PERASAAN ADALAH CIPTAAN ALLAH
“Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.” (Kejadian 1:31)
Setelah Allah menciptakan bumi dan segala isinya, maka diurutan terakhir, Ia menciptakan manusia. Kita hafal terkait narasi penciptaan yang mengatakan bahwa manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Bahkan dibagian akhir Kitab Kejadian 1, dikatakan bahwa kita diciptakan oleh Allah dengan “sungguh amat baik”. Itu berarti, segala yang ada pada diri kita pada dasarnya adalah hal yang baik dan diciptakan untuk maksud yang baik, termasuk di dalamnya perasaan yang kita miliki.
Perasaan sudah ada bersama-sama dengan kita semenjak kita lahir, dan dengan bertambahnya usia kita, maka semakin banyak juga perasaan yang kita miliki. Mulai dari perasaan yang membawa kebahagiaan (bahagia, sukacita, gembira, dll.) sampai kepada perasaan yang tidak kita sukai/sering disebut sebagai perasaan yang “negatif” (marah, sedih, kecewa, dll.). Sebagian dari kita sering kali menganggap bahwa perasaan yang “negatif” itu seharusnya dihilangkan, karena hanya akan membawa kita kepada dosa. Jika ada seseorang yang marah, biasanya kita langsung takut dan menganggap bahwa orang itu otomatis sudah jatuh ke dalam dosa. Padahal, perasaan itu adalah respons tubuh kita terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita. Kita senang karena kita mendapat hadiah. Kita kecewa karena kita dibohongi. Perasaan ada bersama-sama dengan kita setiap hari, dan turut mempengaruhi kehidupan kita.
Jika kita hadir di Ibadah Umum hari ini, maka kita akan membaca salah satu kisah di mana Yesus mengekspresikan kemarahanNya. Yesus marah, karena Bait Allah yang Suci itu justru dinodai dengan adanya penipuan dan pemerasan oleh para pedagang. Yesus marah, tapi Ia tidak jatuh ke dalam dosa. Ia tahu bahwa merasa marah adalah hal yang wajar, karena manusia adalah makhluk yang lahir dengan perasaan. Yang Ia kendalikan adalah respons terhadap perasaan marah itu, sehingga kemarahan itu tidak membuatNya jatuh ke dalam dosa. Dengan kata lain, manusia boleh merasa marah, kecewa, sedih, tanpa harus merasa bahwa perasaan itu adalah perasaan yang negatif. Bukan perasaannya yang negatif/positif, melainkan respons terhadap perasaan itu yang baru bisa dinilai baik/buruk. Karena ada juga, kok, manusia yang jatuh ke dalam dosa karena awalnya ia merasakan perasaan bahagia/gembira (contoh: orang yang membeli obat-obatan terlarang karena ia terlalu senang ketika memiliki uang berlimpah).
Perasaan adalah ciptaan Allah, dan perasaan diciptakan untuk maksud dan tujuan baik. Agar perasaan yang kita miliki bisa berguna sebagai sesuatu yang baik, maka yang perlu kita kendalikan dan olah bukanlah perasaan kita, melainkan respons kita terhadap perasaan yang sedang kita rasakan.
Hani
MENERIMA ANUGERAH = BERDAYA MELAKUKAN PEKERJAAN BAIK
“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang disiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamNya.” (Efesus 2:10)
Setiap kita diberi anugerah untuk bisa percaya dan mengakui Yesus Kristus sebagai Juruselamat, serta menerima anugerah untuk menjalani kehidupan dalam tuntunan Allah. Bagi setiap kita yang percaya bahwa kita telah menerima anugerah dari Allah Bapa, maka di saat yang sama kita juga sudah menerima daya/kekuatan untuk melakukan berbagai pekerjaan baik di dalam Dia. Dengan kata lain, sesungguhnya kita (tanpa terkecuali) adalah orang-orang yang berdaya untuk melakukan berbagai pekerjaan baik.
Pekerjaan baik yang dimaksud ialah bukan sekedar asal berbuat baik. Namun pekerjaan-pekerjaan yang didasarkan pada teladan hidup Kristus; yaitu pekerjaan yang berfokus pada perwujudan Kerajaan Allah di bumi. Kita berdaya melakukan pekerjaan baik bukan supaya kita dikenal sebagai orang baik, tetapi supaya setiap orang boleh merasakan perjumpaan bersama dengan Allah. Bukan juga karena kita hebat dan tanpa cela, melainkan karena cintaNya yang memampukan dan memperlengkapi kita.
Pekerjaan-pekerjaan baik yang diteladankan Kristus Yesus ialah semua pekerjaan yang berfokus pada tindakan mengasihi dan menolong sesama sesuai dengan kebutuhannya. Menyembuhkan yang sakit; memberi makan yang lapar; memberi tumpangan kepada orang asing; membalut yang terluka; merangkul yang tersingkirkan; mengampuni yang menyesali kesalahannya; serta memberi pengajaran kepada yang rindu diperlengkapi. Dengan kata lain, melakukan pekerjaan baik berarti mau belajar melakukan apa yang Yesus lakukan. Kita perlu mengimitasi Yesus.
Berbagai pekerjaan baik itu pun dilakukan bukan hanya di dalam gedung gereja. Justru, pekerjaan baik itu perlu kita lakukan di segala tempat di mana kita hadir di sana. Di rumah, di tempat kita bekerja dan berkarya, di tempat kita bergaul, di tengah lingkungan masyarakat, bahkan di tempat-tempat yang baru kita kunjungi sekalipun. Semua ini perlu kita lakukan agar perwujudan Kerajaan Allah bisa semakin luas dirasakan. Bukan hanya kepada orang-orang Kristen, melainkan pada semua orang yang Tuhan izinkan bertemu dengan kita.
Terlepas dari apa pun dan bagaimana pun keadaan diri kita, ketika kita percaya bahwa kita sudah menerima anugerah dari Allah Bapa, maka sesungguhnya kita berdaya untuk melakukan berbagai pekerjaan baik. Selamat menyambut anugerah Allah, selamat melakukan berbagai pekerjaan baik.
Hani
KETAATAN ADALAH WUJUD IMAN
“Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya, dan Ia dipanggil menjadi Imam Besar oleh Allah, menurut peraturan Melkisedek.” (Ibrani 5:8-10)
Menjadi taat itu tidak selalu mudah. Alasan seseorang menjadi taat pun beragam. Bisa karena ia takut, karena ingin menyenangkan orang lain, atau bahkan karena ia tidak ingin terlibat dalam sebuah masalah. Namun bukan ketaatan seperti itu yang diteladankan oleh Yesus. Yesus taat bukan karena Ia takut. Bukan pula hanya karena ingin terlepas dari masalah. Ia taat karena hanya melalui ketaatanNya, manusia bisa melihat kemuliaan Bapa. Ia taat karena Ia percaya kepada Bapa. Ketaatan adalah wujud iman atau wujud kepercayaan kita kepada Allah. Kita bisa mengenal mana orang-orang yang percaya/tidak percaya, beriman/tidak beriman kepada Allah melalui ketaatannya.
Itulah sebabnya dalam beberapa bagian Alkitab (seperti misalnya dalam Yak.2; Yoh.3:20-21) kita menemukan bahwa perbuatan dan tindakan kita turut menentukan kelayakan kita di hadapan Allah. Bukan karena perbuatan kita berkuasa menyelamatkan kita, melainkan karena perbuatan kita adalah cerminan dari kepercayaan/iman kita kepada Allah. Orang yang percaya/beriman kepada Allah, pastilah perbuatan dan tingkah lakunya sesuai dengan kehendak dan Firman Allah. Begitu juga sebaliknya.
Yesus yang merupakan Anak Allah memberikan kita contoh/teladan tentang bagaimana menjadi taat di hadapan Allah. Yesus setia melakukan apa yang menjadi kehendak Allah, sekalipun Ia harus menempuh jalan yang tidak mudah. Inilah juga yang perlu kita pelajari dalam menjalani hidup ini. Mungkin ada saatnya di mana kita tergoda untuk tidak taat dan memilih jalan pintas (berbohong, korupsi, melakukan tindakan suap, menyontek, mengandalkan kuasa gelap, lari dari masalah, dll.) untuk menyelesaikan masalah yang kita miliki. Tetapi kalau kita sadar bahwa tindakan sehari-hari kita adalah cerminan dari kepercayaan/iman kita terhadap Allah, mestilah kita taat dan menghindari jalan pintas yang berlawanan dengan kehendak Allah.
Melalui pertolongan Roh Kudus, ketaatan Yesus membuat kita menjadi orang-orang yang percaya kepada Bapa. Melalui ketaatan Yesus juga, nama Bapa dimuliakan. Untuk itu dengan tetap mengandalkan pertolongan Roh Kudus, biarlah ketaatan kita juga memuliakan Bapa dan membuat orang-orang di sekitar kita (secara khusus yang belum percaya) bisa menjadi percaya kepada Bapa. Biarlah kita senantiasa sadar bahwa ketaatan kita adalah wujud iman kita. Kita baru bisa dikatakan percaya/beriman kepada Allah, ketika kita taat.
Hani
MENDERITA BERSAMANYA
“TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati,
dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” (Mazmur 34:19)
Kita suka merefleksikan Tuhan sebagai Pribadi yang menolong kita dalam kesesakan, yang membalut luka-luka kita, bahkan sebagai Pribadi yang bersedia menopang kita saat kita terjatuh. Tentu refleksi seperti ini tidak salah. Bahkan, melalui refleksi kita yang seperti ini, sering kali kita dikuatkan untuk kembali menjalani kehidupan kita. Namun dalam iman Kristen, secara khusus melalui perenungan selama Masa Raya Prapaskah, kita menjumpai Tuhan Allah yang tidak hanya sekedar menolong, membalut, dan menopang kita, melainkan Tuhan Allah yang juga menderita bersama-sama dengan kita. Bukan hanya Tuhan Allah yang kuat dan berkuasa, namun juga Tuhan Allah yang solider, yang ikut merasakan penderitaan kita sebagai manusia.
Untuk itu ketika Mazmur mengatakan bahwa, “Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati,” maka arti kata dekat di sini bukan hanya perihal jarak antara kita dengan Tuhan. Tuhan tidak hanya sekedar menyaksikan kita (yang sedang menderita) dari dekat, justru Tuhan juga ikut merasakan kesakitan hati dan penderitaan kita. Dan ketika dikatakan bahwa “Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya”, maka Tuhan menyelamatkan kita bukan karena Ia bebas dari keremukan jiwa. Justru karena Ia sudah terlebih dahulu merasakan keremukan jiwa.
Minggu ini kita merayakan Minggu Prapaskah yang keenam yang juga disebut sebagai Minggu Palmarum atau juga Minggu Sengsara. Pada minggu ini, kita kembali menghayati perjalanan Tuhan kita Yesus menuju waktu penyalibanNya. Kita kembali diingatkan bahwa Tuhan kita bukanlah Tuhan yang lari dari penderitaan, melainkan Tuhan yang berani menderita untuk menunjukkan cinta kasihNya kepada kita. Ia adalah Tuhan Allah yang solider kepada penderitaan kita.
Untuk itu jika saat ini kita diizinkan untuk berhadapan dengan penderitaan-penderitaan di dalam kehidupan kita, biarlah kita menjadi pribadi yang berani merengkuh penderitaan itu. Bukan karena kita kuat dan sempurna, melainkan karena kita memiliki Allah yang rela menderita bersama-sama dengan kita. Itulah sumber kekuatan kita yang sejati. Kita tidak pernah sendirian dalam menjalani kehidupan ini. Kita betul-betul tidak pernah berjalan sendiri. Ia tidak pernah memalingkan wajahNya saat kita sedang menderita. Justru, Ia ada di samping kita, menemani kita, menggandeng tangan kita, agar Ia bisa memastikan bahwa dalam penderitaan sekalipun, kita tidak sendirian. Ia menderita bersama dengan kita. Kita menderita bersamaNya.
Hani
MENYAKSIKAN UNTUK MENJADI SAKSI
“Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN” (Mazmur 118:17)
Selamat hari Paskah bagi kita semua! Ia hidup. Ia sungguh-sungguh hidup.
Setiap tahun kita merayakan peristiwa kebangkitan Kristus. Kita mengingat segala ketaatan dan pengurbananNya sambil kita bersama-sama melatih diri untuk menjadi serupa denganNya. Melalui hari Paskah yang kita rayakan, kita tidak hanya sekedar diajak untuk merayakan hari raya gerejawi belaka. Justru kita diajak untuk senantiasa mengingat cintaNya yang begitu besar bagi dunia dan segala isinya. Ia tidak hanya mati bagi kita dan dunia, namun Ia juga bangkit bagi kita dan bagi dunia.
Bagi setiap kita yang percaya kepada Kristus, maka sesungguhnya kita adalah saksiNya; saksi kehidupan dan saksi kematianNya. Sekalipun kita tidak melihatnya secara langsung, namun melalui Alkitab, pengajaran dari gereja dan sekolah, serta dari pengalaman hidup pribadi kita bersama dengan Tuhan, maka sebenarnya kita telah menyaksikan bagaimana kehidupan dan kematian Kristus Yesus sungguhlah nyata.
Ketika Pemazmur mengatakan, “Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN”, maka sebenarnya Pemazmur meyakini bahwa kehidupan yang ia jalani adalah untuk menjadi saksi kebaikan Tuhan. Pemazmur sadar bahwa cinta kasih Allah akan memampukan setiap kita untuk menjadi pribadi yang juga penuh cinta dan kasih. Dengan kata lain, siapa yang telah merasakan dan mengalami cinta kasih Allah, tidak mungkin tahan untuk berdiam diri dan hanya menikmati kasihNya seorang diri. Sebaliknya, mereka akan berusaha membagikan cinta kasih itu seluas dan sebanyak mungkin. Kita diizinkan menyaksikan kebaikanNya, agar kita berdaya menjadi saksi kebaikanNya kepada setiap orang yang kita temui.
Kita menjadi saksi Tuhan bukan hanya melalui kata-kata yang kita katakan, namun juga (bahkan pertama-tama) melalui apa yang kita lakukan; bagaimana sikap kita kepada pasangan, keluarga, teman, bahkan kepada orang asing; bagaimana kita bertanggung jawab atas waktu, materi, dan segala hal yang Tuhan percayakan kepada kita; dan bagaimana ketika kita berhadapan dengan konflik dan permasalahan.
Segala hal yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan, semuanya bisa menjadi sarana kita dalam bersaksi kepada sesama. Mari kita jadikan momen Paskah ini sebagai sumber semangat dalam menjadi saksiNya, sehingga melalui kehidupan yang telah dianugerahkan Tuhan, orang lain pun bisa melihat dan merasakan cinta kasih Tuhan. Kita bisa menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada, dan Tuhan itu adalah kasih. Sekali lagi, selamat Paskah bagi setiap kita! Karena kebangkitanNya, “kita tidak akan mati, tetapi hidup” dan karena segala kebaikanNya juga, “kita akan menceritakan perbuatan-perbuatan Tuhan.” Be the reason someone believes God is good.
Hani