka. Saat mereka menghadirkan diri sebagai suami atau istri, orang tua atau anak, kakak atau adik, menantu atau mertua mereka harus menghadirkan diri sebagai pribadi yang telah hidup di dalam Kristus.
Maka dengan begitu setiap pribadi dengan perannya masing-masing akan menjadi contoh dan teladan dalam kehidupan bersama. Bukan hanya dalam suasana bahagia dan senang bahkan juga dalam suasana yang diwarnai kesulitan dan pergumulan. Bila setiap anggota keluarga bersedia hidup sebagai pribadi-pribadi yang menjadi berkat, membawa pengharapan serta kehidupan dalam dirinya, maka keluarga akan menjadi paduan harmonis yang melantunkan pujian indah bagi Tuhan. Pujian indah yang sungguh dinikmati oleh setiap anggotanya, pujian indah yang menjadi berkat bagi sesamanya. Pujian indah yang akan menjadi fondasi bagi gereja dalam menjalankan misi-Nya dan menjadi dasar bagi terbentuknya masyarakat dan negara yang kuat.
Semua itu bermula dari keluarga yang rukun. Keluarga yang melahirkan dan membentuk pribadi-pribadi yang berbahagia. Keluarga yang berbahagia karena menikmati setiap berkat Tuhan yang hadir dalam hidup mereka. “Sebab kesanalah TUHAN memerintahkan berkat…..” keluarga yang rukun mengundang berkat Tuhan hadir di dalamnya. Tuhan memberkati setiap hal yang dikerjakan dan tidak ada yang sia-sia. Pemazmur juga mengatakan, “…..kehidupan untuk selama-lamanya”. Bukankah ini yang diharapkan oleh setiap keluarga: kehidupan. Bukan kematian. Kematian yang hadir lewat pementingan diri sendiri, kesombongan, iri hati, dendam, kebencian yang semuanya itu menghilangkan bahkan menghacurkan kehidupan. Betapa pun banyaknya berkat, tetapi semuanya hampa dan tiada artinya.
Oleh karena itu marilah kita hadir dan hidup untuk membawa kerukunan: menjadi berkat bagi keluarga, membawa pengharapan bagi sesama dan menyanyikan kasih Tuhan dalam hidup bersama. Sehingga setiap kita dengan yakin berkata: INILAH RUMAH KAMI.
Forum Pendeta
Minggu, 21 Agustus 2016
BUKAN KEMAPANAN ATAU KEKUATIRAN….. TETAPI KEWASPADAAN
Satu dari banyak mimpi manusia adalah hidup dalam kemapanan. Mengapa, karena kemapanan identik dengan kesuksesan dan kebahagiaan. Tidak mengherankan bila hidup seseorang atau sebuah keluarga bahkan suatu masyarakat salah satu tolak ukurnya adalah seberapa mapan mereka hidup. Secara khusus ukuran kemapanan ini berhubungan dengan ekonomi. Semakin kuat ekonomi sebuah keluarga, semakin mapan keluarga itu. Semakin kuat ekonomi sebuah Negara semakin mapan Negara itu. Semua itu tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Saat manusia atau Negara hanya mengandalkan ekonomi sebagai ukuran kemapanan, maka sesungghnya mereka sangat rapuh. Banyak faktor dalam kehidupan yang perlu bahkan harus disertakan dan dipertimbangkan untuk menentukan kemapanan hidup manusia. Apa yang dikatakan Tuhan Yesus kepada mereka yang hanya mengandalkan kekayaan atau kekuatan ekonomi sebagai ukuran dalam kemapanan hidupnya? Injil Lukas 12:20 mengatakan: Tetapi Firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Ternyata kemapanan ekonomi bukan jaminan bagi hidup yang: panjang umurnya, sehat badannya apalagi kuat imannya. Mengapa, karena orang ini benar-benar mengandalkan dan menyandarkan serta menjamin hidupnya dengan hartanya. Hartanya menjadi Tuhannya! Oleh karena itu Tuhan Yesus mengecamnya (Lukas 12:21). Padahal banyak orang yang bersedia membawa dirinya dalam berbagai pencobaan dan penderitaan untuk mendapatkan harta dan kekayaan. Pada saat yang sama apa yang dikejarnya itu tidak bisa menjamin hidupnya (lih. Lukas 12:15).
Pada sisi yang lain banyak manusia yang kehilangan hidupnya oleh karena kekuatiran. Salah satu pembunuh tersuskses di dunia adalah kekuatiran dan ketakutan. Ia juga menjadi perampas utama kebahagiaan dalam hidup manusia. Tuhan Yesus tahu bahwa dalam hidup ini kita membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, jaminan akan keamanan dan masa depan. Tetapi jangan sampai kekuatiran tentang itu semua justru membuat hidup kita menderita dan sengsara. Injil Lukas 12:25 berkata: “Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya”. Bahkan kepada kita ditegaskan Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah dari salah satu bunga ini. Hidup lebih penting dari semua itu. Diatas semuanya Tuhan Yesus tahu kita semua membutuhkan semua itu dalam hidup kita. Saat kita berusaha dan bekerja Tuhan akan memberkati dan mencukupkan apa yang kita butuhkan.
Baik kemapanan maupun kekuatiran bisa membunuh manusia. Seringkali keduanya membawa manusia jauh dari Tuhan Allah. Tidak mempercayai pemeliharaan Tuhan. Yang satu mengandalkan apa yang ia punya, yang satu ketakutan dengan apa yang tidak dipunyainya. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Bagi pengikut Kristus, kita tidak boleh hidup di dua sisi di atas, yaitu terjebak dalam kemapanan atau terhanyut dalam kekuatiran. Tetapi hidup orang percaya senantiasa dalam kewaspadaan atau berjaga-jaga. Katanya lagi kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah bergantung dari pada kekayaannya itu” (Lukas 12:15). Untuk mereka yang hidup dalam kekuatiran Tuhan Yesus juga bertanya: “Siapakah yang diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (Lukas 12:25). Hidup dalam kewaspadaan adalah hidup yang senantiasa mencari kehendak Tuhan Yesus dan melakukan apa yang menjadi panggilan hidupnya. Misalnya apa yang Tuhan Yesus kehendaki dengan kekayaan yang dipercayakan kepadaku? Apa artinya menjadi kaya dihadapan Tuhan? Sehingga semua itu bukan hanya membuat kita nyaman secara jasmani tetapi juga membuat kita aman secara rohani. Selamat dan nikmat di dunia tetapi juga aman dan nyaman bersama Tuhan. Sebab kepada siapa yang dipercayakan kepada mereka juga akan lebih banyak dituntut.
Bagi kita yang seringkali dihantui kekuatiran hidup diajak untuk berani melangkah dan berharap pada pemeliharaan Tuhan Yesus. Ia berkata: “Janganlah takut hai kamu kawanan kecil karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu” (Lukas 12:32). Sebuah jaminan akan pemeliharaan hidup orang percaya dari Tuhan. Tetapi apakah itu semua langsung menghilangkan rasa kuatir? Tentu tidak? Sikap waspada atau berjaga-jaga mengajak orang percaya untuk membuat pilihan yang berbeda. Pilihan yang didasarkan pada hidup yang telah berjumpa dengan Tuhan Yesus secara pribadi. Hidup yang telah diubahkan orientasinya: dari apa kata dunia beralih pada apa kata Tuhan Yesus. Hidup yang bukan hanya melihat apa yang terjadi di dunia dan kemudian menyikapinya (merasa aman atau kuatir) tetapi melihat jauh ke depan melalui mata imannya. Bukankah hidup sebagai orang beriman itu menghadapi hal yang sama tetapi menyikapinya dengan cara yang berbeda! Setiap saat dan setiap waktu dalam hidup ini Tuhan Yesus mengajak dan mengingatkan kita untuk berjaga dan waspada: “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (1 Petrus 5:8). Hidup sebagai orang percaya adalah hidup dalam kewaspadaan, berjagalah.
Forum Pendeta
Minggu, 28 Agustus 2016
PULIHKAN HIDUP SAUDARA
Kisah orang Samaria yang baik hati adalah kisah yang sangat dikenal oleh orang-orang Kristen. Berkali-kali kisah dari Injil Lukas itu dibaca, diceritakan, dikotbahkan, dibahas dalam Pemahaman Alkitab, sehingga setiap orang merasa sudah tahu akhir kisah ini.
Tetapi benarkah demikian? Kisah ini sebenarnya kisah yang belum berakhir. Artinya kisah ini masih bisa dilanjutkan dalam
babak-babak kehidupan selanjutnya. Misalnya: bagaimana kisah orang yang dirampok dan ditolong itu, apakah ia sembuh?
Apakah ia bertanya siapa yang telah menolongnya dan kemudian pergi mencarinya untuk mengucapkan terima kasih? Apakah uang yang diberikan orang Samaria kepada pemilik penginapan cukup untuk merawat orang orang yang sakit itu? Apakah orang Samaria itu benar-benar kembali dan mengkonfirmasi atas keadaan orang itu dan biaya yang dibutuhkan. Apakah imam dan orang Lewi memiliki perubahan pandangan hidup dan sikap terhadap siapakah yang harus dilihat sebagai sesama?
Kisah orang Samaria yang baik hati mengajak kita untuk mencari akhirnya dalam kehidupan kita setiap hari. Misalnya, kalau kita menjadi orang yang ditolong, kita akan mencari siapa yang menolong kita dan mengucapkan terima kasih? Apakah kita akan kecewa kalau orang yang kita tolong tidak mengucapkan terima kasih bahkan tidak tahu kalau kita yang telah berjasa dalam hidupnya? Apakah kita akan benar-benar bertanggung jawab dengan apa yang kita ucapkan, dengan menanyakan apa yang sudah kita janjikan? Apakah kita adalah tipe orang yang bersedia menerima tanggung jawab, walupun kita tahu itu tidak mudah (pemilik penginapan)? Tentu saja ada pertanyaan yang terakhir walaupun belum yang penghabisan, apakah saat ini kita sudah menjadi pribadi atau komunitas yang telah menghadirkan diri sebagai sesama bagi semua orang tanpa melihat semua atibut yang menempel pada
orang-orang yang kita jumpai?
Saat ini kita hadir dan hidup di Indonesia, bangsa yang sungguh berwarna dalam segala bentuknya. Orang mengatakan perbedaan yang ada di Indonesia adalah anugerah, kekayaan yang diberikan Tuhan untuk kebaikan negeri tercinta, Indonesia. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari perbedaan-perbedaan yang ada melahirkan jurang pemisah, sumber pertikaian, rasa iri dan tidak aman, tindakan-tindakan rasialis dan berbagai hal yang bertolak belakang dari ungkapan di atas. Hidup dengan sesama yang berbeda ternyata tidak mudah. Hidup dengan sesama yang berbeda harus dijalani dengan keberanian untuk membuka diri dan bukannya menutup diri. Terlebih kalau kita menghayati bahwa hidup yang kita hidupi saat ini adalah hidup yang sudah merdeka. Baik sebagai bangsa kita sudah merdeka dari penjajahan bangsa asing, juga telah merdeka dari kuasa dosa. Maka pemahaman, pemikiran, tindakan dan segala sesuatu yang kita lakukan seharusnya mencerminkan kemerdekaan itu. Tidak lagi dibelenggu rasa takut, kuatir, atau terpaksa apalagi ada maunya. Gereja hadir untuk mewujudkan kemerdekaan itu. Maka sebagai perwujudannya, semua hal yang dilakukan bukan untuk mendapatkan sesuatu (rasa aman, diterima) lalu semua hal layak untuk dilakukan. Kita adalah bagian dari negeri ini, dan kita adalah sesama bagi mereka semua.
Maka sebagai sesama kita akan senantiasa merayakan hidup yang merdeka itu dalam kasih. Bukan lagi sebagai upaya untuk diakui dan diperhitungkan, tetapi benar-benar karena kasih. Sebagai orang yang merdeka sikap dan tindakan kita tidak ditentukan oleh sikap orang terhadap kita. Tetapi kita memiliki kebebasan untuk melakukan menurut pilihan kita sendiri. tetapi pilihan itu bukan pilihan menurut selera atau ditentukan oleh rasa kita. Pilihan itu ditentukan dan dituntun oleh kebenaran firman Tuhan yang dibaca, diceritakan, dikotbahkan, di-PA-kan. Juga semangat yang menggerakkan diri adalah Roh Kudus yang memberanikan diri untuk berpikir, berkata dan bertindak dalam dalam kebenaran, sehingga semuanya menjadi kesaksian yang hidup. Tindakan yang memberi inspirasi, pemikiran yang mencerahkan, perkataan yang memberi semangat dan pengharapan. Semua tindakan yang menempatkan kita sebagai manusia yang menempatkan semua manusia sebagai sesama.
Orang bijak berkata: hidup itu terbatas dan kematian itu kepastian. Hidup seperti apa yang akan kita bagi dengan sesama? Akhir hidup seperti apa yang akan kita kisahkan kepada anak cucu kita dan orang-orang di sekitar kita? Apa yang akan dikenang oleh orang-orang yang Tuhan Yesus ijinkan berjumpa dengan kita? Orang Samaria yang baik hatikah? Atau yang lain? Kita masih diberi kesempatan untuk menulis kisah hidup kita melalui pilihan-pilihan yang Tuhan Yesus bentangkan dalam hidup kita. Tuhan Yesus tidak pernah memaksa, tetapi Ia membuka berbagai pilihan dan berbagai kesempatan: sebagai imam, orang Lewi, pemilik penginapan, orang yang dirampok atau keledai, bisa juga kita memilih peran sebagai perampok. Di negeri yang merdeka ini semua orang bebas memilih peran. Tetapi ingat apa yang dikatan firman Tuhan: “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah”
(1 Petrus 2:16). Kita ini hamba Allah, maka hiduplah seperti yang Allah kehendaki. Tidak ada lagi pembenaran bagi kita untuk menyelubungi semua hal yang jahat dan tidak berkenan kepada Allah. hidup ini bukan lagi untuk menghadirkan kejahatan yang meneror sesama. Hidup ini adalah kesempatan untuk berbagi pengharapan dan cinta. Hidup yang menebarkan benih-benih perdamaian dan bukan benih-benih permusuhan dan ketakutan. Hidup yang terbuka dan berbagi dengan sesama, bukan hidup yang merampas dan mencuri serta merugikan sesama.
Oleh karena itu pemasmur berkata: “Ajarlah kami hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Hati yang bijaksana ialah hati yang memilih untuk menghidupi hidup yang terbatas ini secara hati-hati bukan dengan sembarangan. Bukan asal hati senang tetapi terlebih hati yang tenang. Tenang karena kita berjalan bersama Tuhan Yesus. Banyak orang yang tidak tenang hidupnya, walaupun mereka merasa melakukan banyak hal atau bahkan hampir semua hal dalam hidupnya dalam nama Tuhan Yesus, tetapi sesungguhnya mereka tidak pernah berjalan bersama-Nya. Mari hidup berjalan bersama Kristus: menabur benih-benih hidup dalam cinta kasih untuk sesama dan negara.
Forum Pendeta