Februari 2018

ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 4 Februari 2018

SIAPKAN HATI, BUKA PIKIRAN, SEDIAKAN DIRI SAMBUT MASA PRA PASKAH

Salam sejahtera bagi Bapak, Ibu dan Saudara sekalian. Puji syukur kepada Tuhan karena Ia telah menuntun kita melewati bulan pertama di tahun 2018. Tentu saja di dalamnya, kita semua mengalami lika-liku yang Tuhan izinkan terjadi. Namun, bagaimanapun tajamnya tikungan kehidupan yang harus kita jalani, pegang terus kebenaran firman Tuhan karena di dalamnya kita memperoleh kekuatan untuk berada pada jalur yang Tuhan tetapkan yaitu jalur masa depan yang penuh harapan dan rancangan damai sejahtera. Mungkin di dalam kelok-kelok kehidupan itu, kita sulit mengalami masa depan yang penuh harapan ataupun damai sejahtera, di sinilah peran iman kita, kesungguhan kita untuk meletakkan hidup dalam tangan Tuhan yang penuh kuasa.

Selama bulan kedua di tahun 2018, kita akan dipersiapkan untuk memperingati Masa Pra Paskah. Tentu ada sebagian dari kita yang merasa janggal, karena baru saja kita selesai merayakan Natal (Natal Sekolah Minggu pada tanggal 14 Januari 2018, belum lagi perayaan Natal di wilayah). Ya, memang begitulah adanya. Pada tanggal 14 Februari 2018 kita akan mengawali masa Pra Paskah dengan Hari Rabu Abu. Banyak orang bertanya-tanya sebetulnya mengapa Rabu Abu menjadi awal masa pra paskah, apakah peristiwa Yesus yang melatarbelakanginya sehingga ia diperingati begitu rupa. Tidak jarang juga ada yang mengatakan “terlalu mengikuti ritual gereja katolik”. Namun, apakah sebenarnya Rabu Abu itu?

Rabu Abu tidak memperingati peristiwa apapun yang menggambarkan langsung kisah pelayanan yang dikerjakan Yesus. Tetapi mengawali masa pra paskah dengan menorehkan abu di dahi, justru menjadi tanda lahiriah ketika pesan peringatan untuk pertobatan baik dari Yohanes Pembaptis (Markus 1:4) maupun Tuhan Yesus sendiri (Markus 1:15) diperdengarkan. Abu adalah simbol yang dipakai sejak zaman Perjanjian Lama untuk menunjukkan sikap lahiriah berupa perenungan dan penyesalan atas perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan di hadapan Allah. “Duduk dalam abu”, misalkan, dilakukan oleh Ayub dalam keadaan kehidupannya yang merana (Ayub 2:8) sampai pada perenungannya akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah yang berlaku atas dirinya (Ayub 42:6). Atau oleh Raja Kota Niniwe yang tersadarkan akan peringatan Allah melalui Yunus, sehingga ia menanggalkan jubahnya, lalu duduk di abu (Yunus 3:6). Abu dan debu juga sering dibicarakan bersama. Hal ini untuk mengingatkan setiap manusia bahwa keadaan kehidupannya berasal dari kefanaan, dari sesuatu yang rapuh. Demikianlah Abraham memandang keberadaan dirinya di hadapan Tuhan (Kejadian 18:27). Tidak ada satu hal pun yang dapat dibanggakan dan ditonjolkan di hadapan Allah. Dengan mengingat asal kita dari debu dan abu, maka kita semua menundukkan diri dengan segala perasaan ketidaklayakkan bertemu dan mengalami karya kasihNya yang begitu luar biasa. Hal inilah juga yang mendorong kita untuk menjalani hidup secara baru yaitu pertobatan. Pertobatan berarti kembali berfokus kepada Tuhan dan mempersilakan Tuhan menjadi Raja atas kehidupan kita, berkuasa, menuntun dan memimpin di sepanjang langkah kehidupan. 

Mengapa akhir-akhir ini, di GKI, sepertinya banyak memakai tanda / simbol-simbol yang pada zaman dahulu tidak ada? Dari penjelasan singkat di atas, marilah kita membuka pikiran kita, bahwa GKI tidak sedang ikut-ikutan terhadap kebiasaan gereja tertentu. GKI menarik makna yang lebih dalam dari kebenaran firman Tuhan yang dinyatakan kepada kita semua melalui Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang kita terima sebagai kebenaran. Hiruk-pikuk kehidupan dunia dengan segala tantangannya sering membuat kita menjalani hari demi hari begitu saja. Waktu dengan cepat berlalu. Kita membutuhkan momen untuk merenungkan kembali makna hidup sebagai orang percaya. Kita membutuhkan tanda yang menjadi peringatan bagi kita, pada saat ini dan pada masa mendatang dalam kita menjalani kehidupan. Memang kita tidak bergantung pada momen ataupun tanda, tetapi hal-hal itu setidaknya menolong kita untuk dapat memaknai dengan lebih baik. Apalagi ini berkaitan dengan hal mendasar dalam kehidupan seorang Kristen. Peringatan akan kesungguhan dan ketaatan Yesus dalam penderitaan hingga kematian di kayu salib dan penyataan kemenangan melalui kebangkitanNya yang mengalahkan dosa dan maut. Peristiwa Natal yang kita peringati dengan sukacita menjadi bermakna hanya karena peristiwa Paskah. Tanpa Paskah, kematian dan kebangkitan Yesus, Natal hanyalah sekedar peringatan kelahiran seseorang belaka. Bukankah dengan demikian, kita perlu mempersiapkannya dengan penuh kesungguhan? Mari kita mempersiapkan hati, membuka pikiran dan menyediakan diri sepenuhnya untuk memasuki Masa Pra Paskah agar kita semakin memaknai dan berpegang teguh pada iman kepada Kristus yang menyelamatkan dan memberikan kehidupan baru bagi kita.

Salam kasih dari kami,
Forum Pendeta


Minggu, 11 Februari 2018

MENANGGAPI ISU-ISU AKTUAL

Salam dalam kasih Tuhan Yesus Kristus bagi Bapak, Ibu, dan Saudara sekalian. Dalam Sapaan Gembala kali ini, Forum Pendeta hendak menyampaikan hal-hal aktual yang terjadi dalam gereja kita. Hal yang pertama adalah mengenai Kebaktian Pengajaran pada hari Minggu, 4 Februari 2018 yang lalu. Forum Pendeta mendapat kabar dari Saudara-saudara yang beribadah pada Ibadah 1 (pk 07.00 WIB) mengenai pernyataan Pdt Yusak Soleiman di sesi tanya jawab tentang LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Oleh karena itu, kami memandang perlu dan penting untuk menyampaikan pesan penggembalaan kami selaku Pendeta GKI dengan basis di jemaat GKI Jl. Pengadilan No. 35 Bogor melalui warta jemaat edisi ini. Kita tidak dapat menampik fakta bahwa orang-orang dengan kecenderungan LGBT ada di sekitar kita. Apa yang harus kita perbuat? Kehadiran orang-orang (sebagai pribadi) dengan kecenderungan LGBT tidak boleh kita singkirkan atau kita hakimi. Sebagai tubuh Kristus, kita dipanggil untuk mewartakan kasih Tuhan bagi semua orang melalui sikap kita. Jika ada orang-orang tersebut di tengah kita, maka mereka punya tempat yang sama untuk bersekutu bersama. Kita dipanggil dan memiliki kewajiban untuk mendampingi dengan kasih yang membawa mereka pada penerimaan diri, kejujuran untuk melihat masa lalu dan pengharapan akan masa depan seturut firman Tuhan dan menghadirkan kehidupan baru di dalam pertobatan.

Namun, segala penerimaan, kehadiran dan kasih yang kita berikan tidak sama dengan melegalkan perilaku mereka. Dengan berpegang dan berlandaskan kesaksian Alkitab yang kita percaya sebagai kebenaran Firman Tuhan, maka kita tidak dapat mentolerir ataupun menerima perilaku-perilaku dan aktivitas seksual LGBT. Kejadian 1:27 “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.” Penuturan Kitab Kejadian menegaskan bahwa gambar Allah dihadirkan dalam laki-laki dan perempuan. Berkaitan dengan pernikahan maka pegangan dan landasan kita ada pada Kejadian 2:23-24 “Lalu berkatalah manusia itu: ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Oleh karena itu, kami menyatakan posisi menolak pernikahan sejenis. Firman Tuhan sudah dengan jelas mengatakan laki-laki dan perempuan. Pernikahan hanya terjadi pada pasangan yang berbeda jenis kelamin. Kami berharap, penjelasan singkat ini dapat menjadi pencerahan bagi Saudara sekalian. Jika memang masih ada yang ingin didiskusikan secara pribadi, kami dengan terbuka mempersilakan Saudara menghubungi nomor yang tertera dalam warta jemaat.

Di minggu ini, kita juga akan memasuki masa Pra Paskah yang diawali dengan Ibadah Rabu Abu. Menjalani masa pra paskah berarti kita mau menempatkan diri dan turut merasakan pergumulan dan sengsara Tuhan agar manusia mendapatkan anugerah keselamatan. Yesus telah mengurbankan segala-galanya bagi kita, apa yang mau kita tunjukkan sebagai wujud syukur dan terima kasih kita kepadaNya? Sangat penting bagi kita untuk mempersiapkan diri, menyambut dan menghayatinya dalam kehidupan kita. Hal tersebut bisa kita lakukan melalui sikap penyangkalan diri terhadap segala kesenangan-kesenangan duniawi dalam kehidupan kita. Misalkan saja: kita senang wisata kuliner, ada saja kuliner baru yang selalu ingin kita coba setiap minggunya. Pada masa penyangkalan diri ini, kita belajar mengendalikan dan menahan keinginan kita. Atau kita begitu terikat untuk “terhubung dengan jaringan internet”, terlebih untuk bermedia sosial. Pada masa penyangkalan diri ini, kita bisa mengambil komitmen pribadi kepada Tuhan untuk mengadakan puasa media sosial. Dari sekian rupiah jatah kuota internet per minggu, sebagian rupiahnya bisa kita sisihkan. Kita juga menahan diri untuk menjadi “fakir wi-fi”, sangat ingin mendapatkan wi-fi gratisan. Atau kita juga bisa mengambil puasa makan dan minum (atau puasa makan saja tetapi tetap minum) untuk mengendalikan nafsu makan. Hal yang harus kita perhatikan dari bentuk-bentuk komitmen pengendalian diri adalah bukan pada tindakan lahiriahnya tetapi justru kesungguhan kita untuk melepaskan ikatan-ikatan yang selama ini mungkin tidak kita sadari telah membelenggu kita dan mengembalikan fokus utama kehidupan kita kepada Tuhan. Panitia Paskah 2018 GKI Pengadilan telah menyiapkan bagi kita celengan-celengan. Satu keluarga akan mendapatkan satu buah celengan. Setiap hasil penyangkalan diri, kita konversikan dalam bentuk rupiah dan kita masukkan dalam celengan tersebut sebagai Aksi Puasa Paskah (APP) kita. APP ini nantinya akan kita bawa dan persembahkan pada hari Paskah yaitu Minggu, 1 April 2018. Seluruh hasil APP 2018 akan disalurkan oleh Panitia Paskah 2018 untuk membantu sesama kita yaitu anggota jemaat GKI Pengadilan untuk memperbaiki tempat tinggalnya yang jauh dari layak bahkan kondisinya tidak baik untuk kesehatan. Dengan demikian, Panitia Paskah berharap bahwa ketika kita menyangkal diri, kita memaknai bahwa kita sedang dimampukan Tuhan untuk menjadi berkat bagi orang lain.

Mulai hari minggu ini, kita akan menerima warta, sampul persembahan dengan tampilan yang agak sedikit berbeda.
Ya, ada logo untuk peringatan Hari Ulang Tahun GKI Pengadilan yang ke-50. GKI Pengadilan berulang tahun pada tanggal 31 Oktober. Memang secara rentang waktu, mungkin ada di antara kita yang menganggap masih jauh tetapi, karena ini adalah kesempatan yang special yaitu usia 50 tahun maka Majelis Jemaat GKI Pengadilan melalui Panitia HUT ke-50 ingin mempersiapkan sebaik mungkin. Kami mengundang anggota jemaat maupun simpatisan untuk turut bersukacita dan berpartisipasi dalam menyambut dan mempersiapkan HUT ke-50 ini melalui berbagai hal yang dipersiapkan oleh Panitia. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Salam kasih,
Forum Pendeta


Minggu, 25 Februari 2018

DIKASIHI DAN MENGASIHI

Salam sejahtera di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus untuk Bapak, Ibu dan Saudara sekalian. Saat ini kita memasuki minggu kedua masa penghayatan akan sengsara Tuhan Yesus, yang sering disebutkan sebagai pra Paskah. Sebagaimana ajakan melalui Sapaan Gembala selama 3 minggu yang lalu (tanggal 4, 11, dan 18 Februari 2018), masa penghayatan ini baiklah kita isi dengan perenungan, pertobatan dan penyangkalan diri dalam bentuk aksi puasa sehingga kita dapat memaknai lebih mendalam akan penderitaan dan pengurbanan Kristus yang mendatangkan selamat bagi kita. Sebagai manusia, setiap kita pasti mengalami pergumulan untuk melakukan pertobatan dan penyangkalan diri. Kita bergumul dengan diri kita, keinginan-keinginan kita yang serba mau; mau mendapatkan jaminan keselamatan tetapi masih mau juga hidup bersenang-senang tanpa diikat oleh tanggung jawab moral iman Kristen. Tarik-menarik dengan diri sendiri ini menyebabkan langkah pertobatan dan penyangkalan diri terasa begitu berat. Dan mungkin saja muncul pertanyaan ekstrim, apakah Tuhan mau membuat kita menderita? Jawabannya, tentu saja tidak. Lalu bagaimana supaya pertobatan dan penyangkalan diri yang kita lakukan tidak terasa memberatkan/membebani kita?

Mari kita kembali kepada dasar dari semua ini. Dasar dari sikap dan keputusan Tuhan Yesus yang mau mengambil jalan penderitaan sampai mengurbankan diriNya di atas kayu salib. Ya, KASIH. Kasih adalah hakekat Allah (1 Yohanes 4:8b,16b). Bahkan kesaksian 1 Yohanes 4:10 mengatakan “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” Bagi setiap kita, Allah menaruhkan pengalaman personal yang unik yaitu DIKASIHI. Kita semua memiliki pengalaman ‘dikasihi’ oleh Allah terlebih dahulu, ketika kita bahkan belum mengenal Dia, belum dapat melakukan hal-hal yang disebut berkenan untuk Allah. Allah melimpahi kita dengan kasihNya sehingga kita memiliki hidup yang dibebaskan dari dosa, hidup baru di dalam segala pengharapan dan jaminan masa depan dalam tangan kuasaNya. Pengalaman dikasihi oleh Allah seharusnya menjadi refleksi atau perenungan kita yang utama. Adakah pengalaman itu sungguh melekat dalam hidup kita, tertanam kuat dalam hati kita dan memang menjadi nyata dalam setiap langkah kita?

Ketika pengalaman dikasihi oleh Allah menguasai kehidupan kita, pastilah langkah kita untuk menjalani pertobatan dan penyangkalan diri sudah menjadi lebih ringan. Kita melakukannya bukan karena tuntutan kesalehan, bukan juga sebagai upaya dengan kekuatan sendiri mencari kasih Yang Maha Kuasa untuk kehidupan kita. Kita melakukannya karena kita sudah dikasihi, kita sudah disambut dan diterima sebagai anak-anakNya dalam segala kepapaan kita. Ketika pengalaman dikasihi oleh  Allah menguasai kehidupan kita, setiap sendi kehidupan kita akan selalu memancarkan kasih tersebut. Dan karena kasih tersebut berasal dari Allah yang adalah kasih, kasih yang selalu mau memberikan yang terbaik, mau berbagi, maka hidup kita menjadi hidup yang MENGASIHI. Mengasihi Allah yang sudah memberikan kasihNya dengan limpah kepada kita, mengasihi setiap hal dalam kehidupan kita sebagai perkenanan dan ijin Tuhan untuk membentuk dan mendewasakan kita dalam iman kepadaNya serta melihat, memperlakukan sesama manusia juga di dalam kasih yang sama. Ketika dalam masa penghayatan sengsara Kristus ini, kita menghidupi pertobatan, baiklah kita senantiasa menanamkan pada diri kita bahwa pertobatan ini adalah wujud kasih kita. Dalam pertobatan maupun penyangkalan diri, kita sedang mengasihi Allah, diri sendiri dan sesama manusia (atau orang-orang di sekeliling kita). Dengan mengingat bahwa kita sedang mengasihi di dalam pertobatan dan penyangkalan diri, pastilah kita bisa melakukannya bukan lagi dengan berbeban atau terasa berat melainkan justru dengan semangat dan sukacita menyambut serta menjalani kehidupan baru yang Tuhan sediakan, kehidupan yang menjadi berkat, kehidupan yang merupakan kesaksian yang baik bagi kemuliaan nama Tuhan. Tuhan Yesus memampukan kita semua.

Forum Pendeta