Juni 2016
Minggu, 5 Juni 2016
MELAKUKAN PENGKINIAN DATA ANGGOTA JEMAAT
Bapak/Ibu/Saudara sekalian yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus,
Pada tanggal 8 Mei 2016 yang lalu, Majelis Jemaat Bidang Pembinaan dan Organisasi mengadakan pertemuan dengan seluruh pengurus wilayah beserta Pos Jemaat Kracak. Agenda pertemuan ini adalah untuk meminta kesediaan Pengurus Wilayah dan Pengurus Pos Jemaat Kracak sebagai kepanjangan tangan pelayanan dari Majelis Jemaat melakukan pemeriksaan dan pengkinian pendataan anggota jemaat. Untuk itu, diberikanlah daftar dengan menggunakan pembagian kolom-kolom yang sudah menjadi standar pengisian data anggota jemaat di lingkup Sinode Wilayah Jawa Barat. Kolom-kolom tersebut adalah: Nomor Anggota Jemaat (terdiri dari 7 digit), Nama, Alamat, Nomor Telepon (bisa juga memasukkan nomor HP), Wilayah, Gender, Status Anggota (Baptis[masih baptis anak] atau Sidi/Baptis Dewasa), Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Kelompok Etnis, Tanggal: lahir, Baptis, Sidi, Atestasi masuk, Atestasi keluar, Meninggal.
Apa Tujuan Pengkinian Data?
Seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, mobilitas/perpindahan seseorang dari satu tempat ke tempat lain bisa terjadi begitu cepat. Terkadang urusan mengenai keanggotaan gereja tidak menjadi prioritas sebagai sebuah hal yang harus dibereskan. Banyak orang yang menganggap, yang penting tetap ke gereja dan beribadah atau bahkan ada yang mencita-citakan akan kembali ke kota asalnya sehingga tidak terlalu perlu untuk mengurus keanggotaan. Tetapi seiring berjalannya waktu, banyak hal yang bisa terjadi dan berubah. Di sisi lain, Gereja Kristen Indonesia (GKI) sampai saat ini masih memberlakukan bahwa semua data anggota jemaat (bahkan sampai yang sudah meninggal sekalipun) tetap tersimpan dan tercatat. Ini jelas berbeda dengan beberapa gereja lain yang memberlakukan pemutihan data anggota secara berkala (periodic), apabila yang bersangkutan sudah tidak beribadah lagi atau tidak melakukan pengkinian (updating) data sampai batas waktu tertentu, maka namanya secara otomatis dihapuskan. Dengan demikian, bisa dibayangkan bahwa untuk jemaat GKI Pengadilan, berapa banyak data yang kita miliki. Dari sejak awal, penyimpanan data anggota dilakukan secara manual dalam sebuah buku yang disebut “Buku Induk Anggota Jemaat”. Namun, saat ini, dengan adanya kemajuan teknologi dan cara melalui program komputer, maka data anggota dibuat dalam format Excel. Proses memindahkan data dari “Buku Induk Anggota Jemaat” ke format baru tersebut telah diupayakan serapi dan seteliti mungkin. Meskipun begitu, tetap kita harus memeriksa ulang karena bisa saja terjadi faktor kesalahan manusia (human error). Oleh karena itu, Majelis Jemaat memohon pertolongan dari Pengurus Wilayah dan Pengurus Pos Jemaat Kracak sebagai bagian dari gereja yang lebih dekat dan lebih mengenal anggota jemaat yang ada di wilayahnya untuk kemudian bersama-sama memeriksa data ini dan memberikan catatan (apakah masih berdomisili di Bogor, masih aktif bergereja,dsb). Dengan demikian, Majelis Jemaat berharap akan memperoleh data yang mendekati akurat mengenai berapa jumlah sesungguhnya anggota jemaat GKI Pengadilan.
Tujuan pengkinian data ini juga bukan hanya sekedar untuk GKI Pengadilan saja. Seperti yang sudah disampaikan di atas, bahwa program yang digunakan merupakan standar data anggota jemaat di lingkup Sinode Wilayah Jawa Barat. Dengan adanya pola yang sama, data dari setiap jemaat dikompilasi di lingkup klasis dan kemudian di lingkup sinode wilayah, sehingga bisa diketahui berapa jumlah anggota jemaat GKI yang ada. Namun, bukan untuk berhenti sampai pada jumlah/kuantitatif. Data anggota jemaat ini adalah ‘modal awal’ untuk kemudian membuat LKKJ (Laporan Kehidupan dan Kinerja Jemaat). LKKJ ini merupakan hal yang sangat penting dalam manajemen gereja karena dipakai untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan anggota jemaat dan pelaksanaan pelayanan yang ada di satu jemaat. Untuk itu, diperlukan data/informasi yang relevan dan akurat yang kemudian akan diintepretasikan secara kualitatif dengan kaca mata teologis dalam rangka mencapai visi dan misi pelayanan gereja.
Membuat Sebuah Potret/Foto
Zaman sekarang, rasanya semua orang senang berfoto. Teknologi kamera yang semakin canggih, dipakai untuk bisa mengabadikan momen dengan lebih jelas dan rinci. Akan menjadi kurang menyenangkan apabila hasil fotonya buram atau kurang jelas. Demikianlah dapat digambarkan dengan data anggota jemaat tersebut. Kami ingin mendapatkan dengan lebih jelas dan rinci mengenai profil anggota jemaat yang dilayani di GKI Pengadilan, termasuk dengan adanya kolom kelompok etnis. inilah yang kemudian mengundang reaksi dari salah seorang anggota jemaat yang kemudian mempertanyakan via email kepada kami. Pertanyaannya mengenai “komentar miring” yang beredar di media komunikasi wilayah yang menyebutkan “hari gini masih minta data etnis? ga salah? Ga zaman minta data etnis”. Pertanyaan yang sama juga terjadi dari jemaat-jemaat lain berkaitan tentang pengisian data anggota jemaat. Apakah memang masih relevan mempertanyakan keetnisan seseorang di zaman yang sudah berkembang ini. Tentu masih relevan. GKI bukan gereja kesukuan, GKI membuka diri dan menerima setiap kelompok etnis yang ada agar semangat sebagai Gereja Kristen Indonesia terus terasa dan menjadi nyata dengan beragamnya latar belakang anggota jemaatnya. Oleh karena itu, kami masih merasa perlu untuk mendapatkan profil yang lebih jelas mengenai anggota jemaat kami secara khusus dikaitkan dengan etnisnya. Setiap etnis memiliki pola, cara, sudut pandang yang berbeda dengan etnis lainnya. Dengan mengetahui hal ini, diharapkan bahwa peran gereja sebagai pemersatu, menumbuhkan kesalingpengertian antar anggota jemaat dapat terjadi. Majelis Jemaat bertanggung jawab dalam mengadakan program pelayanan yang dapat menjangkau dan merengkuh setiap anggota jemaat untuk dapat bertumbuh dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Peristiwa Pentakosta dalam Kisah Para Rasul 2:1-13 mengisahkan bagaimana pelayanan perdana para rasul kepada orang-orang Yahudi atau penganut agama Yahudi dari beragam kelompok etnis, Roh Kudus memampukan mereka berbicara dalam bahasa-bahasa yang dimengerti oleh orang-orang tersebut. Menjadi relevan dan kontekstual sangat diperlukan untuk menumbuhkan semangat persatuan sebagai murid Kristus. Oleh karena itu, kami berharap, janganlah kita menjadi sensitif dengan pertanyaan mengenai etnis. Sebaliknya, marilah melihat bahwa siapapun kita dengan latar belakang kita, gereja mau mengenal, menghargai dan menerima keberadaan kita.
Melalui sapaan gembala ini, kami hendak memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara anggota jemaat secara khusus untuk dapat berpartisipasi dalam pengkinian data ini, untuk membangun jemaat GKI Pengadilan bersama-sama. Dan untuk mereka yang sampai saat ini masih berstatus simpatisan, kami menunggu dan menantikan Bapak/Ibu/Saudara bergabung bersama kami, menjadi anggota jemaat GKI Pengadilan. Tuhan Yesus memberkati kita semua.
Minggu, 12 Juni 2016
ANAK: GENERASI PENERUS SEKALIGUS GENERASI MASA KINI
Bapak,Ibu,Saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus, kami berharap bahwa Saudara semua dapat tetap merasakan damai sejahtera Tuhan di setiap langkah perjalanan kehidupan. Meskipun memang pergumulan, kesulitan dan tantangan tidak pernah kunjung usai. Apalagi jika kita mengamati fenomena alam, baik dengan cuaca maupun gelombang pasang yang akhir-akhir ini seolah menjadi begitu kerasnya terhadap kehidupan manusia. Biarlah sebagai umat Tuhan, kita memiliki sikap iman yang mengandalkan hanya pimpinan dan rancangan Tuhan dalam kita menjalani hidup ini.
Selama Bulan Juni 2016, di GKI Pengadilan, kita akan menghayati tema khusus di dalam rangka Bulan Anak. Mungkin ada sebagian dari kita bertanya, mengapa ‘anak’ seolah mendapat porsi khusus dari gereja sehingga memiliki tema khusus selama 1 bulan penuh? Gereja ingin menyatakan dan menyuarakan perhatian dan kepedulian terhadap anak-anak. Sudah sering dikatakan bahwa, anak-anak ini adalah generasi penerus gereja; bagaimana kita memperlakukan mereka pada saat ini menjadi sebuah proses penanaman yang hasilnya akan kita tuai di masa mendatang, entahkah di 20 atau 30 tahun ke depan. Pernyataan ini tidak salah tetapi juga harus kita perdalam pemaknaannya. Memandang anak-anak yang ada sekarang, dengan pandangan yang menembus jauh ke depan, memang harus kita miliki sebagai langkah menetapkan visi dan arah pelayanan kita. Namun, ada hal lain lagi. Marilah kita memandang anak-anak ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari generasi sekarang. Ya, memandang mereka seperti yang ada pada saat ini di hadapan kita. Sungguh sebuah ironi, ketika kita memandang mereka begitu signifikan bagi masa mendatang, seringkali tanpa disadari, justru mengesampingkan mereka di masa kini. Anggapan-anggapan usang seperti ‘mereka belum mengerti’ atau ‘yah..namanya masih anak-anak, belum bisa apa-apa’ sudah harus kita tinggalkan. Kita sedang berhadapan dengan generasi yang berbeda dengan kita sebagai orang dewasa, maka cara memperlakukan mereka pun harus disesuaikan dengan pola mereka. Generasi anak sekarang adalah generasi teknologi, ada juga yang menyebut sebagai constantly connected generation atau generasi yang selalu terhubung.
Pertanyaannya, apa yang selalu terhubung dalam generasi ini? Komunikasi dan informasi. Generasi ini, sebagaimana sebenarnya dunia anak-anak selalu memiliki pertanyaan, baik mengenai hal-hal sederhana maupun hal-hal rumit sampai hal yang mungkin bagi generasi orang dewasa merupakan suatu keterkejutan, karena mungkin pikiran kita sulit menyambungkan antara umur si anak dengan tingkat pertanyaannya. Bagaimana kita menyikapi pertanyaan-pertanyaan mereka yang kemudian bisa kita kategorikan sebagai pertanyaan yang ‘ajaib’? Generasi anak 30 tahun yang lalu, mungkin akan segera diam ketika mereka bertanya dan orang tua menjawab “sudah, tidak perlu tanya-tanya” atau “bukan urusan anak kecil”. Tapi itu 30 tahun yang lalu dan bukan masa kini. Generasi anak masa kini, ketika mereka bertanya dan menerima jawaban seperti itu, mungkin mereka akan diam, dalam artian tidak bersuara lagi. Tapi kita tidak bisa mencegah mereka bersuara dan bertanya di tempat lain. Mereka mungkin tidak lagi berkata-kata dengan kita, tetapi kemudian mengambil smartphone yang kita berikan sebagai wujud sayang kita, membuka koneksi internet dan dengan mudahnya menuangkan pertanyaan mereka agar dunia maya, yang tidak pernah menolak menjawab, memberikan informasi kepada mereka. Apakah informasi itu benar atau salah? Darimana anak-anak itu memiliki saringan dan kepekaan untuk membedakan jika justru orang tua, kakek nenek tidak pernah memberikan penjelasan yang tepat dan sesuai dengan kebenaran firman? Mereka akan dengan cepatnya menyerap dan mengambil semua yang disajikan dalam dunia maya menjadi bagian kehidupan mereka. Semakin kita menolak dan menghindari gaya mereka, semakin jauhlah mereka dari kita, karena mereka mencari tempat yang nyaman dan menyenangkan, yang mau menerima mereka apa adanya dan menjawab semua keingintahuan mereka.
Roma 12:2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”. Bukankah ini kerinduan kita untuk melihat anak-anak dapat membedakan manakah yang menjadi kehendak Allah dalam kehidupan mereka. Anak-anak dapat menjalani kehidupan mereka sebagai kehidupan yang baik, yang berkenan kepada Allah, sebuah kehidupan yang sempurna, dalam artian sesuai dan seturut dengan rancangan Allah bagi mereka. Untuk itu mereka perlu pembaharuan budi yang membuat anak-anak tidak lagi serupa dengan dunia ini, tetapi dari mana mereka bisa melakukannya? Itulah sebabnya Tuhan menempatkan kita, generasi yang lebih tua, di sekitar mereka. Kita mendapat tanggung jawab dari Tuhan atas perkembangan dan pertumbuhan iman sebagai teladan hidup bagi anak-anak. Kalau mereka sekarang dijuluki sebagai generasi yang selalu terhubung, sudahkah mereka terhubung dengan kehidupan kita secara intens, bahkan lebih intens dari koneksi dan komunikasi dengan dunia maya? Bagaimana kita mau menjadi teladan bagi anak sebagai generasi masa kini dan dalam visi untuk menjadi generasi penerus, kalau kita jarang terhubung dengan mereka? Oleh karena itu, ayat ini juga berbicara kepada kita sebagai generasi yang lebih tua, kita dipanggil untuk berubah dalam pembaharuan budi. Bersediakah kita mengubah gaya dan bentuk komunikasi kita? Bersediakah kita menjadi tempat jawaban setiap pertanyaan yang mungkin ‘aneh bin ajaib’ dari anak-anak? Mereka sebetulnya sedang membutuhkan patron/contoh/keteladanan hidup yang nyata, akankah mereka dapatkan dari kehidupan kita, sebagai orang yang dewasa dalam Kristus? Marilah kita merenungkannya…
Minggu, 19 Juni 2016
MENJADI SEPERTI ANAK KECIL
Salam sejahtera untuk kita semua. Memasuki pertengahan Bulan Juni 2016, sebagian besar orang tua telah menerima laporan pendidikan formal anak-anak, ada juga yang masih menunggu bahkan tidak sedikit juga yang bergumul untuk jenjang pendidikan berikutnya yang harus segera diperoleh sebelum dimulainya tahun pelajaran yang baru; 2016-2017. Kami berharap, apapun situasi pergumulan yang sedang Bapak/Ibu hadapi secara khusus mengenai pendidikan sang buah hati, biarlah segala upaya mengusahakan yang terbaik diiringi juga dengan berserah pada pimpinan dan rancangan yang hendak Tuhan hadirkan dalam kehidupan anak/anak-anak Saudara. Menjadi begitu mudah bagi kita menaikkan puji syukur dan sembah tatkala apa yang kita harapkan dan mohonkan, Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita. Tetapi bagaimana apabila justru keadaan sebaliknya yang Tuhan hadirkan? Mungkin pertanyaan dan ketidak mengertian yang bertubi-tubi lebih menghabiskan waktu doa kita daripada puji sembah yang kita naikkan. Memang betul bahwa keterbatasan manusiawi kita tidak memungkinkan kita dapat menerjemahkan seluruh kehendak ilahi yang mewujud dalam kehidupan kita. Namun, bukan berarti hal tersebut menghalangi atau bahkan membatasi haturan puji syukur dan sembah kita sebagai makhluk ciptaan kepada Sang Pencipta, yang memiliki kuasa penuh atas kehidupan yang telah dianugerahkanNya bagi kita.
Perenungan ini menuntun kepada perkataan Tuhan Yesus yang juga masih berkaitan dengan pelaksanaan Bulan Anak. Matius 18:2-3 “Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Masuk ke dalam Kerajaan Sorga menjadi harapan dan kerinduan setiap umat yang percaya yang bersamaan dengan itu juga merupakan suatu pertanyaan besar bagaimana seorang dapat mengalaminya. Yang menjadi menarik dan yang menjadi penjelasan Yesus atas pertanyaan dan kerinduan manusia ini. Di dalam ayat 3, disebutkan ada dua hal yang menjadi penuturan Yesus. Yang pertama adalah bertobat (metanoia). Hidup dalam pertobatan yang berarti berbalik dari laku yang tidak seturut firman dan kehendak Allah. Hal ini sudah menjadi permakluman bagi setiap orang yang beriman. Bahwasanya mereka harus berani meninggalkan kenikmatan dalam keegoisan dan kehendak pribadi untuk senantiasa mengarahkan diri hanya kepada ketertundukkan kepada Allah, Sang Pemberi Hidup. Pertobatan adalah sebuah tantangan untuk menaklukkan diri. Namun, ada hal yang kedua, yang mungkin mencengangkan bagi sebagian orang, yaitu menjadi seperti anak kecil. Bukankah ketika sudah berusia dewasa, sepatutnya kita meninggalkan perilaku kekanak-kanakan. Kenapa justru Tuhan Yesus menyuruh untuk menjadi seperti anak kecil? Tuhan Yesus ingin kita melihat dan mencontoh beberapa sifat yang baik dari kanak-kanak, di mana kehidupan mereka belum dipengaruhi intrik dan polemik kehidupan. The Amplified Bible, memberi penekanan pada terjemahan little children sebagai berikut: trusting (mempercayai), lowly (rendah hati), loving ( mengasihi), forgiving (saling memaafkan).
Trusting. Anak kecil memiliki sifat mempercayai yang sangat besar kepada orang yang berada di sekitarnya. Terhadap setiap informasi yang mereka terima, semuanya diambil dan ditelan seolah-olah apa yang disampaikan merupakan kebenaran. Untuk orang dewasa, kita dituntut dan dilatih untuk bersikap waspada, hati-hati bahkan seringkali dipengaruhi oleh paradigma, pengalaman masa lalu dan pola pendidikan. Hal itu pun diberlakukan sama terhadap panggilan dan pernyataan kebenaran firman Tuhan. Rasanya teramat sulit untuk menerima dan percaya dengan segala sesuatu yang telah disampaikan Tuhan. Peringatan Yesus untuk hal ini terasa sekali terhadap sikap dan kelakuan orang Yahudi, yang terus berusaha untuk menerjemahkan perintah Allah seturut pemikiran dan kebenarannya sendiri. Mereka sangat sulit untuk dapat percaya akan karya ilahi yang melampaui paradigma mereka. Tantangan bagi setiap kita, maukah kita percaya/beriman dengan segenap hati dan hidup kepada perintah Allah?
Lowly. Kata ini dikaitkan dengan kerendahan hati dan ketulusan. Anak-anak, kecuali karena dipengaruhi lingkungan dan pergaulan, dengan rendah hati dan tulus menerima apa yang ada pada mereka. Seorang anak bisa saja memiliki cita-cita menjadi seorang tukang pos, yang mungkin membuat kita tertawa mendengarnya. Tetapi itulah mereka, penuh dengan ketulusan. Demikiam juga dengan prilaku mereka yang spontan dan apa adanya, tulus mengalir dari hati dan hidup mereka. Tantangan bagi kita untuk memiliki sifat tulus dan rendah hati dalam menjalani kehidupan ini.
Loving. Mengasihi. Ya, ini yang sangat nampak dalam kehidupan anak kecil. Mereka yang merasakan indahnya dikasihi oleh orang tua mereka, itu juga yang mereka teruskan dalam sikap dan perbuatan. Dengan tidak malu-malu, anak-anak mau menunjukkan kasih sayangnya kepada siapa saja yang dekat dengan mereka. Wujud rasa sayang mereka bisa berupa kata-kata pujian, pemberian-pemberian (apa saja yang mereka mau berikan) bahkan pelukan. Dapatkah kita sebagai orang dewasa, mengasihi dengan begitu tulus seperti yang ditunjukkan anak-anak? Bukankah kita sudah mendapat contohnya ketika setiap saat kita menerima kasih Allah?
Forgiving. Betapa seringnya kita melihat dan mungkin mengalami sendiri, bagaimama anak-anak ketika bermain lalu kemudian tidak akur, menjadi marah satu dengan yang lain tetapi tidak berapa lama, mereka bermain kembali seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan ketika ditanya, mereka menjawab bahwa teman yang tadi tidak akur merupakan teman yang baik. Sungguh hal ini membingungkan. Anak-anak dapat dengan segera saling memaafkan dan tidak mengingat-ingat kesalahan temannya, bahkan mau berada kembali bersama mereka dalam situasi dan keadaan yang baik. Tuhan Yesus menginginkan saling memaafkan dan pengampunan menjadi bagian dari kehidupan kita.
Tuhan Yesus memampukan kita semua untuk menjalankan perintahNya.
Minggu, 26 Juni 2016
MEMBANGUN KESATUAN ORANG TUA DAN ANAK
Bapak/Ibu/Saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus. Apakah kita pernah mendengar keluh kesah dua pihak, sisi anak yang merasa bahwa mereka punya kesulitan berbicara dengan orang tua mereka dan demikian pula sebaliknya? Apakah yang kemudian dipersalahkan atas persoalan ini? Ya, sering dikatakan bahwa adanya gap generasi (perbedaan generasi) sehingga komunikasi seringkali tidak berjalan dengan baik. Pertanyaan selanjutnya, apakah memang fakta perbedaan generasi ini menjadi titik persoalan sehingga untuk mewujudkan kesatuan antara orang tua dan anak mengalami kesulitan yang cukup besar? Ada penyebab lain yang sebetulnya lebih mendasar. Manusia, dalam ego-nya cenderung berpikir terkotak-kotak. Amatlah sulit untuk melihat dan menempatkan diri dalam kesatuan yang setara dengan pihak-pihak lain, tidak terkecuali dalam hubungan orang tua dan anak. Hal yang perlu kita senantiasa pegang adalah bahwa anugerah dan kasih karunia Tuhan Yesus Kristus telah mempersatukan berbagai kalangan dan golongan, termasuk di dalam hubungan orang tua dan anak. Di dalam Dia, semua manusia satu dan sama, dan menjadi tanggung jawab kita untuk membangun kesatuan, mula-mula dalam kehidupan di keluarga kita.
Oleh karena itu, mari kita mendalami pernyataan Paulus, yang walaupun disampaikan dalam rangka kesatuan jemaat di Efesus, dapat juga menjadi pembelajaran bagi kita untuk membangun kesatuan dalam keluarga. Dalam Efesus 4:3-7, Paulus begitu menekankan agar umat berusaha memelihara kesatuan Roh. Dibutuhkan lebih dari sekedar doa penyerahan agar kesatuan terwujud. Masing-masing pihak dipanggil untuk mengusahakan, yaitu keluar dari kenyamanan/kesenangannya untuk kemudian dengan segenap upaya memberi dirinya agar kesatuan dapat terjadi dalam ikatan damai sejahtera. Bukan kesatuan yang semu atau lahiriah saja tetapi dengan hubungan yang mendalam di mana masing-masing pihak, baik anak maupun orang tua dapat mengalami adanya damai sejahtera dalam kehidupannya. Maka, Paulus melanjutkan penjelasannya dengan pendasaran yang harus dimiliki setiap pribadi, bahwa di dalam kehidupannya hanya ada:
• Satu Tuhan. Pemilik kehidupan kita hanyalah Yesus Kristus. Karena Dialah yang sudah membayar harga kita semua dengan kematianNya. KebangkitanNya membawa kita semua menjadi milikNya, hambaNya. Setiap pihak, baik orang tua maupun anak, dalam menjalankan kehidupan senantiasa berfokus bahwa kita adalah hamba yang sedang melayani Sang Tuan yaitu Tuhan Yesus Kristus.
• Satu Allah dan Bapa. Hal ini bukan hendak memisahkan adanya Tuhan dan Allah
( 2 Allah / sesembahan). Paulus ingin menekankan bahwa hidup kita dijadikan dan dipelihara dalam kasih Allah seperti kasih seorang Bapa kepada anak-anakNya.
• Satu Roh. Roh Allah mengikat dan mempersatukan setiap orang yang membuka hidupnya mengalami Kasih Bapa dan percaya akan karya keselamatan dalam Kristus Yesus. Tidak ada roh-roh lain yang menguasai kehidupan umat selain dari Roh Allah.
• Satu Tubuh. Dengan Kristus sebagai KepalaNya. Berarti kita adalah anggota-anggota tubuh Kristus. Dengan keterbatasan kita, kita ditempatkan untuk berfungsi sesuai yang Tuhan inginkan. Perbedaan fungsi yang ada di dalam tubuh Kristus, tidaklah boleh dijadikan alat untuk menonjolkan peran dan kelebihan yang pada akhirnya menjauhkan kita dari sesama. Justru sebaliknya, mari kita melihat, bahwa Tuhan menghadirkan orang lain dalam kehidupan dan pelaksanaan fungsi kita untuk memperlengkapi, menunjang dan bersinergi menjadi lebih baik dalam perwujudan maksud dan rencana dari Sang Kepala yaitu Yesus Kristus.
• Satu harapan yang sama. Hal ini terkait dengan tugas panggilan bagi seluruh umat yaitu untuk berusaha sungguh-sungguh hidup dalam damai supaya kesatuan tetap terpelihara.
Dengan berlandaskan pengertian dan penghayatan kesatuan ini, keluarga menjadi tempat pertama untuk mulai membangun kesatuan. Dalam hubungan orang tua dan anak, masing-masing berproses dan dibentuk. Setiap anggotanya belajar untuk menundukkan diri dalam kebenaran Firman dan kehendak Tuhan, Tuhan yang berkuasa dan bertahta dalam kehidupan keluarga, saling peka dan peduli satu dengan yang lain, mengingatkan dan saling mengangkat untuk penghayatan yang lebih baik. Melalui kesatuan yang dibangun dalam keluarga inilah, menjadi kekuatan untuk membangun kesatuan dalam lingkup yang lebih luas yaitu dalam gereja, masyarakat, bahkan dalam alam semesta sehingga di manapun Tuhan menempatkan kita, damai sejahtera Tuhan nyata melalui kehadiran kita yang terbuka untuk mewujudkan kesatuan. Tuhan Yesus memampukan selalu.