KELUARGA YANG BERTUMBUH DALAM KERAJAAN ALLAH

“Tetapi, carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, dan semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33)

Hidup seakan-akan menjadi rangkaian kekhawatiran demi kekhawatiran. Manusia seakan-akan tidak pernah bisa melepaskan diri dari hal ini. Bahkan saat ini kekhawatiran (anxiety) menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi manusia. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap sesuatu atau masa depan membuat banyak manusia kehilangan kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang Tuhan Allah anugerahkan dalam hidup. Tentu saja, kekhawatiran pada takaran tertentu membuat kita waspada dan hati-hati, tetapi kalau berlebihan itu menjadi penyakit dan merusak hidup.

Tuhan Yesus dalam salah satu pengajaran-Nya (Kotbah di Bukit) menempatkan kekhawatiran sebagai salah satu hal yang disampaikan kepada para pendengar-Nya. Tuhan Yesus menyampaikan bahwa banyak manusia yang hidupnya dikuasai oleh kekhawatiran. Mereka khawatir dengan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan setiap hari (Mat.6:25). Semua ini diperlukan bahkan menjadi kebutuhan hidup, tetapi jangan sampai kekhawatiran itu menghilangkan keyakinan kita akan pemeliharaan Tuhan Allah.

Inilah yang ditekankan Tuhan Yesus, semua itu (yang menyebabkan kekhawatiran) dicari dan dikejar oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah (Mat. 6:32). Kekhawatiran yang berlebihan sama artinya dengan hidup yang tidak mengenal Allah. Tidak mengenal Pencipta dan Pemelihara hidupnya. Bukankah ini juga yang menjadi sumber permasalahan di dalam banyak keluarga Kristen? Ini mengajarkan hal yang mendasar dalam hidup kita.

Apa fokus atau tujuan utama dalam hidup saya dan keluarga kita? Kerajaan Allah, kata Tuhan Yesus. Saat Allah menjadi Raja dalam setiap sisi kehidupan kita, maka hidup akan bertumbuh dan terarah kepada Sang Pemilik Kerajaan Allah, yaitu Allah sendiri. Iman yang terarah kepada Allah akan menghadirkan sikap dan tindakan yang mencerminkan kehendak Allah dalam kehidupan kita. Ingat, bila setiap anggota keluarga mencari Kerajaan Allah dalam hidup berkeluarga yang telah Tuhan Yesus anugerahkan, maka hidup akan terarah pada Dia, Sang Pemelihara Kehidupan. Sekali lagi khawatir dalam takaran tertentu, baik dan perlu. Tetapi kalau berlebihan dan merampas banyak hal serta membuat kita sakit, ini menegaskan kita sedang mencari yang salah. Percayalah, bila setiap anggota keluarga mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, Tuhan Yesus menambahkan pada kita apa yang kita butuhkan.

Seperti tumbuhan yang senantiasa mengarahkan hidupnya kepada cahaya, agar keluarga kita akan utuh dan bahagia, cari dan temukan Kerajaan Allah dalam setiap langkah.

Forum Pendeta


KELUARGA YANG BESYUKUR DALAM KETAATAN

“Dalam segala hal bersyukurlah, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”
(1 Tesalonika 5:18)

Keluarga adalah anugerah dari Allah yang harus kita jaga dan syukuri. Dalam menjalani kehidupan keluarga, seringkali kita dihadapkan pada berbagai tantangan dan keadaan yang tidak selalu sesuai dengan keinginan. Namun, Alkitab mengingatkan kita untuk selalu bersyukur dalam segala situasi, karena rasa syukur adalah bentuk ketaatan kepada Allah. Bukan ketaatan yang sifatnya legalistik dan ritual tetapi ketaatan yang didasari rasa syukur. Inilah yang senantiasa menghadirkan relasi yang hidup dengan Allah dalam Kristus.

Bersyukur dalam Segala Keadaan
Betapa tidak mudahnya menghidupi ini dalam hidup yang seringkali tidak baik-baik saja. Hidup yang sering bergulat dan bergumul dengan kelemahan, keterbatasan, kesulitan, relasi dan banyak hal. Permasalahan ekonomi, pendidikan anak-anak, usaha dan pekerjaan, keharmonisan keluarga seringkali menghantarkan kita pada situasi yang sulit untuk mengucap syukur. Padahal, 1 Tesalonika 5:18 mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, tidak terkecuali saat keluarga mengalami tantangan. Bersyukur menunjukkan bahwa kita percaya bahwa Allah, dalam Kristus, tetap baik dan menyertai dalam segala hal untuk kebaikan kita.

Ketaatan dalam Bersyukur
Ketaatan kepada Allah berarti mengikuti perintah-Nya, termasuk bersyukur dalam segala keadaan. Keluarga yang bersyukur mencerminkan iman yang kuat dan penyerahan total kepada Tuhan. Mereka mengakui bahwa segala berkat datang dari Allah dan bersyukur atas setiap berkat. Keluarga yang hidup dalam ketaatan akan menjalani hidup bukan hanya karena melihat tetapi karena percaya. Percaya bahwa apa yang Tuhan Allah perintahkan dan janjikan akan tergenapi dalam hidup mereka.

Keluarga sebagai Teladan
Keluarga yang bersyukur dan taat akan menjadi teladan bagi kehidupan dan masa depan. Orang tua yang hidup dengan bersyukur dan dalam ketaatan adalah contoh hidup bagi anak-anak yang Tuhan Yesus anugerahkan di dalamnya. Ketaatan dalam membaca Alkitab dan doa, akan menjadi model hidup bagi anak-anak di masa depan. Mereka menunjukkan bahwa iman tidak hanya diucapkan, tetapi juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga yang bersyukur dan hidup dalam ketaatan membawa damai sejahtera dan kebahagiaan dalam keluarga.

Marilah kita belajar untuk selalu bersyukur dalam segala keadaan, sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah. Dengan bersyukur, hati kita dipenuhi damai sejahtera dan iman kita semakin dikuatkan. Kiranya keluarga kita menjadi keluarga yang selalu bersyukur dan taat kepada Tuhan, sehingga nama Tuhan Yesus dimuliakan melalui kehidupan kita.

Forum Pendeta


KELUARGA YANG BESYUKUR DALAM KETAATAN
(Lukas 18:1-8)

Umat yang dikasihi dan mengasihi Tuhan Yesus, pernahkan kita sebagai orang percaya merasa lelah untuk berdoa? Kita merasa doa kita sia-sia, karena seakan-akan Tuhan Yesus tidak menjawab doa kita? Jika Saudara, baik sebagai suami, istri, orang tua, anak, pekerja, pengusaha, atau apapun keadaan kita pernah mengalami itu, mari perhatikan lagu ini:

Bisikkanlah t’rus doamu di pagi dan petang,
di malam pun jangan ragu; hatimu ‘kan tenang.
Allah menjawab doamu di pagi dan petang,
siang dan malam selalu; hatimu ‘kan tenang.

Bacaan kita dalam Injil Lukas dan nyanyian dari NKB 136 mengajarkan kepada kita bahwa: doa adalah wujud ketekunan kita.

Keluarga kita, seperti janda itu, mungkin merasa lemah, kecil, atau tidak berdaya dalam menghadapi masalah, entah itu masalah ekonomi, kesehatan, pekerjaan, atau hubungan. Namun, perumpamaan ini mengajarkan bahwa keberhasilan doa tidak ditentukan oleh “kekuatan” atau “kelayakan” kita, tetapi oleh kegigihan hati kita. Jika hakim yang lalim saja bisa luluh karena kegigihan janda, apalagi Allah Bapa kita yang penuh kasih dan adil? Dia pasti akan mendengarkan dan membenarkan umat pilihan-Nya.

Doa adalah bentuk harapan yang tidak pernah hilang.

Tuhan Yesus ingin agar keluarga kita tidak cepat putus asa (ay. 1). Seringkali kita berdoa untuk pasangan, anak-anak, atau masa depan keluarga kita, dan ketika jawabannya terasa lama, kita mulai lelah, kecewa, dan berhenti berdoa. Perumpamaan ini memanggil kita untuk terus “mengetuk” (mengutip ajaran Yesus di tempat lain). Biarkan Tuhan melihat kesungguhan, kesabaran, dan iman yang teguh dari keluarga kita. Ketekunan kita dalam berdoa menunjukkan bahwa kita meletakkan harapan kita sepenuhnya pada-Nya, bukan pada waktu kita sendiri.

Dalam kita percaya Allah bekerja dalam waktu-Nya.

Tuhan Yesus menutup perumpamaan ini dengan janji, “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka” (ayat 7-8). Kata “segera” di sini mungkin tidak selalu berarti “instan” seperti yang kita inginkan, tetapi berarti “tepat waktu-Nya”—yaitu pada saat terbaik menurut rencana-Nya yang sempurna bagi keluarga kita.

Mari jadikan keluarga kita sebagai persekutuan doa yang gigih. Jika ada pergumulan yang tak kunjung usai, jangan berhenti berdoa. Jika ada anggota keluarga yang terhilang, jangan berhenti mendoakannya.

Ketekunan dalam doa adalah bukti kasih dan iman keluarga kita kepada Allah. Teruslah berdoa dengan iman yang teguh, sebab Bapa kita di Surga jauh lebih baik, lebih murah hati, dan lebih adil daripada hakim mana pun di dunia ini. Dia pasti akan mendengar dan menjawab sesuai dengan kehendak-Nya yang terbaik.

Pertanyaan untuk direnungkan keluarga:
Seberapa sering kita sebagai keluarga berdoa bersama?
Adakah pergumulan spesifik dalam keluarga yang selama ini kita doakan dengan “jemu-jemu” (cepat menyerah)?
Bagaimana kita dapat meneladani kegigihan janda itu dalam membawa setiap masalah keluarga kepada Tuhan Yesus?

Forum Pendeta


KELUARGA YANG BERPULIIH DALAM PENGAMPUNAN
(Lukas 18:1-8)

Membangun relasi yang sehat di tengah keluarga seringkali tidak mudah karena keluarga adalah institusi yang paling kompleks, intim, dan melibatkan banyak dinamika psikologis serta emosional yang mendalam. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa membangun relasi yang sehat dalam keluarga memerlukan usaha dan kesabaran yang besar:

  1. Intimitas dan jarak emosional yang sangat dekat: keluarga adalah orang-orang yang paling dekat dengan kita, sehingga: Emosi lebih intens: Kesenangan, kekecewaan, dan kemarahan yang dirasakan dalam keluarga jauh lebih intens dan menyakitkan dibandingkan dengan orang lain. Luka yang ditorehkan oleh anggota keluarga seringkali menjadi luka terdalam. Sulit menetapkan batasan (boundaries): Karena merasa sangat dekat dan memiliki, anggota keluarga sering kali sulit menghormati batasan pribadi, privasi, atau keputusan hidup masing-masing (misalnya, orang tua terlalu mengontrol kehidupan anak dewasa). Hal ini menimbulkan ketegangan.

  2. Perbedaan pola asuh dan latar belakang pasangan ketika dua individu (suami dan istri) bersatu, mereka membawa: Warisan keluarga: Masing-masing membawa pola komunikasi, cara menyelesaikan konflik, dan pandangan hidup yang diwariskan dari keluarga asalnya. Perbedaan pola asuh ini seringkali bertabrakan saat membesarkan anak, menciptakan konflik yang berulang. Harapan yang berbeda: Setiap orang memiliki harapan bawah sadar tentang bagaimana seharusnya keluarga mereka “berjalan.” Ketika harapan ini tidak terpenuhi, timbullah rasa kecewa dan konflik.

  3. Kurangnya keterampilan komunikasi yang sehat: sumber permasalahan mendasar banyak keluarga: Kesulitan ekspresi: Banyak orang tidak terbiasa atau tidak tahu cara menyampaikan perasaan, kebutuhan, atau ketidaksetujuan secara jujur dan hormat tanpa menyerang atau menyalahkan. Kebiasaan buruk: Kebiasaan komunikasi yang merusak, seperti silent treatment (mendiamkan), mengungkit kesalahan masa lalu, bersikap defensif, atau berbicara dengan nada menghakimi, akan merusak kepercayaan dan keintiman. Asumsi: Anggota keluarga sering berasumsi bahwa orang lain “pasti tahu” apa yang kita rasakan, sehingga komunikasi yang terbuka diabaikan.

  4. Beban sejarah dan luka lama: tidak seperti hubungan pertemanan yang bisa diakhiri, hubungan keluarga bersifat permanen, maka kita akan menghadapi: Konflik berulang: Masalah atau konflik yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas akan terus muncul dan menggerogoti hubungan, menumpuk menjadi dendam, atau rasa tidak percaya yang sulit dihilangkan. Peran yang kaku: Anggota keluarga sering terjebak dalam peran yang ditetapkan sejak kecil (misalnya, anak yang bermasalah, anak yang bertanggung jawab), yang mempersulit mereka untuk berubah dan dilihat secara baru oleh anggota keluarga lainnya. Hal ini juga terjadi pada suami dan istri (misalnya suami yang pembohong atau istri yang suka mengeluh) menjadikan masing-masing sulit untuk melihat perubahan dalam diri setiap individu.

  5. Faktor eksternal dan perubahan hidup: Keluarga harus terus menyesuaikan diri dengan tekanan dari luar dan perubahan di dalam: Tekanan ekonomi dan waktu: Masalah keuangan, tuntutan pekerjaan, dan kurangnya waktu berkualitas bersama karena kesibukan dapat meningkatkan stres dan ketegangan. Perkembangan teknologi: Penggunaan gadget yang berlebihan dapat mengurangi interaksi tatap muka yang berkualitas, mengganggu komunikasi, dan merenggangkan ikatan emosional. Perubahan fase hidup: Transisi besar (pernikahan, kelahiran anak, anak remaja, anak pindah rumah, pensiun) seringkali memicu konflik karena peran dan tanggung jawab setiap orang harus diubah.

Pada prinsipnya membangun relasi sehat dalam keluarga adalah sebuah perjalanan seumur hidup yang tidak instan dan tidak mudah . Hal ini sulit dan membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh. Tetapi bukan berarti mustahil. Kuncinya terletak pada kesediaan setiap anggota untuk merendahkan hati, bertanggung jawab atas kesalahan sendiri, mempraktikkan pengampunan, dan terus belajar berkomunikasi dengan kasih dan empati. Ini membutuhkan upaya kolektif dan kemauan untuk bertumbuh bersama. Semua ini harus didasarkan pada kasih Tuhan Yesus yang kasih-Nya telah dikenal oleh setiap anggota keluarga. Tanpa pertolongan-nya banyak keluarga akan gagal untuk berpulih.

“Di atas semuanya itu: Kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan “
(Kolose 3:14).

Forum Pendeta