Minggu, 2 Oktober 2022
MERAYAKAN SELEBRASI DI RUMAH
Keluarga Kristen merupakan tempat pertama untuk menyerap dan menerapkan Firman Tuhan yang sudah di dengar dalam gereja. Gereja senantiasa terus memberi pengajaran melalui kegiatan-kegiatan yang ada, hal ini merupakan cara untuk merayakan kasih Tuhan yang tidak pernah usai dalam kehidupan manusia. Namun, kadang kala perayaan ini hanya sekadar selebrasi di hari minggu sehingga kelanjutannya dalam kehidupan kurang tersentuh. Keluarga Kristen terjebak dalam rutinitas dan kesibukan yang menyebabkan ibadah dalam gereja hanya sebatas dalam gedung gereja. Padahal gereja dan keluarga Kristen seharusnya dapat terintegerasi agar dapat mempraktikkan kasih Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Mari pada minggu ini kita merenungkan peran keluarga Kristen bagi keberlanjutan kasih Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Bangsa Israel yang telah dibebaskan dari perbudakan tanah Mesir diajak untuk melepaskan budaya yang selama ini mengikat mereka. Mereka diperintahkan untuk dapat mengadopsi pengajaran Tuhan yang menerapkan kasih dalam kehidupan. Kitab Ulangan 6:4-9 menerangkan bagaimana bangsa Israel perlu menerjemahkan pemahaman tentang Tuhan yang penuh kasih dan menyelamatkan dalam kehidupan keluarga. Mereka diajak untuk mampu mengingatkan, menerapkan, dan menyerap dengan mengajarkannya secara berulang-ulang dalam keluarga mereka. Hal ini perlu dilakukan agar pengenalan akan Tuhan tidak hanya sebatas selebrasi saja melainkan menjadi sebuah kebiasaan yang dapat diterapkan. Bangsa Israel diminta melakukan ini agar mereka mampu merayakan kasih Tuhan dalam keluarga yang sudah Tuhan anugerahkan. Peristiwa ini menjadi pengingat bagi kita sebagai keluarga Kristen yang mulai tergerus oleh budaya individualisme. Oleh sebab itu, apa yang perlu kita kerjakan sebagai keluarga Kristen?
Keluarga Kristen yang senantiasa mengikuti setiap kegiatan di gereja tidak dapat berhenti pada selebrasi di hari Minggu. Kita perlu melanjutkan dan menjadi wadah untuk menyerap serta menerapkan segala pengajaran yang sudah diberikan. Keluarga Kristen dapat mengambil waktu sejenak untuk duduk bersama serta membicarakan pokok-pokok pengajaran yang sudah diberikan gereja. Memang kadangkala kita terbentur pekerjaan yang menyebabkan waktu menjadi minim. Akan tetapi, kita perlu menyadari fungsi sebagai keluarga Kristen agar mampu konsisten meluangkan waktu dan membahas Firman Tuhan. Mari, kita optimalkan kembali keluarga yang sudah Tuhan anugerahkan sebagai wujud kelanjutan selebrasi dalam rumah. Tuhan akan selalu memampukan kita ketika ada kemauan untuk terus menjalankan fungsi sebagai keluarga Kristen.
Galvin TB
Minggu, 9 Oktober 2022
ADAKAH KELUARGA YANG SEMPURNA?
Setiap orang memiliki harapan untuk hidup dalam keluarga yang sempurna. Indikator sebuah keluarga yang sempurna adalah saling menghargai, saling menerima, saling support, lengkap, dan hangat. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua keluarga dapat memenuhi kesempurnaan yang ada. Banyak keluarga yang mengalami keretakan sehingga berimbas pada kehidupan sosial. Keadaan ini juga dapat terjadi dalam kehidupan keluarga Kristen akibat problematika yang dihadapi setiap keluarga. Akibat realita ini, kita pasti akan bertanya “mengapa Tuhan menempatkanku dalam keluarga ini?” atau “apa tujuan Tuhan menempatkanku di sini?”. Pertanyaan tersebut mungkin saja terlintas dipikiran kita karena melihat keadaan keluarga yang tidak sempurna. Melalui pertanyaan tersebut, mari kita merenungkan adakah keluarga yang sempurna serta apa yang dapat kita lakukan ketika berada di dalam keluarga yang tidak sempurna?
Hari ini kita mau belajar dari kisah Daud seorang raja yang Tuhan berkati namun mengalami pergumulan dalam kehidupan keluarganya. Kisah Daud memang sangat membekas dalam kehidupan bangsa Israel dan orang Kristen masa kini, siapa sangka ia pun mengalami pergumulan yang cukup berat dalam hidupnya. Ia diberikan kesempatan untuk melihat keluarganya tidak harmonis dan menuju ambang kehancuran. Daud merindukan keluarga yang rukun dan damai agar mampu duduk bersama tetapi hal ini tidak pernah ia dapati. Dalam pergumulannya ini, ia menuliskan Mazmur 133:1-3 sebagai bentuk kerinduannya untuk melihat keluarga yang ia harapkan. Ia menyadari ketika keluarga mampu hidup rukun serta duduk bersama maka Tuhan akan mengurapinya. Pernyataan Daud ini mengingatkan kita bahwa tidak ada keluarga yang sempurna namun kesempurnaan tersebut perlu diusahakan. Daud tidak menyerah pada keadaan, ia terus mengusahakan dan melihat pekerjaan Tuhan dalam kehidupannya. Hal inilah yang menyebabkan Daud mampu terus berkarya dan diberkati Tuhan.
Keluarga yang sempurna memang menjadi harapan setiap orang yang membentuk keluarga namun kadangkala realita berkata lain. Daud menyadari realita tersebut dan mengajak setiap orang untuk terus mengusahakannya dalam kehidupan keluarganya. Tuhan menempatkan kita di keluarga hari ini memiliki tujuan yang indah. Kita tidak dapat menyerah dan mengatakan “aku lelah Tuhan”, sebaliknya melalui Mazmur yang Daud tuliskan setiap orang Kristen perlu mengusahakan harapan dalam keluarganya. Meskipun keluarga kita tidak seperti yang diharapkan, Tuhan telah menganugerahkannya kepada kita. Kita perlu terus punya harapan untuk membangun keluarga yang sudah Tuhan percayakan dengan terus mengasihi setiap anggota di dalamnya. Teruslah berkarya di dalam keluarga kita agar harapan untuk menjadi keluarga yang sempurna dapat terwujudkan meskipun tidak mudah.
Galvin TB
Minggu, 16 Oktober 2022
GENERATION GAP DALAM KELUARGA
Perkembangan teknologi dalam kehidupan masa kini tidak dapat dihindari dan menjadi pengaruh besar dalam kehidupan. Peristiwa ini kadangkala menjadi masalah dalam kehidupan keluarga masa kini karena orang tua tidak mampu memahami kebutuhan anak atau sebaliknya. Akibatnya, sesama anggota keluarga sulit membangun komunikasi karena perbedaan pola pikir yang dimiliki. Tidak hanya itu, orang tua akan menganggap anaknya sebagai seorang yang membangkang atau anak akan memandang orang tuanya kuno. Realita ini menjadi tantangan yang cukup sulit untuk dipecahkan karena membutuhkan sikap rendah hati untuk dapat saling memahami. Oleh sebab itu, sebagai keluarga yang berada dalam generation gap kita perlu membangun “jembatan” komunikasi agar mampu saling memahami.
Membangun “jembatan” dalam komunikasi di tengah keluarga yang memiliki perbedaan lingkungan dan waktu bertumbuh tidaklah mudah. Hal ini menyebabkan setiap orang yang memiliki keinginan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dapat mengingat Firman Tuhan yang menjadi dasar perenungan kita. Efesus 6:1-4 merupakan salah satu surat Paulus yang menasihatkan anak dan orang tua dapat saling menahan diri dalam menjalani kehidupan. Seorang anak diajak mampu untuk mendengarkan pengajaran yang beralaskan Firman Tuhan bagi mereka. Mereka diminta untuk dapat menghargai setiap didikan karena hal itu merupakan bekal bagi mereka yang akan melanjutkan kehidupan. Selain itu, orang tua pun diingatkan untuk dapat memberi pengajaran dengan cinta kasih seperti Tuhan yang setia mendidiknya. Hal ini dimaksudkan agar setiap pengajaran dapat diterima dengan baik oleh anak-anak. Peringatan ini menunjukkan bahwa “jembatan” yang perlu dibangun adalah kerendahhatian untuk menahan gejolak dalam diri dalam menghadapi perubahan jaman.
Kunci untuk dapat memahami perbedaan akibat perubahan jaman ialah kesadaran untuk mendengarkan dan menangkap fenomena yang sedang berkembang. Sikap ini adalah keberlanjutan dari perilaku rendah hati yang dimiliki setiap anggota keluarga. Anak perlu dengan rendah hati mendengarkan apa yang membentuk orang tuanya dalam kehidupan sebelumnya. Selanjutnya, orang tua dapat dengan rendah hati mendengarkan perubahan yang terjadi saat ini untuk dapat mengenali anaknya. Hal ini akan menumbuhkan pemahaman untuk dapat saling bertumbuh dalam keluarga. Generation gap memang menjadi tantangan tetapi ketika kita dapat menerapkan apa yang menjadi perenungan hari ini, maka hal tersebut dapat teratasi dengan baik.
Galvin TB
Minggu, 23 Oktober 2022
KELUARGA: BERBEDA TAPI TETAP SATU DALAM TUHAN
Berselisih kadang kala menjadi bumbu dalam kehidupan sebuah keluarga. Berselisih dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, perselisihan dapat menyebabkan sebuah keluarga menjadi dewasa karena adanya keterbukaan antara satu dengan yang lainnya. Kedua, perselisihan dapat menghancurkan sebuah keluarga karena ada ego yang ditonjolkan. Realita ini mengajak kita untuk merenungkan apa yang dapat dilakukan untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga.
Dalam bacaan Yohanes 17: 20-26, ketika Yesus Kristus hendak meninggalkan para murid dan orang percaya pada saat itu, Ia memilih berdoa untuk kelangsungan hidup mereka. Yesus Kristus mengetahui bahwa iman mereka sedang bertumbuh dan tetap perlu penguatan. Melalui kesadaranNya inilah, Yesus Kristus mendoakan murid dan orang percaya untuk dapat menjadi satu dengan diriNya. Doa ini Ia panjatkan karena Ia mengetahui watak dari murid-murid dan orang lain yang mengikutiNya yang hanya ikut tanpa memiliki iman yang teguh. Dalam harapanNya, Yesus Kristus menginginkan mereka bersatu agar dapat saling menguatkan dalam persoalan iman dan menyatakan Kasih Allah di dunia ini. Ia berharap agar mereka dapat meneladani Yesus Kristus yang mengosongkan diri dan menjadi satu dengan manusia.
Melihat sikap Tuhan Yesus Kristus yang mendoakan para murid, apa yang ingin kita pelajari melalui sikap yang Ia lakukan?. Kita menyadari bahwa sebuah keluarga memiliki latar belakang yang berbeda. Perbedaan ini tidak jarang menimbulkan gesekan di antara sesama anggota keluarga. Kita cenderung berkonflik karena ego yang masih tinggi di antara kita. Akan tetapi doa Yesus Kristus mengingatkan sebuah harapan persekutuan keluarga yang bersatu untuk menyatakan Kasih Allah. Tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan berkeluarga kita sulit untuk mewujudkan apa yang diharapkan oleh Yesus Kristus. Namun, Yesus Kristus memberikan sebuah teladan agar kita tidak hanya melihat siapa anggota keluarga, tetapi melihat Yesus Kristus yang mau mengosongkan diri dan mati di kayu salib. Hari ini kita belajar dalam hidup bersama untuk menjadi keluarga yang bersatu seperti yang tertulis dalam Filipi 2: 5-7. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dengan rela merendahkan diri, keluarga kita dapat bersatu untuk menyatakan KASIH Allah di dunia ini.
Galvin TB
Minggu, 30 Oktober 2022
BERKARYA BERSAMA DALAM KELUARGA
(Galatia 6:1-10)
Keluarga sebagai komunitas Kristen pertama yang Tuhan Yesus Kristus anugerahkan bagi kehidupan kita, memiliki ciri khas berdasarkan apa yang menjadi kebiasaannya. Adakeluarga yang demokratis dalam mengambil keputusan namun keluarga yang otoriter pun ada. Keunikan ini merupakan bumbu dalam menjalani dinamika keluarga Kristen. Akan tetapi, keluarga Kristen bukan hidup untuk dirinya sendiri melainkan ia mesti keluar dan berkarya untuk kehidupan ini. Bagaimana keluarga Kristen mampu menyadari perannya dalam kehidupan ini? Mari kita dalami bersama Galatia 6:1-10 untuk merenungkan kembali pesan yang Rasul Paulus sampaikan.
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia menasihatkan untuk saling membantu satu dengan yang lain. Dalam Galatia 6: 1-10, ia menuliskan bahwa sebagai komunitas Kristen yang baru tumbuh, jemaat Galatia sepatutnya hidup tolong menolong. Dalam ayat kedua, Paulus mengatakan “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”, pernyataan yang ia tekankan ini adalah untuk mengingatkan jemaat di Galatia untuk dapat berkarya bersama. Hidup bertolong-tolongan membuahkan kualitas pelayanan yang baik. Mengapa baik? Dalam pelayanan yang dihidupi oleh gairah tolong menolong akan tumbuh kepedulian, kepekaan, dan semangat hidup bersama. Pelayanan pun menjadi terasa lebih ringan karena anggota jemaat dapat saling mengisi dan tanggap dalam menjalaninya. Kepedulian, kepekaan, dan semangat hidup bersama inilah yang Paulus ingin jemaat Galatia terapkan dalam kehidupan pelayanan-Nya. Nasihat Paulus tersebut juga dapat menjadi nasihat kepada kita para pelayan di gereja.
Hidup bertolong-tolongan yang menumbuhkan kepedulian, kepekaan, dan semangat hidup bersama menjadi fokus utama kita dalam memaknai nasihat yang diberikan Paulus kepada jemaat Galatia. Kepedulian, mesti dimiliki setiap anggota jemaat dalam melakukan pelayanan-Nya dalam gereja atau luar gereja. Anggota jemaat yang berada dalam sebuah bidang pelayanan tertentu tidak dapat berjalan sendiri-sendiri melainkan bersama-sama, mereka mesti peduli dengan keadaan yang ada di sekitar mereka. Rasa peduli menumbuhkan sebuah tindakan kasih yang saling mengisi dalam diri setiap anggota jemaat. Kepekaan, mesti dihidupi oleh setiap anggota jemaat dalam melakukan pelayanan-Nya. Anggota jemaat sebaiknya memiliki kepekaan yang mendalam ketika melihat masalah yang ada. Kepekaan menumbuhkan sikap tanggap untuk mengetahui sebuah masalah, lalu membantu untuk menyelesaikannya, agar pelayanan-Nya dapat berjalan dengan baik. Semangat hidup bersama, mesti dimiliki oleh anggota jemaat dalam melakukan pelayanan-Nya. Hidup bersama dapat menumbuhkan sebuah iklim yang hangat dalam sebuah pelayanan sehingga setiap anggota dapat bertumbuh imannya ketika melakukan pelayanan-Nya. Nasihat dari Paulus mengingatkan kita sebagai pelaku pelayanan-Nya untuk dapat saling menolong dalam kehidupan ini. Keluarga Kristen diutus bukan hanya untuk berpangku tangan dalam kehidupan ini. Kita diajak untuk terlibat aktif untuk berkarya di tengah kehidupan ini. Maka dari itu, mulailah melatih kemampuan untuk saling menolong dalam keluarga agar mampu menerapkannya bagi kehidupan yang sudah Tuhan percayakan.
Galvin TB