Minggu, 6 November 2022
MEMAKNAI DAN MERAYAKAN BERTAMBAHNYA USIA
Ulang tahun menjadi momen yang ditunggu dan dirayakan oleh sebagian orang dan lembaga. Simbol utama dari sebuah perayaan ulang tahun adalah angka. Semakin besar bilangan angka yang yang tertulis semakin banyak hal yang dirayakan. Bertambahnya usia menandakan panjangnya perjalanan, banyaknya pengalaman, panjangnya kisah kehidupan dan deretan panjang pencapaian yang bisa dibanggakan dan dikisahkan. Ulang Tahun juga menjadi momen untuk mengenang orang-orang yang berkontribusi, kisah-kisah yang berkesan, dan tikungan-tikungan tajam bahkan kelam yang menyertai langkah kehidupan. Semua itu memiliki makna, karena semua itu mewarnai langkah hidup yang telah dilalui. Tentu saja ada momen-momen yang indah dan membahagiakan yang membuat kehidupan semakin menggairahkan sekaligus menantang. Tahun ini GKI Pengadilan merayakan ulang tahun yang ke-54. Ulang Tahun yang perayaannya tidak terlalu terasa, jauh dari kesan megah dan mewah, juga membuat terperangah. Apakah itu berarti kita tidak menghayati dan memaknai ulang tahun di usia yang ke-54 ini?
Kita cenderung merayakan ulang tahun dengan cara yang berbeda di angka-angka tertentu. Kita memaknai angka tertentu sebagai lebih spesial dan bermakna. Ini tentu tidak salah, tetapi angka-angka tertentu itu bisa dicapai melalui usia-usia yang kita anggap biasa. Di angka yang biasa ini kita tetap harus mengingat dan merayakan kasih setia dan anugerah Tuhan yang menyertai setiap Langkah hidup. Bersyukur untuk hari, minggu, bulan, tahun yang sudah berlalu. Berhenti sejenak merenungkan keajaiban indah, dimana Tuhan Yesus menyertai kita pada hari ini, dan menatap ke depan untuk melanjutkan peziarahan hidup menuju panggilan hidup yang Tuhan Yesus berikan.
Ulang tahun GKI Pengadilan yang ke-54 ini mengambil tema: “PEMBERIAN DIRI SEBAGAI WUJUD SYUKUR”. Roma 12:1-8 menjadi dasar perenungan bagi umat untuk menghayati dan merayakan serta memaknai ulang tahun yang masih diwarnai oleh pandemi Covid-19. Usia 54 menjadi momentum bagi umat menghayati bahwa perjalanan hidup sebagai umat yang telah ditebus dan diselamatkan oleh Kristus hendaknya bermuara pada pemberian diri. Pemberian diri yang didasarkan pada kesadaran diri untuk mengucap syukur atas semua karya Tuhan dalam hidup kita bersama. Pemberian diri yang dilandasi kasih dan ketaatan untuk ikut serta dalam karya Tuhan yang menyapa sesama dan dunia. Pemberian diri sebagai salah satu bentuk persembahan yang diajarkan dan tentu saja dihidupi setiap anggota jemaat.
Di usia yang ke-54 ini, sebagai gereja kita masih bergulat dan bergumul dengan banyak hal. Di antaranya adalah masih sulitnya melalukan regenerasi para pelayan. Baik itu penatua, pengurus komisi, pengurus wilayah, panitia, pemusik, prokantor, anggota paduan suara. Bukan hanya itu, di beberapa bidang pelayanan juga bergulat dengan minimnya SDM yang bersedia terlibat di dalamnya, misalnya Guru Sekolah Minggu. Seperti yang Tuhan Yesus katakan: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.” Akankah hal ini menjadi kenyataan yang yang membuat kita ragu melangkah, menjawab panggilan kita sebagai Gereja? bersyukur bahwa Tuhan Yesus, Sang Kepala Gereja tidak berhenti di sini. Ia melanjutkan: “Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Lukas 10:2).
Bila saat ini banyak pekerjaan atau pelayanan yang Tuhan Yesus percayakan kepada GKI Pengadilan, kita juga percaya bahwa Ia akan mengirimkan para penuai. Dan biarlah Saudara-saudara menjadi para penuai yang Allah Bapa kirimkan dan utus, sehingga tuaian dapat dituai dengan baik. Semua pelayanan boleh mendapatkan pelayan-pelayan yang setia. Kiranya Roh Kudus memberi semangat dan kekuatan kepada Saudara untuk mengucap syukur melalui pemberian diri, agar seluruh kemuliaan Tuhan semakin semarak mengiringi bertambahnya usia.
“SELAMAT ULANG TAHUN GKI PENGADILAN”
Forum Pendeta
Minggu, 13 November 2022
PERUBAHAN DALAM DIRI DI KM 54
Apa reaksi saudara saat berjumpa dengan teman lama atau anggota keluarga atau siapa pun yang sudah lama tidak berjumpa, berkata demikian : “Wah, lama tidak jumpa, kamu tidak berubah ya.” Bisa juga mereka berkata: “Kamu tetap seperti yang dulu tidak banyak berubah. Apa rahasianya?” Bagaimana tanggapan Saudara? Bisa jadi orang akan bangga dengan ungkapan di atas atau bingung dengan pernyataan tadi. Orang yang bangga tentu akan bercerita tentang hidupnya yang “tidak banyak berubah.” Apakah ada orang yang tidak berubah setelah sekian tahun lamanya? Orang yang sensitif akan melihat dirinya dengan bingung, sambil berkata: “Masak sich!” dan di belakang mereka kita mungkin pernah bergosip: “Dia dari dulu tidak pernah berubah, sikapnya tetap seperti itu: sombong.”
Sebuah iklan menyatakan demikian: “Tua itu pasti, bijaksana itu pilihan” artinya bahwa hidup manusia itu secara alamiah akan berubah. Apakah itu wajah, rambut, bentuk tubuh, penampilan dan banyak lagi. Perubahan pada penampilan luar sangat mudah terlihat. Pertanyaannya apakah perubahan penampilan secara jasmani itu kemudian juga diikuti perubahan dari dalam dirinya (hatinya)? Misalnya menjadi semakin bijaksana. Perjumpaan dengan Tuhan Yesus seharusnya mengubahkan kehidupan setiap manusia (Roma 12:1-2). Hal ini dapat terlihat pertama-tama dalam relasinya dengan Tuhan, yang terwujud dalam kehidupan setiap hari.
Perubahan yang seharusnya juga nyata adalah perubahan dalam dirinya. Seperti yang dikatakan rasul Paulus: “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing (Roma 12:3). Pikiran manusia seringkali tidak dapat dibatasi, apalagi kalau hal ini berkaitan dengan dirinya sendiri. Inilah yang seringkali menjadi pangkal: kesombongan, tinggi hati, merendahkan orang lain, merasa diri benar, merasa diri paling penting, bisa melakukan segalanya sendiri. Perubahan dalam diri, dimulai saat kita menguasai diri. Apa ukurannya? Pertama adalah: iman. Iman adalah keyakinan kita dalam relasi dengan Tuhan. Iman memampukan kita memiliki pengharapan di luar kemampuan kita, tetapi juga berani menerima kelemahan dan keterbatasan kita. Sebagai orang beriman kita berani menerima tanggung jawab yang Tuhan Yesus percayakan. Pada saat yang sama juga tidak menginginkan dan mewujudkan dengan segala cara tanggung jawab yang tidak bisa kita kerjakan. Orang Jawa mengatakan: “Narimo ing pandum.”
Ukuran kedua adalah: “yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” Setiap karunia adalah apa yang Tuhan Yesus berikan, bukan apa yang kita minta. Bila hal ini terjadi, tidak akan ada iri hati, perselisihan atau pertengkaran apalagi persaingan juga rasa kecewa dan marah, pada Tuhan sekalipun saat melihat berbagai kelebihan pada orang lain. Setiap orang akan mensyukuri hidupnya, juga hidup orang lain. Setiap orang akan menerima dirinya sendiri tanpa merasa rendah diri. Setiap orang akan melihat berkat dan bakat dalam dirinya tanpa perlu membandingkan dengan sesamanya. Setiap orang akan berkontribusi secara maksimal karena ia tahu menempatkan dirinya: sesuai anugerah yang Tuhan Yesus anugerahkan. Perubahan yang mendasar senantiasa dimulai dari diri sendiri.
Ulang tahun GKI Pengadilan yang ke-54 ibarat sebuah perhentian di rest area. Kita beristirahat sejenak di tengah perjalanan panjang yang telah kita tempuh. Masing-masing diri merenung dan berefleksi: perubahan apa yang terjadi dalam peziarahan iman. Setiap perjumpaan dengan sesama atau berbagai peristiwa seharusnya membawa pada kesadaran dan perubahan diri.
Perjumpaan dengan Tuhan Yesus yang tidak mendatangkan perubahan dalam diri adalah perjumpaan yang sia-sia.
Forum Pendeta
Minggu, 20 November 2022
BERKARYA BAGI KRISTUS DI TENGAH JEMAAT DI KM 54
“Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan,
hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.” (Roma 12: 8b)
Perbedaan adalah kenyataan yang seringkali tidak bisa diterima oleh kebanyakan orang, atau lebih tepatnya belum mampu diolah oleh para peziarah kehidupan dengan bijak dan tepat. Tidak mengherankan bila bersumber dari perbedaan ini munculah sikap saling membenci, menyingkirkan, mengelompokkan diri dan kalau perlu menyingkirkan yang tidak sama. Apakah kemudian mereka yang “merasa sama” itu bisa hidup dengan aman, nyaman dan bahagia? Belum tentu! Dunia tidak kekurangan contoh, bagaimana, lembaga atau kelompok yang menahbiskan diri sebagai kelompok dengan latar yang sama sekalipun juga tidak kebal terhadap perpecahan dan pertikaian. Bahkan Gereja dengan begitu banyak kesamaan dari diri anggotanya, tidak terhindarkan dari pertikaian, perpecahan dan saling menyingkirkan. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
Salah satu sumber perpecahan dan pertikaian serta hilangnya harmoni dan munculnya nada sumbang dalam orkestra kehidupan bergereja adalah: pementingan diri sendiri. Pementingan diri sendiri yang lahir dan hadir dari belum dewasanya setiap anggota persekutuan saat berkarya bersama. Hal ini menegaskan bahwa pembaharuan budi dan perubahan diri seringkali terlewati dalam pertumbuhan iman sebagai pengikut Kristus yang hidup di tengah persekutuan. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya kesalahpahaman dan motivasi dalam memaknai dan melakukan pelayanan. Masih banyak orang yang merasa terpaksa dan “itung-itungan” dalam pelayanan. Jauh dari kata ikhlas yang mencerminkan bahwa apa yang dilakukan, dipersembahkan untuk Tuhan Yesus yang sudah menebus dan menyelamatkan hidupnya. Pelayanan masih dimaknai sebagai tindakan yang masih harus dipuji, disanjung, diapresiasi sehingga menjadi ajang persaingan, kebanggan diri dan kesombongan. Motivasi diri perlu dan harus terus diasah agar setiap langkah pelayanan meninggalkan jejak keikhlasan.
Masih banyak orang yang melakukan pelayanan dengan setengah hati: “Namanya juga pelayanan, kok dituntut macam-macam. Sudah bersedia ikut pelayanan saja sudah puji Tuhan.” Tidak mengherankan bila apa yang dilakukan jangankan menjadi berkat, justru seringkali menjadi batu sandungan baik bagi diri sendiri, keluarga dan sesama. Banyak orang belum siap dan seringkali tidak pernah siap untuk memaknai dan menempatkan diri sebagai “seorang hamba” sebagaimana Kristus yang seharusnya menjadi contoh, teladan dan model yang membuat pemberian diri semakin terasa indah dan menyenangkan. Pemimpin bukanlah dimana ia duduk atau berada, kepemimpinan adalah apa yang ia lakukan terhadap setiap mereka yang Kristus percayakan untuk dipimpin (dilayani).
Warna terakhir yang seharusnya terpancar dalam persekutuan tubuh Kritus yang diwarnai keperbagaian atau perbedaan adalah sukacita. Pribadi yang bersedia mengalami pembaharuan budi dan perubahan diri menjadikan pelayanan di gereja sebagai anugerah dari Tuhan Yesus, Sang Kepala Gereja. Siapa saya sehingga saya dipanggil, dipakai dan dipercayai Tuhan Yesus untuk ikut ambil bagian dalam arak-arakan orang percaya menuju Yerusalem baru? Hal ini ditunjukkan dalam binar sukacita dalam mengemban setiap pelayanan yang Kristus sampaikan dan percayakan. Bila hal ini terjadi, maka pelayanan bukanlah beban berat yang harus dihindari atau ditolak tetapi diterima dengan penuh syukur. Tidak ada orang yang trauma. Tidak ada anggota keluarga yang ketakutan. Dan tidak ada jiwa yang terluka bahkan terhilang setelah “mencicipi” dunia pelayanan. Sukacita yang tidak hanya ditunjukkan di akhir pelayanan sebagai “kelegaan” tetapi di setiap langkah pelayanan yang dihayati dalam kesadaran diri sebagai pengikut Kristus.
Tiga kata yang membuat setiap orang menghidupi pelayanan dengan indah: ikhlas, rajin dan sukacita. Inilah kunci yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada di tengah jemaat. Semua perbedaan saling melengkapi dan menyempurnakan. Peran dan tanggung jawab tidak pernah menjadi pangkal perselisihan apalagi kemarahan: semua punya tempat dan kapasitas masing-masing. Apakah ini semua akan menghilangkan semua permasalahan dalam pelayanan? Tentu saja tidak. Ini yang terjadi: permasalahan tidak lagi berperang melawan kita yang membuat kita lemah, rapuh dan mudah menyerah, tetapi permasalahan membentuk kita menjadi pribadi dan anggota persekutuan yang bertumbuh, tangguh, dewasa dan rendah hati. Kita bertumbuh dan berubah menjadi seperti yang Tuhan Yesus kehendaki dalam perjumpaan dengan sesama yang seringkali menghadirkan permasalahan. Seperti yang dikatakan penulis Amsal 27:17 “Sebagaimana baja mengasah baja, begitu pula manusia belajar dari sesamanya” (BIS). Soli Deo Gloria.
Forum Pendeta
Minggu, 27 November 2022
SELAMAT TINGGAL KM 54
Tanda apa yang sering kita lihat di sepanjang perjalanan, khususnya kalau kita melalui jalan tol? Selain pemandangan, jalan yang tidak selalu mulus atau kemacetan, kita juga sering melihat angka-angka yang terpasang di bagian pembatas jalan. Angka-angka yang menunjukkan kilometer yang telah kita tempuh atau jarak yang telah kita lalui. Pada KM tertentu kita akan bertemu rest area atau tempat istirahat. Tempat istirahat ini menjadi tempat yang melegakan, ditunggu bahkan dicari. Di sini kita bisa mengisi BBM yang mungkin hampir habis. Kita bisa menikmati makanan dan minuman yang akan menghilangkan lapar dan dahaga kita. Kita juga bisa melepaskan penat dengan beristirahat sejenak atau pergi ke toilet. Berapa lama kita berhenti? Tergantung, satu yang pasti tidak akan lama atau selamanya. Ya, rest area adalah tempat beristirahat sementara, kita harus melanjutkan perjalanan, menempuh kilometer demi kilometer sampai di tempat peristirahatan selanjutnya dan tentu saja tujuan akhir kita.
Ulang tahun dalam kehidupan kita sebagai gereja dalam hal ini GKI Pengadilan, Bogor menjadi semacam perhentian sejenak. Perhentian untuk mensyukuri perjalanan yang telah kita lalui bersama. Perhentian untuk mengevaluasi diri atas semua yang telah terjadi. Perhentian untuk mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan selanjutnya. Refleksi di rest area KM 54 memberikan kita bekal untuk melanjutkan perjalanan. Apakah kita yakin untuk melanjutkan perjalanan? Apakah kita akan aman sampai di rest area selanjutnya? Siapa yang akan menjamin bahwa kita akan mampu menempuh perjalanan yang tidak kita ketahui seperti apa jalan yang akan kita tempuh? Sebagai orang percaya kita sering mengumandangkan lagu: “Tak ‘ku tahu ‘kan hari esok, namun langkahku tegap. Bukan surya kuharapkan, kar’na surya ‘kan lenyap. O tiada ‘ku gelisah, akan masa menjelang; ‘ku berjalan serta Yesus, maka hatiku tenang.” Akankah lagu ini memberi keberanian, keyakinan, pengharapan dan ketenangan dalam menjalani perjalanan ke depan? ataukah lagu ini? “Di jalanku ‘ku diiring oleh Yesus Tuhanku. Apakah yang kurang lagi, jika Dia Panduku? Diberi damai sorgawi, asal imanku teguh. Suka-duka dipakaiNya untuk kebaikanku.”
Apa pun yang terjadi perjalanan harus dilanjutkan, waktu tidak pernah menunggu atau berhenti sampai kita siap. Jadi berkemas dan mempersiapkan diri adalah langkah terbaik. Kita yang harus menyongsong hari, hari yang tidak kita ketahui akan menyajikan apa. Tapi satu hal yang pasti bagi kita sebagai orang percaya dan gereja (kumpulan orang percaya) saat kita melangkah yang menjadi sumber kekuatan, keberanian dan pengharapan kita adalah Tuhan Yesus. Ingat lirik lagu di atas: “‘ku berjalan serta Yesus, maka hatiku tenang” atau: “Di jalanku ‘ku diiring oleh Yesus Tuhanku. Apakah yang kurang lagi, jika Dia Panduku?” Inilah yang membuat kita berani meneruskan perjalanan meninggalkan ketenangan rest area yaitu berjalan bersama Yesus.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok atau di langkah berikutnya, tapi satu yang pasti saat Yesus menjadi pandu maka setiap perjalanan dapat kita jalani dengan baik.
Karena Allah telah berfirman:
“AKU SEKALI-KALI TIDAK AKAN MEMBIARKAN ENGKAU
DAN AKU SEKALI-KALI TIDAK AKAN MENINGGALKAN ENGKAU.“
(Ibrani 13:5b)
Forum Pendeta