Agustus 2019
Minggu, 4 Agustus 2019
HIDUP SEBAGAI ORANG MERDEKA
Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan
jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan (Galatia 5:1).
Bagi Rasul Paulus, kemerdekaan orang Kristen sudah final. Mengapa? Sebab orang Kristen sudah dimerdekakan oleh Kristus. Oleh karena itu sudah seharusnya mereka yang mengaku sebagai pengikut Kristus harus hidup dalam pemahaman ini. Pemahaman ini penting dan mendasar, karena hal inilah yang akan mendasari, mewarnai dan memberi arah bagi hidup orang Kristen. Mereka tidak boleh lagi menengok ke belakang dan menghidupi lagi kehidupan lama yang pernah mereka jalani. Misalnya, menjadikan sunat lahiriah sebagai dasar keselamatan mereka. Mereka juga harus kokoh dalam pengajaran iman di dalam Kristus. Sehingga tidak ada orang yang dapat mengacaukan pendirian ini. Oleh karena itu, berdiri teguh menjadi pilihan yang tidak dapat ditawar. Agar setiap saat dapat menghadapi dengan teguh dan tegas terhadap berbagai pengajaran yang dapat mengacaukan iman mereka.
Pada saat yang sama kemerdekaan memanggil dan menempatkan orang Kristen untuk hidup secara bertanggung jawab. Tanggung jawab yang harus ditunjukkan dalam kehidupan setiap hari. Kehidupan yang tidak lagi menghamba dan hidup untuk dosa. Apa pun situasi dan kondisinya orang percaya harus menggunakan hidupnya sebagai sebuah kesempatan. Kesempatan untuk menguji dan mempraktekkan kemerdekaan dalam relasi dengan sesamanya. Hidup dengan sesama itu akan menjadi batu penguji bagi kemerdekaan yang ada dalam kehidupan manusia dan orang percaya. Apabila kemerdekaan hanya digunakan untuk memuaskan nafsu dan kepentingan diri sendiri, sesungguhnya orang itu belum merdeka. Tetapi ketika kemerdekaan itu dipakai untuk melayani sesama dalam kasih, maka orang itu sungguh merdeka. Kasih tidak akan pernah mempertanyakan siapakah sesamaku manusia (orang Samaria yang baik hati), tetapi kasih akan menyapa setiap orang yang membutuhkan pelayanan kasih kita, hal ini senantiasa relevan untuk dihidupi, karena orang beriman akan senantiasa hidup dalam keberagaman.
Pada saat bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan, maka bangsa Indonesia merayakan keberagaman atau kepelbagaian. Saat orang takut dengan kepelbagaian, berarti ia belum menghirup nafas kemerdekaan. Ia masih terjajah oleh rasa takut. Oleh karena itu, kasih membebaskan manusia dari ketakutan (lih. 1 Yoh. 4:18). Kemerdekaan menuntun kita untuk lepas dari ketakutan, ketakutan dari kuasa dosa maupun ketakutan hidup dalam kasih. Mari kita rayakan hidup yang telah dimerdekakan oleh Kristus, bukan dengan sembrono tetapi dengan bertanggung jawab. Bukan dengan ketakutan tetapi dalam kasih, sehingga kemerdekaan yang telah Kristus anugerahkan, baik sebagai orang beriman dan juga sebagai bangsa Indonesia akan menghadirkan hidup yang lebih berpengharapan.
Forum Pendeta
Minggu, 11 Agustus 2019
MELAWAN KETAKUTAN
“Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu kerajaan itu”
(Lukas 12:32)
“Rumah ini sudah cukup besar untuk kami berdua. Kalau ada penghasilan lebih, biarlah itu untuk mereka yang
membutuhkan. Kebutuhan kami hanya makan, bisa sehat sampai usia sekarang ini saja, saya sudah sangat
bersyukur. Semakin panjang usia, semakin banyak kesempatan kita untuk membantu orang lain, kata Lo Siaw
Ging. Dokter yang tidak takut miskin ini mendedikasikan hidupnya untuk berbagi dengan sesama
(https://iyakan.com/4-dokter-yang-nggak-takut-miskin/13903).
Takut miskin itulah yang membuat banyak orang yang punya kedudukan dan jabatan jatuh menjadi koruptor.
Pada saat yang sama mereka tidak pernah merasa cukup dengan apa yang mereka dapatkan dan miliki. Terlebih
lagi ketika mereka tidak lagi hanya merasa cukup dengan pemenuhan kebutuhan, tetapi terpedaya dalam
keinginan yang tidak pernah berhenti menjerat mereka. Mereka lebih takut tidak bisa memenuhi keinginannya
dari pada percaya kepada Tuhan yang memelihara kehidupan. Iman tidak pernah memberikan keyakinan dan
ketentraman bagi banyak orang yang mengaku diri beragama dan beriman. Bagaimana dengan Saudara?
Tuhan Yesus menegaskan kepada para murid dan orang percaya agar mereka tidak takut menghadapi hidup
dan tantangannya. Bukan karena mereka kuat, bukan pula karena mereka akan terbebas dari ancaman dan
pergumulan. Sebagai kawanan kecil yang hidup di dunia, jelas para murid dan orang percaya adalah kelompok
yang lemah dan rentan. Sangat mungkin menjadi sasaran empuk dan menjadi mangsa bagi banyak pihak. Tetapi
Tuhan Yesus menegaskan: “Jangan takut……” Lalu apa yang mendasari hal ini? Bagi Tuhan Yesus,
kekhawatiran dan ketakutan harus disikapi dengan benar dan bijak. Jangan sampai ketakutan itu membuat para
murid dan orang beriman kehilangan iman dan bersandar kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Bagi orang
percaya mengumpulkan harta itu penting, tetapi lebih penting lagi adalah menjadikan harta itu sebagai alat untuk berbuat kebajikan, sehingga kita memiliki harta di sorga yang tidak akan pernah habis (Luk. 12:33).
Iman seharusnya menuntun kita pada hidup yang aman. Karena kita berani bersandar sepenuhnya kepada Allah, sehingga kita tidak takut untuk berbagi dan memberi. Iman menuntun kita pada prioritas hidup, sehingga kita
berani hidup dalam iman (mencari kerajaan-Nya) karena kita yakin TUHAN akan menambahkan semuanya.
Iman menuntun kita melawan ketakutan. Sehingga kita berani mengalahkan diri sendiri dan mengandalkan
TUHAN YESUS dalam setiap langkah hidup. Dan hidup kita tidak lagi hanya untuk diri sendiri tetapi hidup yang
berbagi.
Forum Pendeta
Minggu, 19 Agustus 2019
TRANSFORMASI DIRI
“Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai
zaman ini?” (Lukas 12:56)
Seorang penginjil dari Amerika Serikat bernama Dwight L. Moody pernah mengungkapkan sebuah kalimat yang terkenal, “The Bible was not given for our information, but for our transformation.” Ia ingin mengatakan bahwa: “Alkitab tidak diberikan sekedar sebagai informasi bagi kita, tetapi untuk mentransformasi hidup kita.” Alkitab sebagai Kabar Baik seharusnya memberikan perubahan dalam kehidupan orang yang membacanya. Alkitab membawa kita berjumpa dengan Yesus Kristus yang mentransformasi hidup kita: dari hamba dosa menjadi hamba kebenaran. Dulu mengabdi kepada dosa sekarang mengabdi kepada Kristus, Sang Kebenaran.
Agar transformasi itu menjadi nyata dan bukan sekedar jargon, maka hal itu harus nampak jelas dalam pola pikir dan pola laku dalam kehidupan orang percaya, seperti berubahnya seekor ulat menjadi kupu-kupu. Transformasi dalam kehidupan orang percaya harus menghadirkan keindahan hidup dan kesaksian bagi sesama. Hal ini bisa terjadi bila orang percaya bersedia meninggalkan hidupnya yang lama (dalam daging) dan hidup dalam kehidupan baru (dalam roh). Jelas apa yang harus ditinggalkan dan jelas pula apa yang harus dihasilkan dalam hidupnya, semua itu bisa terjadi apabila orang percaya menyadari sepenuhnya siapa dirinya dalam Kristus. Tanpa kesadaran ini banyak orang hanya beragama, ber-ritual tetapi tidak pernah mengalami revolusi mental. Kita tahu banyak tentang kebenaran tetapi tetap hidup dalam ketidakbenaran.
Peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 juga menjadi momentum bagi kita sebagai warga negara. Perjuangan para pahlawan dan rahmat Allah bagi bangsa Indonesia seharusnya menghadirkan sikap yang bertanggung jawab. Tanggung jawab yang diwujudkan dalam tranformasi diri sehingga menghasilkan warga negara yang bersih dan berkualitas. Warga negara yang tidak hanya menuntut hal tetapi juga berlomba mewujudkan tanggung jawab. Bagi orang percaya hal ini menjadi tanggung jawab yang lebih besar. Kita bukan hanya merdeka secara fisik tetapi juga telah merdeka dari kuasa dosa. Itu sebabnya, hidup orang percaya adalah sebuah pertarungan yang sangat menentukan. Bukan hanya dunia yang melihat dan menilai kita, tetapi Tuhan Yesus ingin melihat transformasi diri sungguh terjadi dalam kehidupan setiap pengikut-Nya.
Forum Pendeta
Minggu, 25 Agustus 2019
BERBAGI KELEGAAN
“Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya:
“Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” (Lukas 13:12)
Banyak momen dalam hidup yang dapat kita pakai sebagai sarana refleksi diri. Satu diantaranya adalah momen ulang tahun. Ulang tahun menjadi momen yang senantiasa hadir dalam hidup manusia. Ulang tahun menghadirkan begitu banyak hal: memasang angka, menyalakan lilin, menaikkan doa, makan bersama, mendapatkan ucapan selamat, berbagai bentuk perayaan dari yang paling sederhana sampai pada yang paling meriah dan mewah. Angka menjadi symbol yang seringkali mendapat perhatian ekstra. Di dalam angka disimbolkan usia atau kedewasaan seseorang, pada angka ini pula diharapkan suatu bentuk hidup yang lebih baik. GKI merayakan 31 tahun perjalanannya sebagai gereja di Indonesia. Proses panjang sebagai gereja terus dihadapi, baik secara internal maupun eksternal. Pergumulan sebagai gereja pada dirinya sendiri dan pergumulan gereja sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa sudah, sedang dan terus terjadi. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling berkelindan menjadi tarian yang dinamis dalam ragam perubahan yang mewarnai perjalanan hidupnya. Lalu seperti apakah wajah GKI saat ini? Pertanyaan ini senantiasa relevan agar kita senantiasa ingat tugas panggilan kita sebagai gereja di tengah dunia.
Apa yang dilakukan Yesus di tengah ibadah dan di hari sabat dapat menjadi cermin bagi kita. Bagi orang Yahudi hari Sabat dan ibadah di hari Sabat adalah dua hal yang sangat penting dalam hidup keagamaan mereka. Mereka menempatkan hari Sabat dan ibadah sebagai sesuatu yang sangat sentral hidup mereka. Peraturan tentang hari Sabat dibuat sedemikian terperinci dan detail agar orang memperhatikan hari Sabat dengan benar. Tanpa disadari semua itu membuat hidup beragama terasa kaku dan menakutkan. Bahkan untuk berbuat baik dan benar atas dasar kemanusiaan pun bisa membawa seseorang pada sebuah pelanggaran. Tuhan Yesus sangat tahu akan hal itu, tetapi Tuhan Yesus dengan terang-terangan justru melakukan hal itu: menyembuhkan orang pada hari Sabat, di rumah ibadat dan pada saat ibadah. Bagi Tuhan Yesus indahnya ibadah tidak pernah terpisah dengan indahnya kasih Allah yang menyapa umat-Nya. Kalau urusan duniawi melepaskan lembu dan keledai dan memberi mereka minum bisa dilakukan, apalagi melepaskan dahaga manusia yang telah sekian lama didambakannya (perempuan yang sakit bungkuk). Indahnya ritual di altar akan menghantarkan manusia pada ritual sosial yang memberi kelegaan pada mereka yang berbeban berat dalam hidupnya. Saat hidup berpusat pada Allah (dalam ibadah) saat yang sama hidup akan terbuka pada sesama (dalam senyum, sapa, salam). Sikap dan tindakan yang akan berlanjut ketika ibadah telah usai. Pada saat itu kesalehan sosial akan menjadi cerminan dari kesalehan ritual dalam hidup kita.
Bagaimana dengan hidup bergereja kita saat ini? Apakah kita telah menjadi bagian tubuh Kristus yang peduli dan berbagi beban sehingga menghadirkan kelegaan bagi mereka yang sekian lama terbungkuk? Kasih Kristus akan menyapa dan memulihkan mereka saat kita bersedia dipakai sebagai alat kasih-Nya. Pada saat itu identitas kita sebagai gereja nyata terlihat. Mari kita merayakan ulang tahun dalam syukur dan refleksi. Apa yang sudah kita lakukan selama 31 tahun untuk sesama? Tuhan Yesus sudah memberi banyak peluang dan kesempatan kepada kita. Mari kita hidupi ritual yang indah dalam pesona kasih yang melegakan sesama. Selamat ulang tahun Gereja Kristen Indonesia. Selamat berkarya di tengah dunia. Soli Deo Gloria.
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat,
Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28).