Juli 2019

ikon-program-pokok-gki-pengadilan-bogor

Minggu, 7 Juli 2019

COME SHARE THE LORD
1 Korintus 11: 24-28

Come take the bread-(Mari makanlah Roti)
Come drink the wine-(Mari minumlah Anggur)
Come share the Lord-(Mari Memberitakan Tuhan)

Come share the Lord (1984) merupakan lagu himne karya Bryan Jeffery Leech. Dalam lagu itu penulis
mengutarakan makna Perjamuan Kudus sebagai perjamuan yang terbuka. Kristus sebagai Kepala Persekutuan mengundang semua orang untuk ikut ambil bagian dan merasakan Cinta-Nya. Penulis juga menceritakan bahwa media Perjamuan Kudus adalah cara kita mengenal Karya Allah yang misteri (tak terbatas-tak terselami) dalam hal sederhana dan kongkrit yaitu: Roti dan Anggur. Memakan Roti mengingat Tubuh Kristus, meminum Anggur mengingat akan Darah Kristus, Tubuh dan Darah yang menjadi dasar Keselamatan kita. Perjamuan Kudus adalah cara Tuhan Yesus memberitakan sendiri agar kita mengingat dan mengamini dari mana Keselamatan kita berasal.

Itulah inti ayat 24-25 “menjadi peringatan akan Aku”, tetapi meja perjamuan tidak berhenti sebatas media peringatan, menurut Korintus (1Kor 11:26) Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Meja Perjamuan adalah juga undangan memberitakan Keselamatan (Come Share The Lord). Undangan bagi kita yang telah menikmati perjamuan untuk bisa memberitakan karya Tuhan dalam dan melalui hidup kita yang telah diselamatkan. Itulah kemudian Surat Korintus mengajak kita untuk menguji diri, Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu (1 Kor 11:28). Pengujian diri Bukan hanya untuk layak ikut perjamuan Kudus (kesalehan pribadi), tetapi sudahkah kita menjadi seorang kristen yang siap mewartakan karya Keselamatan kepada dunia dalam dan melalui hidup kita.

Mengutip pertanyaan dalam Persiapan Perjamuan Kudus: Apakah dalam persekutuan dengan Kristus, Saudara mau berkurban dan menjadi berkat bagi sesama Saudara? Sudahkah Saudara menjadi tangan bagi Kristus yang berkarya memperjuangkan damai sejahtera di muka bumi? Melalui pertanyaan ini kita diingatkan perintah Allah untuk mewartakan-Nya dalam dan melalui hidup kita. Hadirkan damai sejahtera dalam keluarga, tetangga, dan rekan sepelayanan. Atau mau berkorban dan berjuang dalam mewujudkan Kerajaan Allah (kebenaran Kristus) dalam hidup sehari-hari. Perjamuan Kudus bukan perayaan Keselamatan pribadi tetapi melalui perjamuan kita diingatkan untuk juga mewartakan Karya Keselamatan Allah. Mengapa? Karena harapannya meja perjamuan menjadi meja perjamuan yang terbuka, semua orang dapat masuk dan hadir, semua orang dapat mengenal Karya dan Cinta-Nya. 

Selamat merayakan dan mewartakan Perjamuan Kudus Allah.

IG


Minggu, 14 Juli 2019

CUP OF JUSTICE

Cangkir Keadilan/Cangkir Pythagoras. Cangkir ini berbentuk seperti cangkir biasa, didalamnya ada tonggak
berpipa. Selain itu di mulut cangkir ada garis pembatas. Ajaibnya cangkir ini kalau diisi melewati garis pembatas,
maka seluruh isi cangkir akan merembes melalui pipa didalamnya. Ini menyimbulkan orang tak boleh serakah
mengisi cangkirnya melebihi batas. Selama tidak melewati batas, orang dapat minum dari cangkir tersebut. Jika
Anda penasaran, cup of justice dengan rinciannya bisa dilihat di Youtube
https://www.youtube.com/watch?v=ryqZY3ADUsU

Cup of justice mengkritik soal keserakahan manusia. Sudahkah kita mengambil secukupnya atau malah
mengambil melebihi yang kita butuhkan. Surat Efesus memperingatkan kita soal ini “keserakahan disebut saja
pun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus.” (Ef.5:3). Jangan pernah
ada keserakahan di hati orang percaya, itu harus dibuang jauh-jauh. Berapa banyak orang yang punya satu
mobil ingin mobil kedua? Berapa banyak orang yang sudah punya satu rumah, tetapi masih ingin memiliki rumah
kedua ketiga dst? Berapa banyak orang yang sudah punya 10 pabrik masih ingin 100 pabrik lagi. Supaya
nalurinya terpuaskan!

Serakah adalah naluri egois manusia. Naluri kita semua. Serakah tidak mengenal puas. Seperti kata pemazmur:
“… kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga …” (Rm.3:13). Sebagai satu dari 7 dosa besar
menurut St. Greogorius, keserakahan adalah sumber kehancuran abad ini. Bencana alam akibat hutan-hutan
yang ditebang, pemanasan global akibat polutan yang dihasilkan industri-industri manusia, perang akibat
pertikaian perebutan kekuasaan, ataupun kemiskinan yang terjadi akibat perang dagang para negara adikuasa.
Semua hal itu dipimpin oleh keserakahan. Keserakahan yang tak terpuaskan ! Keserakahan adalah masalah
keadilan.

Cerita Injil tentang Anak yang Terhilang membenarkan teori Cup of Justice. Anak bungsu yang egois, serakah
itu juga durhaka. Ia meminta warisan yang belum menjadi haknya. Ini sama dengan berharap bapanya cepat
mati saja. Keserakahannya terpenuhi. Semua pembaca cerita ini selama berabad-abad tahu apa tragedi yang
kemudian menimpanya. Ia berakhir tanpa punya apa-apa. Hanya karena pertobatan dan cinta Sang Bapa, ia
menemukan happy ending.

Serakah adalah naluri tapi bukan hakikat manusia. Jika keserakahan diredakan barulah keadilan dan damai sejahtera dapat terwujud; baik dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara maupun dunia.

IG


Minggu, 21 Juli 2019

PANDOCHEION : PONDOK KERAMAHAN

Kisah Orang Samaria yang Baik Hati dalam Lukas sering menjadi rujukan gereja dalam mempersaksikan keramahan (Hospitality). Melihat judul tersebut membuat kita bertanya apakah hanya orang Samaria yang menunjukan keramahan dalam kisah itu. Tak adakah yang lain, yang menunjukan keramahan. Ternyata ada dialah sang “pemilik penginapan” (ay. 35; Yunani: pandochei), yang tanpa disangka terlibat di dalam drama cinta kasih itu. Pemilik penginapan, hanya menerima uang dua dinar. Satu dinar adalah upah minimum dalam satu hari—untuk merawat orang yang terluka itu, yang mungkin membutuhkan waktu jauh lebih lama dari dua hari. Orang Samaria yang membawa orang yang terluka itu berjanji akan datang kembali; dan entah apakah ia sungguh datang kembali atau tidak, kisah kita tidak mencatatnya. Yang jelas, pemilik penginapan itu hadir untuk si korban. Singkatnya, pemilik penginapan itu sungguh bermurah hati, ia menunjukan hospitality (keramahan).
Ia menjadikan Pondok Penginapan (Yunani: pandocheion) sebagai rumah yang mewartakan keramahan kepada si korban. Rumah yang terbuka dan di dalamnya orang merasakan kasih.

Istilah Pandocheion yang digunakan bapak-bapak Gereja seperti Agustinus dan Origenes untuk menunjuk pada “lokasi kasih”. Sebuah Rumah (persekutuan) yang harus ditawarkan oleh orang Kristen kepada dunia yang mengembara ini. Tugas kristiani di tengah dunia ini adalah menjadi ruang terbuka bagi para pengembara, yaitu sesama yang sekaligus orang asing bagi kita untuk merasakan Keramahan Allah melalui kita.

Rumah yang Ramah juga di tunjukkan pada potret gereja mula-mula yang digambarkan di dalam Kisah Para Rasul 2:41-47: Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.

Dalam Dua kisah ini kita bisa merumuskan DNA gereja yang adalah Pandocheion “lokasi kasih” atau Rumah/Pondok yang Ramah. Rumah yang ramah yang terwujud ketika kita, para pandochei (Pemilik Penginapan/rumah) menjadi pribadi yang di ungkapan dalam Kis 2: Bertekun dalam pengajaran, doa, dan karya bagi sesama. Menjadi tuan rumah yang mewartakan keramahan kepada orang asing.

IG


Minggu, 28 Juli 2019

MENYAMBUT SELAYAKNYA ANAK KECIL

Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.” (Mar 9:37)

Siapakah anak-anak yang dimaksud dalam Injil Tuhan ? Tentu saja bukan sekedar merujuk anak kecil, tetapi mereka yang seringkali terpinggirkan. Anak kecil/anak-anak dalam penekanan makna dahulu dan mungkin sekarang, di konotasi mereka yang lemah, tak berdaya ataupun kurang berpengalaman. Kepada mereka, Yesus meminta kita “menyambut” (KJV: receive). Menyambut diartikan sebagai: penerimaan, tindakan keramahtamahan, memberikan perhatian secara penuh, tulus dan dengan kasih kepada mereka si ”anak kecil” yang sering kali terpinggirkan.

Menyambut “anak kecil” adalah panggilan kita, karena itu berarti menyambut Allah. Memberikan perhatian penuh kepada mereka yang terpinggirkan, maka sudahkah kita benar-benar menyambut-Nya? Bayangkan ketika kita mengantri untuk masuk pada sebuah pesta, lalu kita dihubungi seorang teman yang membutuhkan pertolongan kita. Apa yang kita lakukan Maukah kita keluar dari antrian dengan suka cita dan memberi diri bagi teman itu? Dapatkah kita memilih bersamanya dan merelakan waktu indah di sebuah pesta?

Atau mungkin ketika seorang pengemis menghampiri kita, karena kasihan kita pun mencari “uang kecil” untuknya, dan mungkin saking terburu-buru uang 10.000 rupiah bisa tertukar dengan 100.000 rupiah. Apa perasaan kita bila itu terjadi? Bila merasa kecewa mungkin kita belum menyambut menerima pengemis itu secara utuh. Kita hanya menujukan rasa kasihan pada pengemis itu, bukan menyambut-menerima. Bagi Henri Nouwen dalam buku Jesus A Gospel, Ia membedakan sekadar kasihan dengan menyambut-menerima. Kasihan adalah memberikan sebatas ukuran kita. Kecewa ketika memberi kelebihan dari “uang kecil” ataupun waktu lebih untuk mereka yang kesulitan. Hal tersebut adalah contoh kepedulian dengan batas yang kita buat.

Tetapi menyambut-menerima bagi Nouwen adalah (Markus 10:13-16) “Barang siapa tidak menyambut Kerajaan Allah sebagaimana layaknya seorang anak kecil maka dia tidak akan dapat memasukinya”. Menerima adalah mereka yang mau menjadi anak kecil. Kemudian Nouwen mengaitkan itu dengan “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mar 9:35). Menjadi seperti anak kecil berarti seperti yang Yesus katakan yaitu menjadi pelayan bagi yang terpinggirkan. Bukan menjadi Tuan atasnya, tuan hanya memperhitungkan waktunya ataupun mengejar ucapan terima kasih dari yang dibantu. Menjadi pelayan adalah seperti Yesus yang mengasihi dan melayani kita tanpa batas, tanpa mengejar balas budi. Ketika kebaikan dunia memberikan batas dan syarat, karya orang percaya tak terbatas dan tak bersyarat.

Disitulah istimewanya anak kecil ketika mereka dikatakan empunya Kerajaan Allah. Anak kecil tidak mencari pembuktian, tidak harus membangun citra/menujukan apapun, dan tidak menyombongkan diri. Mereka tulus-polos, yang dilakukan anak kecil adalah menerima-menyambut Kasih Allah. Tidak ada pembuktian diri dari anak-anak untuk dianggap layak/dikasihi Allah, karena tak ada kuasa untuk itu. Mereka hanya menerima dengan tangan terbuka. Begitu pula seharusnya kita. Kasih yang kita terima adalah kasih Anugerah bukan karena pembuktian atas kelayakan, melainkan Anugerah Kristus. Itulah panggilan Kasih pertama yang mengilhami kita untuk melakukan Kasih kepada sesama. Mewartakan Kasih sebagai Anugerah, bukan karena kelayakan tetapi karena Tuhan mau pakai kita sebagai pancaran Anugerah-Nya.

Menyambut-menerima mereka yang kecil haruslah memanggil kita menjadi anak kecil. Semua orang bisa kasihan dan berbuat baik. Tetapi sebagai orang percaya kita dipanggil untuk menjadi anak kecil. Anak kecil yang terlebih dahulu dikasihi-dilayani tanpa batas oleh Kristus dan yang secara tulus memancarkan tindakan mengasihi-melayani dalam hidup sehari-hari.

IG